AMANAT AGUNG
“Sebab inilah yang diperintahkan kepada kami:
Aku telah menentukan engkau
menjadi terang bagi bangsa-bangsa yang tidak mengenal
Allah,
supaya engkau membawa keselamatan sampai ke ujung bumi.”
(Kisah Para Rasul 13:47)
A. Marketing Vs Sales
Sebagian besar pemimpin-pemimpin Gereja dari golongan
Injili dan Pentakosta di seluruh dunia percaya bahwa
Amanat Agung adalah tulang punggung rencana Allah di
muka bumi ini dan hal yang menjadi mandat utama Gereja.
Karena Amanat Agunglah Gereja Tuhan harus berusaha untuk
bisa menjangkau dan memenangkan segala bangsa.
Hubungan antara memberitakan Injil dan Amanat Agung
kira-kira dapat digambarkan seperti hubungan antara
sales dan marketing di dalam perusahaan. Sales berbicara
mengenai closing penjualan yang meningkatkan jumlah
customer dan menjadi penghasilan bagi perusahaan. Namun
kegiatan sales jika tidak didukung oleh strategi
marketing yang tepat maka akan menjadi kegiatan yang
teramat sulit, terutama jika sang penjual bukanlah
sendiri seorang pemakainya. Di sinilah analogi ini
mengalami perbedaan.
Di dalam dunia perdagangan, seorang salesman belum tentu
merupakan pengguna dari barang yang dijualnya, di
Indonesia contohnya: Seorang salesman Mercedes Benz
belum tentu menggunakan mobil Mercedes Benz untuk
transportasinya sehari-sehari. Di dalam kekristenan
seseorang tidak bisa terlibat dalam Amanat Agung dengan
cara menginjil jika ia sendiri belum pernah mengalami
pembaharuan hidup oleh Tuhan Yesus yang dikerjakan
melalui karya Roh Kudus.
Kegiatan marketing bersifat mengedukasi publik mengenai
produk yang diluncurkan ke pasar, fitur-fitur
istimewanya, apa kelebihannya dari produk kompetitor di
kelas yang sama, iklan di tempat-tempat yang strategis
sebagai sarana untuk menyadarkan masyarakat akan
kehadiran produk/brand tersebut dan lain sebagainya.
Demikianlah juga dengan misi Amanat Agung.
Amanat Agung adalah semua kegiatan yang bersifat
mengedukasi masyarakat mengenai kehadiran Kristus di
tengah-tengah umat manusia. Dimulai dengan kehadiran
Gereja di tengah masyarakat, lalu menyatakan dampak
positif Gereja di tengah masyarakat dengan menyatakan
kasih Allah di dalam tindakan-tindakan praktis,
menyatakan pribadi Yesus di dalam kasih dan
kebenaran-Nya. Menyatakan kebenaran Firman Tuhan yang
berhubungan dengan masalah-masalah kontemporer yang
dihadapi manusia dan lain sebagainya.
Semua kegiatan marketing tidak akan berguna jika tidak
ditutup dengan sales force yang pada akhirnya turun ke
lapangan dan mengeksekusi penjualan. Perumpamaan ini
sangat berarti jika kita melihat usaha-usaha yang
dilakukan oleh beberapa perusahaan besar di dalam
mempenetrasi pasar yang kelihatannya mustahil untuk
ditembus oleh produk mereka.
Sebagai contoh perusahaan fast food terbesar di dunia
yaitu McDonald’s ketika berusaha untuk masuk ke India.
India adalah negara dengan populasi 1.1 milyar manusia
dengan mayoritas beragama Hindu konservatif. Agak sulit
untuk menjual produk yang berdasarkan daging sapi kepada
mereka. Namun McDonald’s menyadari bahwa branding
‘McDonald’s’ pada dasarnya adalah suatu perusahaan jasa
boga; hamburger adalah hanya salah satu dari produk yang
ditawarkan. Untuk pasar India, McDonald’s memfokuskan
untuk menjual produk mereka yaitu fillet of fish,
chicken burger dan chicken nugget dan mereka berhasil
melakukan itu.
