IMAMAT YANG RAJANI
PARADIGMA BARU DALAM PELAYANAN MUSIK, PUJIAN DAN
PENYEMBAHAN
Selama puluhan tahun sejak pertama kali restorasi Pujian
dan Penyembahan yang TUHAN percayakan melalui hamba-Nya
Bapak Pdt. DR. Ir. Niko Njotorahardjo sebagai pioneer
hamba Tuhan yang melayani sepenuh waktu dalam bidang
pujian dan penyembahan, kita mengenal istilah imam musik,
imam pemuji penyembah.
Penggunaan kata “imam” tentu merujuk kepada pemahaman
bahwa mereka yang disebut sebagai imam musik atau imam
pemuji dan penyembah adalah pribadi-pribadi yang
hidupnya dikhususkan untuk memimpin pujian dan
penyembahan dalam pelaksanaan ibadah umat.
Dalam jemaat dan pengerja kita, tidak sedikit yang
memiliki potensi dan karunia bermusik atau bernyanyi
bahkan bersuara merdu, namun dalam pelaksanaan ibadah,
tidak semua umat tersebut diberikan kewenangan, otoritas
dan tanggung jawab untuk memimpin atau melaksanakan
pelayanan pujian dan penyembahan. Hanya mereka yang
telah ditetapkan sebelumnya oleh pemimpin gereja sebagai
imam musik, pemuji dan penyembah yang diberikan
kewenangan tersebut sesuai jadwal yang sudah diatur.
Sampai pada tahap ini, implikasi ‘pengkhususan’ dari
istilah imam tentu tidak menimbulkan diskusi dan
perbedaan pemahaman.
Namun, ketika implikasi ‘pengkhususan’ dari istilah imam
ini ditarik lebih jauh, di mana mereka yang disebut
sebagai imam musik, pemuji dan penyembah sungguh-sungguh
hanya ‘diperbolehkan’ menggunakan talenta, kemampuan
bermusik atau bernyanyi mereka dalam ranah rohani (pelayanan
gereja) semata dan tidak boleh dikhamiri dengan
menggunakannya di ranah sekuler, timbullah persoalan!
Secara khusus di antara mereka yang bukan fulltimers
gereja (tidak mendapatkan penghasilan dari gereja) dan
memiliki profesi di bidang musik atau dunia tarik suara,
termasuk mereka yang karena bakat dan talentanya secara
serius menekuni industri musik atau dunia pendidikan
musik sekuler.
Hal ini menimbulkan sebuah dilema di mana pada akhirnya
tidak sedikit mereka yang memiliki talenta dalam bidang
musik/vokal, memiliki kerinduan untuk terlibat dalam
pelayanan gereja; akhirnya tidak jadi melayani karena
mereka tidak mungkin meninggalkan profesi mereka dalam
industri musik sekuler.
Bagaimana gereja dapat menyikapi dilema ini? Memasuki
Tahun Paradigma yang Baru, TUHAN memberikan paradigma
yang baru dalam berbagai sektor pelayanan gereja,
termasuk dalam hal pelayanan musik, pujian dan
penyembahan. Mari kita simak dua bagian teks dalam
Alkitab berikut ini:
1. Pengunaan Istilah PELAYAN
“Juga diangkatnya dari orang Lewi itu beberapa orang
sebagai pelayan di hadapan tabut TUHAN untuk
memasyhurkan TUHAN, Allah Israel dan menyanyikan syukur
dan puji-pujian bagi-Nya.”
1 Tawarikh 16:4
Apa yang menarik dalam ayat ini ada istilah yang
digunakan kepada orang Lewi yang menyanyikan syukur dan
puji-pujian bagi-Nya di hadapan tabut adalah PELAYAN,
bukan imam. Kata ‘pelayan’ (ing. Ministers) dari kata
shârath yang secara akar katanya berarti “untuk hadir
sebagai”, “berkontribusi kepada”, “melayani” dan
“melakukan pelayanan”.
Dalam The NIV Application Commentary, Historical Book
kata "pelayan" (šrt) berarti "pelayanan yang saleh" atau
"kehadiran yang setia pada ritual." Pelayanan imam dan
Lewi yang berpusat di Gibeon tetap menjadi salah satu
pemeliharaan ibadah kurban Israel. Pelayanan Lewi di
depan Tabut di Yerusalem pada dasarnya bersifat musikal.
Pengunaan istilah pelayan bagi mereka yang melakukan
pelayanan di bidang pujian dan penyembahan memiliki
beberapa implikasi positif, antara lain:
a. Menempatkan pelayanan di bidang pujian dan
penyembahan setara dengan bidang pelayanan lainnya dalam
gereja, misalnya doa syafaat, pemberitaan firman, usher,
dan lainnya. Setara dalam pengertian tidak lebih tinggi
kedudukannya (prestisius) dan juga tidak lebih rendah.
b. Membuka kesempatan kepada anggota jemaat yang
memiliki talenta dan keterampilan bermusik dari latar
belakang profesi untuk “melakukan pelayanan”,
“berkontribusi kepada”, “melayani sebagai” pelayan di
bidang pujian dan penyembahan.
c. Meredam tensi tuntutan yang tinggi sehubungan dengan
pelayanan di bidang pujian dan penyembahan.
