INJIL DAN HUKUM TAURAT (PART 1)
“Tulisan ini memiliki tujuan untuk memahami hubungan
antara kedua karya Allah yang luar biasa yaitu Hukum
Taurat dan Injil. Walaupun sebagian orang secara
pragmatis mungkin tergoda untuk memisahkan kedua hal
tersebut berdasarkan Perjanjian Lama dan Perjanjian Baru,
faktanya kedua hal ini saling berkaitan lebih dalam dari
yang kita pikirkan.
HUKUM, HUKUM TAURAT DAN KITAB HUKUM
Kata 'hukum' sendiri memiliki banyak sekali makna dan
konotasi dalam hidup sehari-hari. Tentu kata 'hukum' ini
sendiri juga banyak digunakan di dalam Alkitab baik
dalam Perjanjian Lama dan Perjanjian Baru. Istilah "hukum"
dalam Kitab Suci memiliki beberapa makna:
1. Dapat merujuk pada "hukum-hukum" dalam bentuk jamak,
yaitu lebih dari 600 perintah khusus yang harus dipatuhi
oleh orang Israel sebagai tanda kesetiaan mereka kepada
Allah. (Contoh: Keluaran 18:20)
2. Dalam bentuk tunggal, istilah ini dapat menunjukkan
hukum-hukum tersebut sebagai suatu keseluruhan. (Contoh:
Matius 5:18)
3. Dapat merujuk pada Pentateukh (Kitab Kejadian hingga
Ulangan) sebagai "Kitab Hukum". (Contoh: Yosua 1:8)
4. Dalam Perjanjian Baru, istilah ini kadang-kadang
berarti seluruh sistem keagamaan Perjanjian Lama. (Contoh:
1 Korintus 9:20)
5. Dapat juga merujuk pada hukum Perjanjian Lama
sebagaimana ditafsirkan oleh para rabi, khususnya dalam
Perjanjian Baru (Contoh: Petrus dalam Kisah Para Rasul
10:28)
Setidaknya di dalam artikel ini kita akan berbicara
banyak mengenai penggunaan kata 'hukum' berdasarkan poin
No.1 dan 2 di atas, yaitu hukum yang diberikan oleh
Allah kepada bangsa Israel yang dikenal sebagai ke-10
Hukum Taurat dan ke-600 lebih turunannya, serta hubungan
antara hukum-hukum tersebut sebagai suatu kesatuan
dengan iman Kristen.
Saat kita perhatikan lebih lagi, ada banyak penggunaan
kata 'hukum' di dalam Alkitab tetapi yang paling umum
adalah sebutan Dekalog atau ke-10 hukum Taurat/perintah
Allah. Mari kita berfokus kepada 10 Hukum Taurat yang
diberikan Allah kepada Musa dan orang Israel. (Keluaran
20)
Secara sederhana, hukum Taurat adalah standar moral
Allah yang telah diwahyukan secara khusus kepada manusia.
Hukum ini menunjukkan perilaku seperti apa yang berkenan
kepada Allah dan yang tidak. Karena kalau Allah tidak
mewahyukan dan menyatakan sikap-sikap dan perilaku apa
yang berkenan kepada-Nya, maka manusia akan sangat
terbatas dalam usahanya untuk berkenan kepada Allah. Ini
disebut pewahyuan khusus, dimana Allah mewahyukan
karakter, kehendak, dan perintah-perintah-Nya secara
langsung kepada manusia.
HUKUM TAURAT
1. Motif Pemberian Hukum Taurat
Hukum Taurat yang diberikan Allah kepada Musa di gunung
Sinai bukanlah sebuah titik awal perjanjian antara Allah
dengan manusia. Kita perlu melihat konteks dari
pemberian hukum ini sebagai kelanjutan dari perjanjian
yang Allah ikat dengan Abraham sebelumnya.
Di dalam Keluaran 19:5 dikatakan,
“Jadi sekarang, jika kamu sungguh-sungguh mendengarkan
firman-Ku dan berpegang pada perjanjian-Ku…”
Perjanjian yang manakah yang dimaksud oleh Allah disini?
Ini adalah Perjanjian Allah kepada Abraham, dimana atas
dasar perjanjian itu pula Allah mendengar teriakan
bangsa Israel ketika mereka diperbudak dengan keras oleh
Mesir. (Keluaran 2:24)
Perjanjian dengan Abraham ini diingat kembali oleh Allah
kepada bangsa Israel dalam Keluaran 6:4,
“tetapi Aku sudah mendengar juga erang orang Israel yang
telah diperbudak oleh orang Mesir, dan Aku ingat kepada
perjanjian-Ku.”
