BISA HIDUP KUDUS KARENA ALLAH TELAH MENGUDUSKAN
“Terpujilah Allah dan
Bapa Tuhan kita Yesus Kristus yang dalam Kristus telah
mengaruniakan kepada kita segala berkat rohani di dalam
sorga.”Efesus 1:3
Ketika orang rindu untuk mengalami sesuatu yang baik
dalam kehidupannya, kebanyakan mereka mencari
langkah-langkah atau metode yang praktis untuk dilakukan.
Untuk mengalami berkat Tuhan yang melimpah, misalnya,
orang cenderung untuk mencari ‘rumus menjadi kaya
seperti Salomo’. Supaya bisa hidup kudus, orang akan
mencari resep seperti ‘langkah menuju kekudusan’. Tidak
mengherankan kalau content dengan tema-tema seperti itu
memiliki viewers yang banyak.
Sepertinya tidak ada yang salah dengan hal ini. Orang
tentu perlu ‘take action’, seperti kata Alkitab:
“iman tanpa perbuatan-perbuatan adalah mati”
(Yakobus 2:26)
Akan tetapi, ini bisa menandakan bahwa orang ingin
mewujudkan segala sesuatu dengan cepat, instan, tanpa
perlu banyak berpikir atau merenung. Tanpa disadari, ini
mungkin menjadi sebuah penanda bahwa orang terlalu fokus
dengan apa yang dia bisa dan harus lakukan. Dalam
istilah Alkitab, ini biasa disebut dengan ‘mengandalkan
kekuatannya sendiri’. (Yeremia 17:5)
Bagaimana anak-anak Tuhan seharusnya mewujudkan hal-hal
yang baik dalam hidupnya sesuai dengan paradigma
Alkitabiah? Mari kita mengambil hidup kudus sebagai
contoh.
Ketika orang mengingatkan sesamanya untuk hidup kudus
dengan mengutip, “Kuduslah kamu, sebab Aku [Tuhan]
kudus” (1 Petrus 1:16), seringkali orang yang diingatkan
berpikir: "Bagaimana mungkin saya bisa seperti Allah
yang kudus?"
Hidup kudus seolah-olah menjadi sesuatu yang baik untuk
dipercakapkan namun hampir mustahil untuk dilakukan.
Benarkah demikian? Mari kita membaca Firman Tuhan dalam
1 Petrus 1 secara utuh. Kita akan menemukan sebelum
Allah Bapa meminta “kuduslah kamu”, Ia
“karena rahmat-Nya yang besar telah melahirkan kita
kembali oleh kebangkitan Yesus Kristus dari antara orang
mati, kepada suatu hidup yang penuh pengharapan, untuk
menerima suatu bagian yang tidak dapat binasa, yang
tidak dapat cemar dan yang tidak dapat layu, yang
tersimpan di sorga bagi kamu.”
(1 Petrus 1:3-4)
Ternyata Petrus menyerukan hidup kudus setelah jemaat
diingatkan apa yang Allah Bapa telah lakukan buat mereka
di dalam Kristus, yaitu melahirkan mereka kembali untuk
menerima suatu bagian yang tidak dapat cemar. Perintah
untuk hidup kudus bisa dilakukan karena terlebih dulu
Allah telah menguduskan kita.
“Tetapi oleh Dia kamu berada dalam Kristus Yesus, yang
oleh Allah telah menjadi hikmat bagi kita. Ia
membenarkan dan menguduskan dan menebus kita.”
(1 Korintus 1:30)
Mengapa pada kenyataannya orang sering merasa sulit
untuk hidup kudus? Berdasarkan pemahaman yang telah
dibahas sebelumnya, sulitnya hidup kudus terjadi karena
seringkali orang lupa bahwa Tuhan terlebih dahulu telah
menguduskan mereka. Dapat kita simpulkan bahwa untuk
mewujudkan segala sesuatu harus dimulai dengan ‘apa yang
Tuhan telah kerjakan dalam hidup kita’, sebelum ‘apa
yang kita akan kerjakan’. Prioritas utama adalah
‘being’, yaitu identitas kita “di dalam Kristus”; baru
setelah itu ‘doing’, yaitu apa yang sebaiknya kita
kerjakan sesuai dengan identitas tersebut, apa
langkah-langkah yang harus diambil.