Tentunya kita tidak boleh menurunkan standar kekudusan
dan standar kualitas pujian dan penyembahan dalam ibadah,
kita juga tidak boleh menjadikan pujian dan penyembahan
dalam ibadah menjadi entertainment, dan bahwasanya
seorang pelayan pujian dan penyembahan harus memenuhi
kriteria tertentu, dapat dipertahankan.
Hanya saja, tuntutan untuk tidak bermain musik dalam
dunia sekuler, padahal sudah sesuai dengan profesi dan
pendidikan akademiknya; sudah tidak dapat diterapkan.
Musik adalah bahasa yang universal, secara naturnya
musik bersifat netral, tidak perlu melakukan dikotomi (pemisahan,
pembagian dua hal yang saling bertentangan) antara musik
rohani dengan musik sekuler. Keputusan seorang pelayan
musik untuk mendedikasikan seluruh talenta dan karunia
bermusiknya hanya bagi Tuhan biarkanlah menjadi ranah
privat, keputusan pribadinya dengan Tuhan. Sehingga kita
juga tidak terjebak dalam ‘banding-membandingkan’ antara
pelayan pujian dan penyembahan yang satu dengan yang
lainnya.
2. Imamat yang Rajani
“Tetapi kamulah bangsa yang terpilih, imamat yang rajani,
bangsa yang kudus, umat kepunyaan Allah sendiri, supaya
kamu memberitakan perbuatan-perbuatan yang besar dari
Dia, yang telah memanggil kamu keluar dari kegelapan
kepada terang-Nya yang ajaib:”
1 Petrus 2:9
Apa yang dinyatakan Petrus dalam surat kirimannya yang
diinspirasikan Roh Kudus ini memberikan kepada pendengar
mula-mula, orang-orang pendatang, yang tersebar di
Pontus, Galatia, Kapadokia, Asia Kecil dan Bitinia yaitu
orang-orang yang dipilih, sesuai dengan rencana Allah,
Bapa kita, dan yang dikuduskan oleh Roh, supaya taat
kepada Yesus Kristus dan menerima percikan darah-Nya (1
Petrus 1:1-2) sebuah paradigma tentang status orang
percaya dalam Kristus dan dalam pelayanan.
Semua orang Kristen sejati (bukan hanya yang berlatar
belakang Yahudi) adalah generasi terpilih; mereka semua
membentuk satu keluarga rohani dari berbagai jenis dan
kelompok orang yang berbeda dari seluruh dunia secara
global.
Matthew Henry memberikan catatan bahwa kita semua adalah
imamat yang rajani. Kita adalah raja dalam hubungan kita
dengan Tuhan dan Kristus, kita adalah imamat rajani,
terpisah dari dosa dan orang berdosa, dikuduskan kepada
Allah, dan mempersembahkan kepada Allah pelayanan dan
persembahan rohani, yang diterima Allah melalui Yesus
Kristus.
Dengan bahasa yang sederhana, semua orang yang telah
ditebus dengan Darah Yesus berhak dan memiliki kewajiban
untuk mempersembahkan pelayanan dan persembahan rohani
kepada Allah. Pelayanan kepada Allah tidak lagi dibatasi
dengan aturan keimamatan atau pengkhususan kepada
kelompok tertentu. Di mana pun anak Tuhan berkarya, ia
harus memberitakan perbuatan-perbuatan yang besar dari
Dia.
Pelayanan di bidang pujian dan penyembahan dalam gereja
biar bagaimana pun adalah salah satu bentuk pelayanan
inti (core) karena terkait dengan penyelenggaraan ibadah,
di mana umat mengalami perjumpaan secara pribadi dengan
TUHAN dan di sana mereka menyadari akan realitas
spiritualitas mereka sebagai umat TUHAN.
Itu sebabnya sama seperti halnya juga bidang pelayanan
lainnya, tentu kita tidak boleh sembarangan dalam
mengatur dan menjadwalkan personil pelayan yang akan
melayani musik, pujian dan penyembahan dalam ibadah.
Segala sesuatunya tetap harus diperhatikan dengan teliti
dan seksama. Para pelayan musik, pujian dan penyembahan
umumnya melewati tahapan seleksi, audisi, pelatihan, dan
praktik pelayanan sebelum akhirnya diberikan otoritas
dan tanggung jawab pelayanan mimbar sambil terus
dimuridkan sehingga makin berkualitas bukan hanya dari
sisi keterampilan bermusik semata namun juga kerohanian
dan kehidupan sehari-hari yang sesuai dengan Firman
Tuhan. Proses yang harus dilalui memang ketat, namun
pintu kesempatan untuk terlibat menjadi pelayan musik,
pujian dan penyembahan haruslah tetap terbuka bagi
seluruh umat yang adalah Imamat yang Rajani. (DL)