Dan lewat perjanjian ini Allah menyatakan kasih
setia-Nya dengan membebaskan bangsa Israel dari
perbudakan Mesir. Karena itu, sebelum Allah memberikan
10 perintah-Nya, Dia berkata:
“Kamu sendiri telah melihat apa yang Kulakukan kepada
orang Mesir, dan bagaimana Aku telah mendukung kamu di
atas sayap rajawali dan membawa kamu kepada-Ku.”
Keluaran 19:4
Ini adalah sebuah pernyataan penuh kasih karunia.
Perhatikan susunan dari undangan Allah kepada bangsa
Israel dalam Keluaran 19:4-6:
• Ayat 4 (berbicara mengenai masa lalu—apa yang telah
Allah lakukan): “Kamu sendiri telah melihat apa yang
Kulakukan kepada orang Mesir…”
• Ayat 5 (berbicara masa sekarang – sebuah panggilan
untuk meresponi pertolongan Allah): “Jadi sekarang, jika
kamu sungguh-sungguh mendengarkan firman-Ku dan
berpegang pada perjanjian-Ku…”
• Ayat 6 (berbicara masa depan—sebuah janji bagi umat
pilihan-Nya): “Kamu akan menjadi bagi-Ku kerajaan imam
dan bangsa yang kudus…”
Melihat ke masa lalu, pemberian hukum ini mengakar dalam
hubungan pribadi antara Allah dan umat-Nya berdasarkan
apa yang telah Allah lakukan bagi mereka melalui
anugerah penyelamatan-Nya.
Melihat ke masa depan, pemberian hukum ini menjelaskan
identitas dan peran yang akan dimiliki umat Allah di
tengah-tengah bangsa-bangsa di bumi, menempatkan mereka
dengan tegas dalam kisah misi Allah bagi umat manusia
dan ciptaan-Nya.
Dan, melihat ke masa kini, pemberian hukum mengajak umat
Allah untuk merespons secara tepat terhadap kedua hal di
atas (tindakan masa lalu dan tujuan masa depan Allah)
melalui ketaatan dalam menjaga perjanjian itu. Kita akan
melihat pola ini berulang-ulang sampai kepada Perjanjian
Baru. Bisakah kita lihat bahwa motif Allah memberikan
hukum itu adalah karena Ia mengasihi bangsa Israel? Bisa.
Bahkan kasih Allah ini terlihat jelas di dalam Ulangan
7:7-8 dimana tertulis:
“Bukan karena lebih banyak jumlahmu dari bangsa manapun
juga, maka hati TUHAN terpikat olehmu dan memilih
kamu--bukankah kamu ini yang paling kecil dari segala
bangsa? -- tetapi karena TUHAN mengasihi kamu dan
memegang sumpah-Nya yang telah diikrarkan-Nya kepada
nenek moyangmu.”
Kita melihat betapa nuansa anugerah dan kasih karunia
itu sudah ada dalam Perjanjian Lama. Perhatikan undangan
untuk umat Israel mendekat kepada Allah dalam Keluaran
19 adalah karya keselamatan yang Allah lakukan kepada
mereka. Kembali kita melihat ini dalam kalimat pembuka
dari pemberian hukum dalam Keluaran 20:2,
"Akulah TUHAN, Allahmu, yang membawa engkau keluar dari
tanah Mesir, dari tempat perbudakan.”
Kalimat pembuka di atas mendasarkan hubungan perjanjian
dan semua hukumnya pada fakta historis dari karya
penebusan Allah.
Struktur kitab Keluaran mencerminkan teologi fundamental
yang dirangkum dalam ayat-ayat ini: Injil mendahului
hukum, dan ini menjadi satu-satunya dasar dan motivasi
yang baik untuk respons ketaatan dari umat-Nya. Kenapa
Injil disebut mendahului hukum?
Karena Injil berbicara apa yang telah Yesus lakukan bagi
kita—dan hal ini ternyata sudah tersirat dalam pemberian
hukum. Allah menyatakan terlebih dahulu apa yang telah
Dia lakukan, barulah Dia menyatakan hukum-hukum-Nya.
