IMAN YANG DIWARISKAN
“Sebab aku teringat akan imanmu yang
tulus ikhlas, yaitu iman yang pertama-tama hidup di
dalam nenekmu Lois dan di dalam ibumu Eunike dan
yang aku yakin hidup juga di dalam dirimu.”
(2 Timotius 1:5)
PERJUMPAAN DENGAN TERANG TUHAN
Sebagai pemimpin rohani atau orang tua, kita rindu
supaya generasi sesudah kita akan mewarisi iman seperti
yang kita miliki. Artinya, mereka:
• akan mempercayai apa yang kita percayai,
• akan melakukan apa yang telah kita teladani,
• akan bisa berpikir dan mengambil keputusan sebagaimana
kita berpikir dan mengambil keputusan.
Ketiga hal tersebut perlu kita ajarkan kepada mereka
sebagai warisan yang dapat ditinggalkan. Namun ada satu
hal yang sangat penting agar mereka dapat mengembangkan
hal-hal itu, yaitu mereka harus mengalami perjumpaan
pribadi dengan Tuhan.
Allah yang kita kenal di dalam Yesus Kristus adalah
Allah yang mulia yang diam di dalam terang. Segala
sesuatu yang berdekatan dengan terang akan menghasilkan
pantulan. Ketika Musa berjumpa dengan kemuliaan Tuhan di
Gunung Sinai, mukanya memancarkan kemuliaan Tuhan,
sehingga selama beberapa waktu mukanya harus ditutupi
dengan cadar. Namun pancaran kemuliaan ini tidak
berlangsung terus menerus; semakin memudar sekalipun
Musa tetap memasang cadarnya. Hal ini memang benar-benar
terjadi secara historis dan juga menunjukkan suatu
prinsip.
TERANG TUHAN MENGHASILKAN DAMPAK
Kemuliaan yang dialami oleh Musa adalah perjumpaan
pribadi dengan Tuhan, itu adalah sebuah peristiwa yang
terjadi karena kedaulatan Tuhan di dalam waktu dan di
tempatnya Tuhan. Selama kita hidup dalam darah dan
daging, kita masih belum dapat mengalami perjumpaan
fisik, seperti Musa berjumpa dengan Tuhan secara terus
menerus. Jika kita diberikan kesempatan untuk mengalami
perjumpaan dengan hadirat Tuhan yang adalah “terang,”
ini akan menghasilkan dampak di dalam
kehidupan kita.
Dampak ini dapat berbentuk 3 (tiga) hal:
1. Iman Yang Didasarkan Atas Pewahyuan
Paulus berkata bahwa iman yang ada di dalam diri
Timotius sekarang adalah iman yang diteruskan kepadanya
melalui ibunya Eunike dan neneknya Louis. (2 Tim 1:5)
Sejarah menceritakan bahwa Eunike dan Louis adalah
wanita-wanita Yahudi yang menikah dengan pejabat-pejabat
publik Romawi, namun tetap menjaga iman mereka. Sebagai
orang beragama Yahudi:
a. Mereka Percaya Kepada Satu Allah Israel (Elohim)
Kemudian mereka baru mengetahui mengapa Allah yang Esa
disebut di dalam kata ganti pribadi yang jamak/tunggal.
Ke-esa-an Allah mengandung Tri-pribadi (Bapa, Putra dan
Roh Kudus).
b. Mereka Percaya Kepada Pemulihan Israel
Mereka percaya akan janji Tuhan untuk memulihkan
sisa-sisa bani Israel yang terserak di seluruh penjuru
bumi.
c. Mereka Mengalami Perjumpaan Pribadi Dengan Tuhan
Sebagai seorang wanita Yahudi yang menikah dengan pria
non-Yahudi mereka mungkin merasa dikucilkan oleh
komunitas Yahudi yang lebih luas. Tetapi setelah
berjumpa dengan Paulus, mereka mengalami perjumpaan
pribadi dengan Tuhan Yesus yang membuat iman mereka
menjadi hidup.
2. Keteladan Hidup
Semua orang yang telah berjumpa dengan kemuliaan Tuhan
akan mengalami perubahan di dalam gaya hidup mereka.
Prinsip universal bahwa “hanya benda yang bergerak yang
bisa menggerakkan benda yang diam”, demikian juga hanya
manusia yang pernah berubah yang bisa mengubah keadaan
dan orang lain di sekelilingnya.
Perjumpaan Paulus dengan Tuhan mengubah total
kehidupannya, sehingga tidak heran kehidupannya membawa
dampak kepada banyak orang. Berkali-kali dalam suratnya
ia berkata, “Turutilah teladanku seperti aku telah
mengikuti teladan Kristus.”
Jika orang yang menyampaikan ajaran tersebut gaya
hidupnya dapat dijadikan teladan. Dengan kata lain
jikalau seseorang gaya hidupnya tidak menjadi teladan
yang baik, maka hal itu sangat mengurangi kredibilitas
ajaran yang disampaikannya.
(1 Kor 4:16; 1 Tes 1:7)
3. Akal Sehat
Akal sehat (common sense) adalah salah satu dampak dari
perjumpaan dengan Tuhan. Akal sehat membuat pikiran
manusia bisa lebih jernih lagi ketika menilai setiap
akibat dari setiap keputusan yang mereka ambil dan
perbuatan yang mereka lakukan.
Contohnya, tanpa harus membawa-bawa agama, hampir dapat
dikatakan bahwa semua orang yang memiliki akal sehat
(common sense) berpendapat jika kita merokok 3 bungkus
per hari maka akibat kumulatifnya setelah bertahun-tahun
akan buruk bagi diri sendiri.
Tantangan
Banyak orang mengira bahwa ketiga hal ini yaitu Iman
yang berdasarkan pewahyuan, keteladanan hidup, dan akal
sehat, dapat berdiri sendiri tanpa mengalami perjumpaan
pribadi dengan Tuhan. Tanpa perjumpaan dengan Allah yang
hidup, Firman Tuhan akan “turun derajatnya” menjadi
hanya seperti perangkat legislasi yang dibuat
berdasarkan peradaban dan akal budi manusia semata.
Keteladanan hidup pun akan semakin sulit dipertahankan.
Sebagai contoh prinsip Alkitab tentang pernikahan
monogamis seorang pria dan wanita seumur hidup tanpa ada
toleransi penyimpangan apapun. Prinsip ini sekarang
semakin luntur sehingga generasi yang seharusnya menjadi
teladan malah menimbulkan sakit hati di generasi penerus
karena dianggap mengkhianati keteladanan yang seharusnya
mereka berikan.
Generasi yang Lebih Baik
Marilah kita berdoa untuk generasi penerus kita supaya
mereka mengalami perjumpaan secara pribadi dengan Tuhan.
Ini yang akan memelihara iman yang berdasarkan pewahyuan,
keteladanan hidup dan akal sehat dalam generasi mereka,
sehingga mereka dapat mewariskannya kepada generasi
berikutnya. Dengan demikian generasi sesudah kita
menjadi generasi yang menggenapi panggilan Tuhan. (AB)