Inilah juga yang berusaha dilakukan oleh Rasul Paulus.
Ia berkata di dalam 1 Korintus 9:20,
“Demikianlah bagi orang Yahudi, supaya aku memenangkan
orang-orang Yahudi. Bagi orang-orang yang hidup di bawah
hukum Taurat aku menjadi seperti orang yang hidup di
bawah hukum Taurat, sekalipun aku sendiri tidak hidup di
bawah hukum Taurat, supaya aku dapat memenangkan mereka
yang hidup di bawah hukum Taurat.”
Paulus berkata bahwa ia berusaha semaksimal mungkin
untuk menyesuaikan diri kepada budaya komunitas yang
dipercayakan Tuhan kepadanya. Ketika ia berada di
tengah-tengah orang Yahudi, ia berusaha untuk
mempresentasikan Injil di dalam konteks Yahudi dan
membawa dirinya untuk hidup sebagaimana orang Yahudi;
sebaliknya jika ia sedang berada di tengah masyarakat
Romawi maka ia berusaha semaksimal mungkin untuk
mempresentasikan Injil di dalam konteks Yunani dan hidup
sebagai orang yang tidak berada di bawah ketentuan hukum
Taurat.
Tuhan menganggap kegagalan orang Yahudi untuk menjadi
terang bagi bangsa-bangsa lain adalah sesuatu yang
fatal. Tuhan Yesus berkata di dalam Matius 21:43,
“Sebab itu, Aku berkata kepadamu, bahwa Kerajaan Allah
akan diambil dari padamu dan akan diberikan kepada suatu
bangsa yang akan menghasilkan buah Kerajaan itu.”
Artinya Kerajaan Allah telah diambil dari bangsa Israel
dan diberikan kepada suatu bangsa lain yang akan
menghasilkan buah Kerajaan. Gereja Tuhan di dalam
menjalankan Amanat Agung haruslah mengingat pelajaran
dari kegagalan bangsa Israel dan jangan mengulanginya
kembali.
B. Terang Bagi Bangsa
Banyak orang menyangka bahwa Amanat Agung adalah
perintah yang baru Tuhan Yesus berikan kepada Gereja/murid-murid-Nya
di jaman Perjanjian Baru. Dalam kitab Yesaya (Yesaya
42:6, 49:6, 60:3, Matius 4:16, Lukas 2:32) kita melihat
bahwa panggilan untuk menjadi terang bagi bangsa-bangsa
lain sudah diberikan kepada Israel di dalam Perjanjian
Lama. Merekalah yang seharusnya pertama-tama menjadi
saksi-saksi bagi kemuliaan Tuhan.
Rasul Paulus sendiri mendakwa kegagalan bangsa Israel di
dalam Roma 2:4,
“Maukah engkau menganggap sepi kekayaan kemurahan-Nya,
kesabaran-Nya dan kelapangan hati-Nya? Tidakkah engkau
tahu, bahwa maksud kemurahan Allah ialah menuntun engkau
kepada pertobatan?”
Di sini kita melihat kegagalan orang Yahudi di dalam
tugas ini terjadi di dua level:
• Pertama: mereka gagal untuk menghidupi terang itu
sendiri
• Kedua: mereka gagal untuk meneruskan terang itu kepada
bangsa-bangsa lain
Sama seperti contoh di atas bahwa perusahaan-perusahaan
multi nasional berusaha untuk menyesuaikan diri dengan
kebudayaan lokal supaya bisa masuk ke dalam pasar lokal
negeri tersebut. Demikianlah orang Kristen diminta untuk
memiliki hati Tuhan untuk kelompok manusia yang menjadi
target Amanat Agung yang Tuhan berikan kepada kita.
Tuhan Yesus mencela kegiatan penyebaran agama Yahudi di
dalam Matius 23:15 karena kedua hal ini.