Sehingga kalau kita membaca di dalam Ulangan 7:7-8, maka
anugerahlah yang menjadi motif utama pemilihan Israel.
Karena anugerah Allah, Dia memilih bangsa Israel dan
mengingatkan hal-hal besar yang dilakukan-Nya bagi
mereka. Setiap perintah dan hukum yang mengalir dari
pasal ini (pasal 12-26) berarti mengalir keluar dari
hubungan anugerah antara Allah dengan bangsa Israel.
Perhatikan bahwa mereka tidak diselamatkan untuk
dijadikan bangsa pilihan, mereka sudah menjadi umat
kesayangan Allah—karenanya mereka diharapkan tetap hidup
dengan identitas itu. Mereka tidak diselamatkan dari
Mesir karena “usahanya”, tetapi semata karena kasih
karunia Allah.
2. Natur Dari Hukum Taurat
Kalau kita berbicara mengenai hukum Taurat, maka umumnya
itu merujuk kepada standar moral Allah yang absolut yang
diwahyukan dalam bentuk 10 perintah Allah.
John Bunyan penulis terkenal dari Pilgrim’s Progress
mengatakan:
“The man who does not know the nature of the law cannot
know the nature of sin. And he who does not know the
nature of sin cannot know the nature of the Savior.”
Pembahasan mengenai natur hukum penting, karena kalau
seseorang tidak mengerti tabiat dan hakekat 10 perintah
Allah sehubungan dengan Sang Pemberi Hukum yaitu Allah
sendiri, maka mereka akan kesulitan di dalam
menghubungkan hukum dengan Injil dalam Perjanjian Baru.
Umumnya ada 3 (tiga) pandangan terkait dengan relasi
antara 10 perintah Allah dengan Allah sendiri:
a. Otoritas Allah Ada di Atas Hukum-Nya
Seringkali ini adalah pandangan yang umum diambil oleh
orang banyak. Karena Allah yang memberikan hukum, maka
otoritas Allah memiliki tempat lebih tinggi di atas
perintah-perintah-Nya. Kalau kita mengacu pada pemahaman
ini, maka apa yang menjadikan hukum itu baik dan
berkuasa bergantung pada kemampuan Allah untuk
menegakkan ketetapan moral. Hukum itu patut ditaati
hanya karena Allah yang memerintahnya. Pandangan ini
kelihatannya baik di awal untuk membela doktrin
kedaulatan Allah dan membatasi kebebasan umat manusia,
tetapi pandangan ini juga memiliki kelemahan.
Kalau pandangan ini benar, maka hukum atau perintah itu
sendiri menjadi tidak memiliki kuasa apa-apa; Allah
dapat memberikan perintah yang berbeda dari yang
sekarang kita miliki dan hukum itu akan dipandang benar.
Rae menjelaskan “kalau hukum itu baik hanya karena Allah
yang memerintahkannya, maka kalau Allah sekarang secara
hipotetikal, memberikan perintah untuk kita menyiksa
bayi-bayi, maka hal itu akan dipandang baik karena Dia
memerintahkan-Nya”. Apakah Saudara mau mempercayai Allah
seperti ini? Saudara lihat kelemahan dari pandangan ini?
Kalau ini benar, maka Allah sewaktu-waktu dapat mengubah,
menambah, atau mengurangi perintah-Nya kapanpun—karena
Allah yang memiliki otoritas terhadap perintah-Nya.
Pandangan ini tidak bisa menjelaskan mengapa Yesus harus
meninggal secara mengerikan di atas kayu salib untuk
menanggung dosa manusia. Pertanyaan yang kerap
ditanyakan orang awam adalah “kenapa Yesus harus mati
sedemikian kejam di atas kayu salib? Kalau Allah
betul-betul berkuasa, seharusnya Dia bisa saja
memerintah untuk dosa manusia dihapuskan tanpa perlu
Anak-Nya mati secara tragis bukan?”
Kalau kita renungkan, maka alasan dari pertanyaan ini
adalah anggapan dimana Allah itu jauh lebih berkuasa
dari hukum-hukum-Nya. Masalah utama manusia adalah dosa
karena melanggar hukum-hukum-Nya, jadi seharusnya Allah
yang berotoritas bisa memberikan perintah baru bukan?
