BERTEKUN DALAM KASIH
“Kasihilah Tuhan, Allahmu dengan
segenap hatimu
dan dengan segenap jiwamu dan dengan segenap akal budimu.
Itulah hukum yang terutama dan yang pertama,”
Matius 22:37-40
Di saat seseorang bertobat, mengakui dosa-dosanya dan
menerima Yesus sebagai Tuhan dan Juruselamatnya, maka
pada saat itu dia lahir baru dan menjadi anak Allah. (Yoh
1:12)
Kelahiran baru merupakan awal perjalanan kehidupan
kekristenan menuju kedewasaan dalam Kristus. Awalnya
manusia cenderung menggebu-gebu dan antusias dalam hal
mengasihi, baik kepada Tuhan maupun sesama, tetapi
seiring dengan berjalannya waktu gairah ini bisa semakin
menurun dan memudar, bila tidak dijaga.
Orang yang kehilangan kasih yang mula-mula, dapat
melakukan aktivitas dengan baik, berjerih lelah, namun
dia melakukannya bukan karena kasih namun karena “harus”
melakukan hal tersebut. Tuhan menghendaki kita melakukan
sesuatu dengan berjerih lelah dengan motivasi yang benar
yaitu karena mengasihi Tuhan.
Bagaimana kita dapat memiliki kasih yang konsisten dalam
kehidupan ini? Yaitu dengan bertekun dalam kasih.
Bertekun memiliki pengertian: berkeras hati dan
sungguh-sungguh (bekerja, belajar, berusaha, dsb),
sedangkan kasih memiliki pengertian perasaan sayang (cinta,
suka).
Prinsip bertekun dalam kasih:
1. Membangun Hubungan Yang Benar
Hubungan merupakan faktor utama untuk dapat memiliki
kasih yang konsisten. Karena melalui hubungan yang erat
dan mendalam terciptalah kesatuan. Hubungan yang intim
dengan Tuhan dapat dilakukan dengan berbagai cara
seperti: pujian dan penyembahan yang dilakukan secara
pribadi, melalui mezbah keluarga, mengikuti program
HEBAT (Hari Enerjik Baca Alkitab Teratur), aktif di
COOL, Ibadah Raya, dan lain lain. Melalui hubungan yang
intim dengan Tuhan, maka energi rohani akan mengalir.
Karena itu walaupun banyak kesibukan, tetaplah
memberikan waktu yang terbaik bagi Tuhan.
2. Berpegang Pada Kekudusan
Takut akan Tuhan adalah rasa hormat kepada Tuhan dan
menjauhkan diri
dari berbuat kejahatan. Yusuf seorang pria yang masih
sangat muda belia memiliki sikap takut akan Tuhan yang
patut diteladani. Yusuf diberi kesempatan untuk digoda
oleh isteri Potifar. Walaupun godaan itu datang berkali-kali,
tetapi dengan tegas Yusuf tetap menolaknya. (Kej 39:10)
Kadangkala Tuhan izinkan ada kesempatan untuk berbuat
dosa sebagai ujian bagi kita, tetapi bagaimana sikap
kita dalam menghadapinya? Yusuf berhasil keluar sebagai
pemenang dalam menghadapi ujian ini, sehingga ia
dipromosikan oleh Tuhan.
“Tetapi hendaklah kamu menjadi kudus di dalam seluruh
hidupmu sama seperti Dia yang kudus, yang telah
memanggil kamu, sebab ada tertulis: Kuduslah kamu, sebab
Aku kudus.” (1 Pet 1:15-16)
3. Berkomitmen Pada Kebenaran
Apa yang dikatakan benar oleh firman Allah adalah
kebenaran, apa yang dikatakan salah oleh firman adalah
tetap salah, walaupun orang banyak mengatakan sebaliknya.
Tuhan tidak suka ketika orang berkompromi dengan standar
kebenaran sekalipun hal tersebut telah menjadi tren yang
telah diikuti oleh banyak orang.
Salah satu ciri khas dalam era post modern ini menurut
Alvin Toffler ialah tidak ada lagi sistem nilai yang
bersifat absolut, semuanya bersifat relatif, termasuk
kebenaran. Alkitab menyatakan bahwa firman Allah adalah
kebenaran yang absolut, bahkan Yesus sendiri mengatakan
bahwa Dialah kebenaran itu sendiri. Tuhan Yesus
menentang siapapun di dalam jemaat-Nya yang menunjukkan
sikap bertoleransi terhadap dosa. (Yoh 17:17, 14:6)
4. Siap Diproses Oleh Tuhan
“Barangsiapa Kukasihi, ia Kutegor dan Kuhajar; sebab itu
relakanlah hatimu dan bertobatlah.” (Why 3:19)
Kejadian-kejadian yang tidak menyenangkan seringkali
merupakan cara Tuhan untuk memproses anak-anak-Nya.
Untuk dapat bertekun dalam kasih, kita harus siap
diproses oleh Tuhan melalui berbagai keadaan.
Bila diresponi dengan benar, maka proses apapun yang
Tuhan ijinkan akan dapat membuat kasih semakin mendalam.
5. Mengembangkan Sikap Saling Mengampuni
Pengampunan dan kasih seperti dua sisi dari 1 mata uang
yang sama. Dalam perjalanan kekristenan kita akan
berinteraksi dengan pribadi-pribadi di sekitar kita dan
konflik dapat saja terjadi; kapan saja dan di mana saja.
Konflik yang tidak dibereskan mengakibatkan pribadi yang
mengalaminya akan terluka, kecewa, sakit hati, tidak
dapat bertumbuh dan bertekun dalam kasih. Konflik dapat
diselesaikan dengan saling memberikan pengampunan.
Kasih kepada Allah adalah dasar untuk kita dapat
mengasihi sesama. Semakin besar kasih seseorang kepada
Tuhan, semakin besar pula kemampuannya untuk mengasihi
sesamanya. “Kita mengasihi, karena Allah lebih dahulu
mengasihi kita” (1 Yoh 4:11). Kasih itu perlu dirawat
sehingga semakin bertumbuh.
Sama seperti kasih suami isteri yang baru menikah,
biasanya menggebu-gebu luar biasa, tetapi kalau tidak
dirawat perlahan-lahan dapat menjadi redup dan akhirnya
padam. Kasih kepada Allah sama halnya dengan hubungan
suami isteri yang merupakan gambaran yang dipakai
Alkitab untuk melukiskan hubungan Kristus dengan
jemaat-Nya. (Efesus 5:33)
Kasih kepada kepada Allah dan sesama, harus diupayakan
dengan bertekun, bersungguh-sungguh, bekerja keras,
belajar, dan berusaha. Bertekun dalam kasih berarti
terus-menerus dengan segala upaya untuk
bersungguh-sungguh semakin mengasihi Allah dan sesama.
(JS).
Quote:
“Kasihilah Tuhan, Allahmu dengan segenap hatimu dan
dengan segenap jiwamu dan dengan segenap akal budimu.
Itulah hukum yang terutama dan yang pertama,” Matius
22:37-38