Itulah sebabnya di dalam Amanat Agung Tuhan Yesus dengan
jelas mengatakan kepada murid-muridnya untuk pergi ke
SELURUH DUNIA dan jadikan SEGALA BANGSA menjadi murid
Kristus. Kegagalan bangsa Israel di Perjanjian Lama
ialah mereka lebih cenderung memaksa bangsa-bangsa lain
mengadopsi kebudayaan Yahudi, bukannya melatih diri
mereka untuk menjangkau bangsa-bangsa lain di dalam
kebudayaan mereka. Pada masa kini juga kita harus mampu
memisahkan antara esensi kekristenan dan kebudayaan
pembungkusnya. Seringkali yang menjadi penghalang misi
dan penginjilan adalah ketidakmampuan beradaptasi budaya
bagi para calon pemberita-pemberita Injil sendiri.
C. Paulus Sebagai Seorang “Marketing Dan Sales”
Allah di dalam kedaulatan-Nya telah menetapkan Paulus
sebelum dia dilahirkan oleh ibunya dan bahkan sebelum
dunia dijadikan untuk menjadi pemberita Injil, terutama
bagi bangsa-bangsa non-Yahudi. Latar belakang pribadi
dan keluarga rasul Paulus memang sangat memungkinkan
untuk ia menjalankan peran tersebut. Sebagai seorang
Farisi yang lahir di tengah-tengah diaspora (Tarsus di
provinsi Kilikia, Siria) rasul Paulus bertumbuh sebagai
seorang polyglot (seseorang yang memiliki berbagai
bahasa sebagai bahasa ibu). Bahasa ibu nya tentu saja
adalah bahasa Aram seperti Yesus dan murid-murid yang
lain, tetapi ia sendiri mengaku bahwa ia mengecap
pendidikan klasik Yunani dari sejak masa mudanya. Hal
ini dibuktikan berkali-kali di dalam pelayanan rasul
Paulus. Ia tidak ‘kalah angin’ ketika berdebat dengan
filsuf-filsuf Yunani di bukit Mars dalam Kisah Para
rasul 17.
Paulus juga seorang warga negara Romawi, yang
kemungkinan besar, dia mengerti bahasa Latin. Ia juga
bersaksi bahwa sebenarnya ia sangat terbeban untuk
memenangkan kaum sebangsanya sendiri. Tetapi ia menuruti
panggilan Tuhan untuk menjadi rasul bagi bangsa-bangsa
non-Yahudi. Hal ini berarti bahwa ia juga terpanggil
untuk menjabarkan berita Injil diantara bangsa-bangsa
non-Yahudi, menjelaskan doktrin-doktrin dasar Kristiani
di mana di dalamnya terdapat persamaan dan perbedaan di
dalam aplikasinya dengan hukum Taurat; singkatnya ia
dipanggil sebagai seorang pengajar. Namun dalam
perjalanan kehidupannya sehari-hari ia juga tidak
melupakan peranannya sebagai seorang penginjil. Secara
pribadi ia terus menerus memberitakan Injil baik secara
personal maupun secara massal. Ia sendiri berkata
celakalah aku jika aku tidak memberitakan Injil (1
Korintus 9:16).
Dikotomi yang sering dihadapi ialah ketika seseorang
memasuki panggilan sebagai pengajar, seringkali ia
melupakan panggilannya sebagai pemberita Injil begitu
pula sebaliknya. Paulus berkata di dalam 1 Timotius 2:7
bahwa ia menyandang tiga panggilan di dalam kehidupannya;
sebagai rasul, sebagai pemberita dan sebagai pengajar.
Amanat Agung adalah amanat yang diberikan kepada semua
orang yang mengaku dirinya adalah murid Kristus. Apapun
panggilan mereka; baik sebagai pengajar, ataupun sebagai
pemberita, kita harus tetap mengingat bahwa pada
akhirnya Kerajaan Allah ditegakkan dengan bertambahnya
jumlah orang yang percaya kepada Yesus dan diselamatkan.
Pertumbuhan kuantitatif adalah bukti yang paling jelas
bahwa telah terjadi pertumbuhan secara kualitatif.
Semakin dalam seseorang mengaku mengenai Kristus,
semakin efektif ia menjadi seorang pemenang jiwa. Amin
(AL)