APAKAH KASIH KARUNIA DARI TUHAN ITU TIDAK BERSYARAT?
Hari-hari ini, kita melihat begitu banyak pengajaran
yang berkembang, salah satunya pengajaran yang kita
kenal dengan istilah ‘kasih karunia overdosis’ atau
‘hyper grace’. Ternyata pengajaran ini secara tidak kita
sadari telah merasuki pikiran dan pemahaman dari banyak
sekali anak Tuhan, termasuk juga pengkotbah-pengkotbah
yang melayani di mimbar gereja di Ibadah Minggu.
Pengajaran hyper grace ini memang sangat enak didengar
oleh telinga; bahkan sampai bisa diterima oleh hati dan
pikiran karena “kebenaran-kebenaran” yang disampaikan
begitu sederhana dan sangat “menolong” bagi mereka yang
hidupnya tidak mau susah atau tidak mau diajar untuk
hidup dalam takut akan Tuhan dan hidup sungguh-sungguh
mengasihi Tuhan. Kalau bisa ikut Tuhan dengan sesuka
hati namun tetap diberkati dan masuk surga, pasti semua
orang akan menyukai.
Salah satu pengajaran yang hyper grace ajarkan adalah
Gereja yang mengajarkan Kasih Karunia dan juga Hukum /
Perintah-perintah TUHAN adalah gereja yang sesat. Gereja
yang benar hanya boleh mengajarkan tentang Kasih
Karunia. Ajaran hyper grace mengajarkan bahwa gereja
tidak perlu lagi; bahkan tidak boleh lagi mengajarkan
perintah-perintah Tuhan yang lain, seperti mengenai
ketaatan, hidup dalam kekudusan, dan lain-lain, karena
semuanya itu sudah diselesaikan oleh Tuhan Yesus. Gereja
hanya perlu mengajarkan apa yang sudah kita terima dalam
Kristus yaitu Kasih Karunia yang sudah Dia berikan,
sedangkan yang lain tidak perlu atau tidak berguna.
Apakah benar demikian? TIDAK!! Cara pandang yang seperti
ini sangat TIDAK Alkitabiah. Alkitab selalu mengajarkan
bahwa ‘ada bagian Tuhan’ dan ‘ada bagian kita’, dalam
kita membangun hubungan dan mengikut Tuhan. Alkitab
senantiasa memberikan bukti bahwa dalam hal MEMBERI dan
MENERIMA, selalu ada unsur ‘timbal balik’. Dalam bahasa
Inggris hal ini dikenal dengan kata ‘reciprocal’ atau
‘reciprocity’.
Bagian Tuhan adalah memberikan kasih karunia supaya kita
diselamatkan, sedangkan bagian kita adalah bertanggung
jawab untuk membalasnya dengan ucapan syukur dan rasa
terima kasih atas apa yang telah Tuhan lakukan bagi kita
yaitu dengan menyerahkan hidup kita kepada-Nya dan
mentaati perintah dan larangan-Nya. Jadi disini jelas
dikatakan bahwa bukan hanya Tuhan yang bersikap aktif
dengan memberi anugerah-Nya, tetapi kita juga yang
menerima kasih karunia harus bersikap aktif dalam
meresponi anugerah yang Tuhan berikan.
BUKTI-BUKTI DALAM ALKITAB
1. Surat Rasul Paulus Kepada Di Jemaat Efesus
Dalam surat Efesus kita membaca bagaimana Rasul Paulus
mendorong jemaat di Efesus untuk:
• Menjadi peniru-peniru Allah (Efesus 5:1), bahasa
Inggrisnya “imitators of God”.
• Hidup dalam kasih sebagaimana Kristus mengasihi dan
mempersembahkan diri-Nya bagi mereka. (Efesus 5:1-2)
• Hidup sepadan dengan identitas sebagai ‘manusia baru’
yang diciptakan menyerupai Allah, Sang Pemberi Anugerah
Agung. (Efesus 4:24)
Itulah hal yang semestinya dilakukan oleh jemaat dalam
meresponi atau membalas anugerah agung yang telah
diterimanya dari Allah.