Ternyata tidak bisa—karena kalau ini benar, maka korban
penebusan Kristus menjadi tidak perlu (Matius 26:39;
Markus 14:36; Galatia 3:21).
b. Hukum Allah Ada di Atas Otoritas-Nya
Sebaliknya, pandangan ini menyatakan bahwa hukum-hukum
yang diberikan oleh Allah sudah baik dan benar dari
awalnya. Hukum-hukum ini berdiri secara kekal dan ada di
luar Allah. Menurut paradigma ini Allah sendiri harus
tunduk pada hukum-hukum-Nya karena hukum itu sudah ada
sejak kekekalan dan sebelum Allah. Allah hanya
memberitahukan saja kepada Musa apa saja hukum-hukum
yang baik dan benar itu.
Tentu salah satu kelemahan yang paling terlihat dari
pemahaman ini adalah kedaulatan Allah menjadi terlihat
inferior dibanding hukum-hukum-Nya. Kalau hukum-hukum
itu sudah ada sebelum Allah, maka ketika Daud bermazmur
“Betapa kucintai Taurat-Mu!”(Mazmur 119:97)—yang Daud
cintai dan kasihi hanyalah hukum-hukum yang memang dari
awalnya sudah baik, tetapi tidak ada koneksi/ hubungan
kepada Allah itu sendiri. Pandangan ini tentu
bertabrakan dengan pemahaman Alkitab dimana kebaikan
Allah itu dinyatakan bersamaan dengan hukum-Nya (Mazmur
119:68; Matius 19:17).
Pandangan ini juga tidak akan bisa menjelaskan karya
penebusan Kristus di atas kayu salib. Kalau hukum itu
ada sebelum Allah dan lebih berkuasa dibanding Allah,
maka sejatinya Yesuspun tidak akan bisa menggantikan
manusia menjadi korban untuk menghapus dosa-dosa manusia.
Ketika Yesus mati menggantikan manusia, maka di mata
hukum itu akan menjadi sebuah pelanggaran yang dimana
Allah sendiri terikat di bawah hukum tersebut.
c. Hukum Allah itu Sejajar Dengan Otoritas-Nya
Paradigma ini menyatakan bahwa ke-10 perintah Allah itu
baik dan benar karena itu merefleksikan dan menyatakan
karakter dan moralitas Allah itu sendiri yang adalah
baik dan benar. Hal ini terlihat jelas di dalam tulisan
Paulus yaitu Roma 1:19-20 yang menyatakan:
“Karena apa yang dapat mereka ketahui tentang Allah
nyata bagi mereka, sebab Allah telah menyatakannya
kepada mereka. Sebab apa yang tidak nampak dari pada-Nya,
yaitu kekuatan-Nya yang kekal dan keilahian-Nya, dapat
nampak kepada pikiran dari karya-Nya sejak dunia
diciptakan, sehingga mereka tidak dapat berdalih.”
Paulus mengatakan bahwa semua manusia tidak dapat
berdalih, bahwa mereka semua adalah fasik dan lalim.
Orang-orang yang tidak tahu mengenai Allah dan belum
lahir baru itu bersalah karena kebenaran Allah itu
dinyatakan dari karya-Nya dan ciptaan-Nya. Hukum-hukum
itu termasuk karya-Nya yang adalah refleksi karakter
Allah yang tidak terlihat, karenanya bagi mereka yang
belum mendengar kabar Injil dan tidak pernah mendengar
hukum moral yang tertulis,
“Apabila bangsa-bangsa lain yang tidak memiliki hukum
Taurat oleh dorongan diri sendiri melakukan apa yang
dituntut hukum Taurat, maka, walaupun mereka tidak
memiliki hukum Taurat, mereka menjadi hukum Taurat bagi
diri mereka sendiri.” Roma 2:14
Secara sederhana, karena hukum adalah pantulan dari
karakter Allah yang benar itu, maka penolakan terhadap
karakter Allah adalah penolakan terhadap hukum-Nya.
Pandangan ini bisa menjelaskan konsep penebusan Kristus.
Setiap orang yang berbuat dosa, melanggar juga hukum
Allah, sebab dosa ialah pelanggaran hukum Allah (1
Yohanes 3:4), dan hukum Allah itu adalah cerminan dari
karakter/natur Allah itu sendiri, maka Allah sendiri
pula yang dapat mengadakan tebusan bagi dosa umat
manusia. Ketika manusia berdosa, hukum itu dilanggar,
dan itu juga melanggar karakter Allah. Sisi keadilan
Allah tidak dapat menolerir dosa manusia, tetapi sisi
belas kasihan dan anugerah Allah bisa menebus dosa
manusia dengan jalan diri-Nya sendiri menjadi dosa
karena kita. (2 Korintus 5:21)
Seperti penulis Ibrani mengatakan:
“Itulah sebabnya, maka dalam segala hal Ia harus
disamakan dengan saudara-saudara-Nya, supaya Ia menjadi
Imam Besar yang menaruh belas kasihan dan yang setia
kepada Allah untuk mendamaikan dosa seluruh bangsa.”