Kita tidak mungkin melakukan sesuatu dalam hidup kita
yang sebelumnya Tuhan belum kerjakan atas kita. Rasul
Paulus adalah alat di tangan Tuhan yang menyadarkan
orang percaya akan realitas hidup ‘di dalam Kristus’ ini.
Ungkapan ‘di dalam Kristus’ atau yang sejenisnya muncul
tidak kurang dari 164 kali dalam tulisan Paulus. Ini
berarti, kesadaran atau cara pandang bahwa kita ada ‘di
dalam Kristus’ adalah sesuatu yang sangat penting
menurut Firman Tuhan. Mari kita hidup dengan paradigma
ini!
Apa yang akan terjadi apabila anak-anak Tuhan memakai
paradigma ini dalam hidupnya? Orang yang memiliki
paradigma bahwa ia telah dikuduskan, atau telah
dijadikan orang kudus oleh Yesus, tidak akan berkata
dalam hatinya ‘betapa sulitnya hidup kudus, betapa
gampangnya berbuat dosa’. Ini adalah paradigma yang
lama. Sebaliknya, ia akan berkata dalam hatinya: “Saya
ini orang kudus, karenanya saya mencintai dan memilih
perbuatan yang kudus." Inilah paradigma yang baru! Ini
tentu bukan berarti hidup kudus bisa dilakukan tanpa
upaya atau perjuangan kita sama sekali. Akan tetapi, ada
perbedaan besar antara upaya hidup kudus yang dilakukan
dengan kekuatan sendiri dengan upaya yang dilakukan
dengan kesadaran bahwa seseorang telah dikuduskan.
Ada kisah menarik yang bisa menggambarkan kebenaran ini.
Ingwer Ludwig Nommensen, atau yang lebih dikenal sebagai
Opung Nommensen, datang ke Sumatera di abad ke-19 untuk
memberitakan Injil kepada suku-suku Batak. Suatu ketika
seorang kepala suku menyambut Nommensen dan berkata,
“Anda punya waktu dua tahun untuk mempelajari adat kami
dan untuk meyakinkan kami bahwa Anda membawa pesan yang
layak untuk kami dengar.” Setelah dua tahun berlalu, si
kepala suku bertanya kepada Nommensen bagaimana
Kekristenan berbeda dari aturan moral dan tradisi yang
mereka anut.
"Kami sudah tahu apa yang benar,” ucap si kepala suku.
Kami juga memiliki hukum-hukum yang melarang kami
mencuri, atau mengambil isteri sesama, atau berbohong.
Nommensen menjawab, “Itu benar adanya. Tapi Allahku
memberikan kemampuan untuk menaati hukum-hukum tersebut.”
Hal ini mengagetkan si kepala suku. “Bisakah engkau
mengajari orang-orangku untuk hidup lebih baik?”
“Tidak, saya tidak bisa,” jawab Nommensen. “Tapi kalau
mereka menerima Yesus Kristus, Allah akan memberikan
mereka kekuatan untuk melakukan apa yang benar.”
Si kepala suku kemudian mengundang Nommensen untuk
tinggal selama enam bulan. Dalam kurun waktu itu,
Nommensen memberitakan Injil dan mengajar orang-orang di
kampung tentang bagaimana Roh Kudus bekerja dalam
kehidupan orang Kristen. “Kamu boleh tinggal selama yang
kamu suka,” ujar si kepala suku. “Agamamu lebih baik
dari agama kami, karena Allahmu berjalan bersama manusia
dan memberikan mereka kekuatan untuk melakukan hal-hal
yang Ia minta.”
Haleluya! Paradigma tentang apa yang Allah telah lakukan
buat kita menentukan apa yang kita akan kerjakan dalam
hidup kita.
“A high view of God leads to high worship and holy
living, but a low of God leads to trivial worship and
low living.” (Pandangan yang tinggi tentang Allah akan
menghasilkan penyembahan yang tinggi dan kehidupan
kudus, tapi pandangan yang rendah tentang Allah akan
menghasilkan penyembahan pura-pura dan kehidupan
bermoral rendah) - Steven J Lawson. (HT)