2. Surat Rasul Paulus Kepada Jemaat Di Roma
Selain surat kepada jemaat di Efesus, kita juga bisa
melihat konsep ‘timbal balik’ atau ‘reciprocal’ yang
terdapat di dalam surat Paulus kepada jemaat di Roma.
Surat ini tampaknya juga mempunyai pola yang hampir sama
dengan Surat Paulus kepada Jemaat di Efesus, yaitu:
a. Pasal 1-11 menggambarkan Allah sebagai pemberi
anugerah keselamatan, baik kepada orang Yahudi maupun
kepada orang non Yahudi. Sebagaimana jemaat di Efesus,
Jemaat di Roma pun tidak mungkin sanggup memberikan
balasan yang setara terhadap anugerah Allah yang begitu
besar. Namun, sebagaimana jemaat di Efesus, mereka pun
diharapkan bisa meresponi pemberian anugerah keselamatan
tersebut dengan menghidupi kehidupan yang mencerminkan
karakter ilahi.
b. Pasal 12-16 berisi pesan untuk ‘meresponi’ anugerah /
kasih karunia yang telah dicurahkan oleh Allah didalam
Yesus Kristus.
• Dimulai dengan Roma 12:1-2:
“Karena itu, saudara-saudara, demi kemurahan Allah aku
menasihatkan kamu, supaya kamu mempersembahkan tubuhmu
sebagai persembahan yang hidup, yang kudus dan yang
berkenan kepada Allah: itu adalah ibadahmu yang sejati.
Janganlah kamu menjadi serupa dengan dunia ini, tetapi
berubahlah oleh pembaharuan budimu, sehingga kamu dapat
membedakan manakah kehendak Allah: apa yang baik, yang
berkenan kepada Allah dan yang sempurna.”
Perhatikan juga kalimat-kalimat dari Rasul Paulus
menyiratkan pesan “meneladani” (imitating) Sang Pemberi
Agung, misalnya:
• “... kenakanlah Tuhan Yesus Kristus sebagai
perlengkapan senjata terang dan janganlah merawat
tubuhmu untuk memuaskan keinginannya.” (Roma 13:14)
• “… Setiap orang di antara kita harus mencari
kesenangan sesama kita demi kebaikannya untuk
membangunnya. Karena Kristus juga tidak mencari
kesenangan-Nya sendiri…” (Roma 15:2-3)
• “… Sebab itu terimalah satu akan yang lain, sama
seperti Kristus juga telah menerima kita, untuk
kemuliaan Allah.” (Roma 15:7)
Jadi, kita bisa mengatakan bahwa konsep ‘reciprocity’
atau ‘timbal balik’ itu jelas-jelas ada dalam
pembicaraan mengenai Anugerah Keselamatan dalam Kitab
Roma.
3. Pengajaran Tuhan Yesus
Konsep ‘reciprocal’ atau ‘timbal balik’ ini dapat kita
temukan di dalam pengajaran Yesus mengenai pengampunan
(Matius 18:23-24).
Sebagai respon kita terhadap pertanyaan Petrus: “Tuhan,
sampai berapa kali aku harus mengampuni saudaraku jika
ia berbuat dosa terhadap aku? Sampai tujuh kali?”
(Matius 18:21)
Yesus lalu menceritakan perumpamaan tentang seorang
hamba yang tak punya belas kasihan. Konteksnya secara
kebetulan berbicara mengenai utang-piutang! Seorang Raja
memberi pinjaman kepada hambanya sejumlah besar uang
(10.000 talenta). Ketika tiba waktu membayar, hamba
tersebut ternyata tidak mampu memenuhi kewajibannya. Apa
yang dilakukan oleh Raja itu? Ternyata bukannya
menjatuhkan hukuman, melainkan justru sebaliknya: raja
itu menghapuskan semua hutang-hutang hambanya itu.