Karena manusia sudah berdosa, maka satu-satunya jalan
adalah Allah sendiri yang harus menyediakan korban
penebusan untuk menyelamatkan manusia. (Kisah Para Rasul
4:12)
Pemahaman bahwa hukum-hukum Allah itu sejajar dengan
karakter/tabiat dan natur Allah sangat krusial (walaupun
secara ontologis kita dapat memisahkan keduanya),
sehingga ketika manusia berdosa terhadap perintah-Nya,
dia tidak hanya berdosa kepada hukum itu sendiri, tetapi
dia berdosa juga kepada Allah karena hukum-Nya
merefleksikan karakter Allah.
Contoh sederhana ini bisa kita lihat ketika Daud
melanggar perintah Allah ketika mengambil Batsheba dan
membunuh Uria. Daud berkata:
“Sebab aku sendiri sadar akan pelanggaranku… terhadap
Engkau, terhadap Engkau sajalah aku telah berdosa.”
Mazmur 51:5-6
Daud melanggar perintah Allah, tetapi dia menyatakan
keberdosaannya juga terhadap Allah. Kenapa? Karena
perintah Allah merefleksikan kekudusan Allah. Perintah
Allah itu kudus dan kekal karena Allah itu kudus dan
kekal.
ESENSI DARI HUKUM MORAL ALLAH
Sampai sini kita memahami bahwa hukum moral Allah yang
diberikan kepada Musa itu adalah refleksi atau cerminan
dari karakter Allah yang kekal dan kudus. Karena Allah
itu kekal, maka hukum-hukum-Nya pun juga kekal. Tetapi
bagaimana menjelaskan ayat seperti:
“Hukum Taurat dan kitab para nabi berlaku sampai kepada
zaman Yohanes”
Yohanes 16:16a
Apakah berarti sekarang umat Kristen sudah tidak perlu
lagi mengkotbahkan Perjanjian Lama dan Hukum Taurat
sudah tidak perlu dibaca lagi? Tentu tidak sesederhana
itu. Kutipan terkenal dari Martin Luther mengenai ini
sungguh benar:
“He who knows how to distinguish gospel from law should
thank God and know that he is a theologian.”
Luther berkata membedakan antara Injil dengan hukum itu
pekerjaan yang sulit dan orang yang berhasil
melakukannya adalah seorang teolog!
Dari awal kita menggunakan kata-kata hukum moral untuk
menggambarkan 10 perintah Allah atau Dekalog, tetapi
dalam kenyataannya terdapat lebih dari 600 hukum-hukum
di dalam Perjanjian Lama dan sejak lama umat Protestan
membagi menjadi 3 (tiga) kategori untuk memudahkan
penjelasannya, yaitu:
1. Hukum Seremonial
Hukum seremonial atau disebut juga hukum relijius atau
hukum ritual. Hukum-hukum ini diberikan untuk mengatur
sistem korban yang ada di dalam Bait Suci termasuk
operasional dari para imam, hari-hari perayaan, aturan
korban, dan larangan makanan.
Hukum seremonial ini diciptakan untuk mengajarkan kepada
manusia bahwa Allah itu kudus, dan manusia itu tidak
kudus dan berdosa, serta penebusan sepenuhnya memiliki
syarat dan kondisi dari Tuhan. Kita memahami sekarang
bahwa hukum-hukum seremonial ini adalah bayangan dari
karya penebusan Kristus di kayu salib.
Perjanjian Baru mengajarkan bahwa Yesus menggenapi hukum
seremonial – bukan menghilangkannya. Bahkan pada saat
kehidupannya Yesus menaati hukum seremonial (Yohanes
1:29, 36; 1 Korintus 5:7; Kolose 2:16-17).
