BOLEHKAH ORANG KRISTEN BERUTANG?
Hari ini kita akan membahas isu: “Bolehkah orang Kristen
berutang?” Kita sering mendengar penawaran yang
kira-kira bunyinya seperti ini: “Dengan pinjaman online
…, semua kebutuhan mendesak Anda dapat dengan mudah dan
cepat teratasi. Pengajuannya mudah, persyaratannya
ringan dan yang paling penting pencairannya cepat.”
Penawaran tersebut sedang marak akhir-akhir ini di
berbagai situs pinjaman online, yang menawarkan pinjaman
bagi yang membutuhkan dana dalam waktu singkat, dan
ternyata banyak orang menjadi tertarik untuk meminjam
uang, karena kemudahan yang ditawarkan. Tetapi berapa
banyak yang mendengar masalah dan isu negatif yang kerap
menyertai pinjaman online tersebut? Lalu apa kata
Alkitab tentang konsep berutang ini?
Paulus mengajarkan dalam Roma 13:8,
“Janganlah kamu berhutang apa-apa terhadap siapa pun
juga…”
Hal ini dipahami oleh sebagian orang Kristen bahwa
dilarang sama sekali untuk berutang atau mengambil
pinjaman di lembaga yang resmi. Alkitab Penuntun Hidup
Berkelimpahan (APHB) bagus sekali dalam menjelaskan
bahwa orang percaya boleh meminjam untuk keperluan yang
serius, tetapi jangan berutang untuk hal-hal yang tidak
perlu dan menunjukkan sikap ketidakacuhan dalam membayar
kembali utang itu.
Dalam salah satu komentari dijelaskan bahwa yang
dimaksudkan oleh Paulus adalah tidak boleh ada utang
yang dibiarkan terbuka tanpa ada niatan untuk
mengembalikan. Karena hal ini juga tidak didasari atas
kasih kepada Allah dan kasih kepada sesama. Justru orang
yang mengasihi sesama akan mengembalikan uang yang
dipinjamnya itu.
Di sini, kita melihat adanya perbedaan perspektif
terhadap utang dari kacamata orang fasik dan orang benar.
Mazmur 37:21 menjelaskan,
“Orang fasik meminjam dan tidak membayar kembali, tetapi
orang benar adalah pengasih dan pemurah”.
Orang fasik meminjam dengan tidak ada niatan untuk
membayar balik; lain halnya dengan orang benar yang
digambarkan sebagai orang yang pemurah dalam memberi
pinjaman. Tetapi ayat ini jangan disalahtafsirkan bahwa
kalau meminjam kepada sesama orang seiman tidak perlu
dikembalikan. Justru orang yang hidupnya dituntun oleh
Roh Kudus pasti akan mengembalikan secara penuh apa yang
dipinjam itu.
Konsep kedua mengenai utang, kita belajar dari
perumpamaan Yesus di dalam Matius 18:21-35. Yesus
berkata ada seorang hamba yang berutang 10.000 talenta.
Itu sama dengan upah bekerja selama 200.000 tahun. Dia
tidak mampu membayar dan memohon kepada raja untuk
diampuni. Singkat cerita, raja tersebut mengampuni orang
itu. Tetapi di sisi lain hamba itu tidak rela
membebaskan utang temannya yang berutang kepadanya
sebanyak 100 dinar atau setara dengan upah 4 bulan kerja.
Malahan temannya dijebloskan ke dalam penjara sampai
bisa membayar utangnya. Apa yang Yesus ingin ajarkan
kepada kita adalah konsep mengampuni dan mengasihi
sesama sebagaimana Dia telah terlebih dahulu mengasihi
kita.
Yesus menggambarkan motivasi dan alasan kenapa kita
harus mengampuni orang lain yaitu, karena Allah terlebih
dahulu mengasihi kita, dan menghapuskan utang yang
selama-lamanya tidak mungkin dapat kita bayar. Yesus
membayar dengan lunas seluruh hidup kita, maka sudah
sepatutnya kita menghidupi kehidupan ini dengan perasaan
“berutang budi” kepada Tuhan. Kita ekspresikan ucapan
syukur dengan mengasihi dan mengampuni sesama – dan ini
akan terus berlangsung sebagai penggenapan kasih Kristus
dalam hidup kita.
Dalam Kisah Para Rasul 20:35, justru gaya hidup orang
percaya diminta untuk menjadi berkat bagi sesama, di
mana lebih berbahagia memberi daripada menerima. Dan
dalam konteks saat kita meminjam, maka harus diusahakan
untuk bisa mengembalikan utang tersebut sepenuhnya,
seperti yang tertulis dalam Roma 13:7. Sehingga, hidup
dengan memegang janji atau komitmen untuk memenuhi
kewajiban, bahkan sebuah nazar, adalah gaya hidup yang
Tuhan inginkan dari kita sebagai orang yang memiliki
integritas.
Memang Alkitab tidak memberikan panduan praktis dan
eksplisit mengenai boleh atau tidaknya berutang, tetapi
dari ayat-ayat di atas kita dapat mengambil beberapa
kesimpulan penting:
1. Orang Kristen boleh meminjam uang selama memiliki
niatan dan kemampuan untuk bisa mengembalikan pinjaman
tersebut. Apabila meminjam kepada bank, maka perlu
diperhatikan rasio pendapatan bulanan dengan besaran
pinjaman yang diambil beserta dengan bunganya.
2. Meminjam uang atau berutang tidak boleh untuk hal-hal
yang konsumtif apalagi sebagai gaya hidup, karena orang
Kristen justru memiliki etos “lebih baik memberi
daripada menerima”.
3. Terakhir adalah perlu diperhatikan dari lembaga mana
kita mengambil pinjaman tersebut, apakah sudah terdaftar
di OJK sebagai lembaga pengawas yang resmi atau tidak. (RL-DAP)