Dari kisah ini kita melihat sebuah gambaran tentang
pemberian anugerah yang menakjubkan, yang diberikan oleh
seorang raja kepada hambanya. Namun sayang ternyata apa
yang dilakukan raja tersebut tidak menjadikan contoh
bagi hamba ini. Perumpamaan ini berakhir tidak dengan
happy ending! Karena hamba tersebut gagal untuk
meneladani Sang Raja!
Karakter sang Raja tidak ada di dalam diri hambanya itu,
bukannya menghapuskan utang dari rekan yang berhutang
seratus dinar kepadanya, malahan sang hamba ini
menjebloskan rekannya yang hanya berhutang sedikit
kepadanya ke dalam penjara. Mendengar perlakuan yang tak
berbelas kasihan dari hamba yang jahat ini, sang Raja
menjadi marah.
Akhirnya raja membatalkan penghapusan hutang dari hamba
itu dan menjebloskannya ke dalam penjara. Perumpamaan
ini ditutup dengan sebuah pesan yang penuh dengan unsur
reciprocity: “Bukankah engkau pun harus mengasihani
kawanmu seperti aku telah mengasihani engkau?” (Matius
18:33)
Quote:
“Bukankah engkau pun harus mengasihani kawanmu
seperti aku telah mengasihani engkau?”
(Matius 18:33)
Berhati-hatilah terhadap gereja, pengkotbah dan
pengajar, yang hanya mengkotbahkan dan mengajarkan ‘all
about grace’ tanpa mengajarkan dan menjelaskan tentang
tanggung jawab yang harus dilakukan oleh kita sebagai
penerima grace tersebut. Pengajaran yang tidak seimbang,
berat sebelah, yang hanya melihat satu sisi saja tanpa
memperhatikan sisi yang lainnya, ternyata akan berakibat
FATAL!
Seorang Pengkotbah terkenal dan tokoh utama dari hyper
grace movement, menulis: “When you receive completely
what Jesus has done for you, your doing will flow
effortlessly.” Artinya jelas, yaitu sebagai orang
percaya kita tidak perlu melakukan usaha apapun juga
(effortless) dalam perjalanan iman kita; kita harus
menyerahkan semuanya kepada Tuhan, maka semua pasti
beres! Jadi kita yang sudah menerima anugerah
keselamatan; yang sudah dibenarkan oleh Allah, tidaklah
perlu lagi untuk memuliakan Allah dengan hidup kita.
Hal ini bisa terjadi karena kita menjadikan Kasih
Karunia Tuhan itu menjadi satu-satunya dasar dari segala
pengajaran. Seperti istilah yang sering mereka gunakan
‘Radical Grace’. Disinilah letak adanya bahaya yang kita
sebut ‘spiritualitas tanpa usaha’ (effortless
spirituality). Hal ini sangat berpotensi untuk
menyebabkan dan membentuk orang-orang Kristen yang malas
dan masa bodoh secara rohani, dan pada akhirnya akan
menghasilkan fruitless Christians (orang-orang Kristen
yang tidak menghasilkan buah). ‘Berbuah’ itu penting
karena ini adalah perintah langsung dari Tuhan Yesus
ketika kita tinggal didalam Dia (Yohanes 15:8; Yohanes
15:16).
Tuhan memilih dan menyelamatkan kita supaya kita
menghasilkan buah-buah kebenaran dan hidup memuliakan
Tuhan. ‘Timbal balik’ atau ‘reciprocal’ yang Tuhan minta
adalah bahwa keselamatan tidak hanya kita terima begitu
saja, tetapi kita harus bertanggung jawab atas
keselamatan dan Kasih Karunia yang telah Tuhan
anugerahkan. (MK)
Quote:
Yohanes 15:16
Bukan kamu yang memilih Aku, Tetapi Akulah yang memilih
kamu.
Dan Aku telah menetapkan kamu, supaya kamu pergi dan
menghasilkan buah dan buahmu itu tetap, supaya apa yang
kamu minta kepada Bapa dalam nama-Ku diberikan-Nya
kepadamu.