2. Hukum Sipil
Hukum sipil diberikan untuk mengatur bangsa Ibrani yang
bersifat teokrasi. Kata-kata yang mirip dengan hukum
sipil adalah hukum judisial, hukum adat, atau hukum
kasuistik. Seperti hukum sipil modern, hukum sipil dalam
Perjanjian Lama berlaku untuk waktu dan tempat tertentu
dalam budaya tertentu.
Hukum sipil bisa juga dikatakan sebagai hukum moral yang
tertulis. Contohnya adalah:
“Siapa yang memukul ayahnya atau ibunya, pastilah ia
dihukum mati.”
Keluaran 21:15
Ini adalah turunan daripada hukum moral dan aplikasi
budaya saat itu terhadap perintah Menghormati Orang Tua.
Keluaran 20:12
Jadi kalau kita mempraktikkan hukuman mati kepada setiap
anak-anak yang berontak dan memukuli orang tuanya, itu
adalah sebuah kesalahan dalam menafsirkan hukum Tuhan.
Meskipun tuntutan moral Allah tidak berubah (hormatilah
orang tua), tetapi aplikasinya (penalti terhadap
pelanggaran hukumnya) berubah. Sehingga hukum-hukum
sipil pada konteks zaman modern sudah berubah, yaitu
mengikuti budaya dan pemerintahan setempat.
3. Hukum Moral
Hukum moral umumnya adalah tentang apa yang ada di benak
teolog ketika berbicara mengenai Hukum Taurat. Hukum
moral memiliki beberapa nama seperti hukum apodiktik,
hukum internal, hukum natural, atau perintah Allah.
Hukum ini merefleksikan karakter dan moral Allah itu
sendiri, karenanya manusia yang diciptakan menurut
gambar dan rupa Allah, memiliki hukum-hukum moral yang
tertulis dalam hatinya juga dan tidak berubah. (Roma
2:14-15)
Karena hukum-hukum moral ini merefleksikan karakter
Allah, maka ini sudah ada sebelum penciptaan dan sebelum
peristiwa gunung Sinai.
TIGA FUNGSI HUKUM MORAL
Hukum moral ini memiliki fungsi-fungsi berikut:
1. Mengekang Orang Melakukan Dosa
Setelah Allah memberikan hukum-Nya kepada Musa, Musa
berkata kepada Israel:
“Allah telah datang dengan maksud untuk mencoba kamu dan
dengan maksud supaya takut akan Dia ada padamu, agar
kamu jangan berbuat dosa.”
Keluaran 20:20
Senada dengan ini, Paulus berkata dalam Galatia 3:19,
“Apakah maksudnya hukum Taurat? Ia ditambahkan oleh
karena pelanggaran-pelanggaran…”
Hukum diberikan agar manusia tahu batasan-batasan dalam
kehidupan.
2. Menghakimi Orang akan Dosa
Ini seringkali dimaknai sebagai fungsi teologis dari
hukum adalah untuk menyadarkan seseorang akan
dosa-dosanya. Bagaimana seseorang tahu dia berdosa kalau
dia tidak tahu ada hukum yang dilanggar? (Roma 3:20;
4:15; 5:20; 2 Korintus 3:7)
Hukum disini bertindak sebagai cerminan kepada manusia;
betapa dirinya berdosa di hadapan Allah yang kudus dan
manusia tidak mampu mencapai standad kekudusan Tuhan.
Tujuan kedua ini untuk membawa manusia kepada kehancuran
dirinya dan mengarahkannya kepada kebutuhan akan Kristus
sang Juruselamat itu. (Galatia 3:24)
3. Mengajar Orang untuk Hidup Benar
Ini disebut sebagai fungsi normatif atau pedagogi. Dalam
hal ini, Hukum Moral Allah dilihat sebagai pelita yang
menerangi langkah kaki seseorang untuk berjalan dalam
jalan kekudusan dan kebenaran. Jadi ketika seseorang
telah dibawa kepada kebobrokan dosanya dan dia menerima
Yesus Kristus sebagai Juruselamatnya, maka anugerah yang
sama akan kembali membawa dia kepada hukum-hukum-Nya
agar orang percaya tahu bagaimana cara hidup yang
berkenan kepada Allah. (Mazmur 119; Roma 3:31; 7:12, 14;
8:1-4).
Penting untuk orang percaya bisa memilah ketika ada yang
berbicara mengenai Hukum Taurat, sejatinya bagian
manakah yang hendak dibahas oleh ayat tersebut: apakah
hukum seremonial, sipil, atau moral?
(bersambung...)