Shalom..., Selamat Datang di GBI House Of Grace ~ Rayon 3

Renungan

INJIL DAN HUKUM TAURAT (PART 2)

Paham Diskontinuitas, Kontinuitas, dan Semi-kontinuitas.
Salah satu kesulitan di dalam mengharmonisasikan antara Hukum Taurat dengan Injil terletak pada penafsiran dari Matius 5:17,

“Janganlah kamu menyangka, bahwa Aku datang untuk meniadakan hukum Taurat atau kitab para nabi. Aku datang bukan untuk meniadakannya, melainkan untuk menggenapinya.”

Kata 'menggenapi' di situ menggunakan kata pleroo yang dalam Perjanjian Baru digunakan sebanyak 94 kali dengan beragam konteks dan makna. Mengapa kata ini penting? Karena perbedaan penafsiran dari kata ini mengakibatkan adanya beberapa paham terkait hubungan antara Hukum Taurat dengan Injil.

1. Paham Diskontinuitas
Orang yang memeluk paham ini umumnya memisahkan atau menaruh secara jukstaposisi antara Hukum Taurat dengan Injil atau Hukum Kristus. Menurut pandangan ini, Hukum Taurat berisikan aturan moral untuk bangsa Israel saja, sedangkan Injil atau Hukum Kristus (kata ini dipakai dua kali oleh Paulus dalam 1 Korintus 9:21 dan Galatia 6:2) ditujukan kepada orang Kristen. Hanya hukum-hukum Perjanjian Lama yang disebutkan oleh Yesus dan para Rasul dalam Perjanjian Baru yang bisa dimasukkan sebagai bagian dari Hukum Kristus, dan yang lainnya dinyatakan tidak valid. Beberapa ayat utama yang digunakan untuk mendukung ayat ini adalah Roma 6:14-15; 10:4; Galatia 5:18.

Paham ini tidak diadopsi dalam sejarah gereja, karena seringkali diasosiasikan dengan teologi yang tidak ortodoks seperti paham Marcionisme, penganut anti-semitisme, dan ajaran dispensasional.

Teolog dispensasional terkenal abad ke-20 bernama Henry Thiessen mengatakan:

“Firman Tuhan mengajarkan bahwa dalam kematian Kristus orang percaya telah dimerdekakan dari hukum itu sendiri… ini termasuk hukum moral dan juga hukum seremonial.”

Seorang teolog dispensasional lain yang terkenal bernama Charles Ryrie juga berkata:

“Kristus telah menghabiskan (terminated) hukum… Dia menyelesaikan hukum dan membuat jalan yang baru kepada Allah.”

Jika kita mengingat kembali natur daripada Hukum Taurat yang adalah refleksi dari karakter Allah, maka sangat sulit untuk mengakomodir paham diskontinuitas ini. Hukum Taurat dianggap sudah selesai dan tidak lagi mengikat kepada orang percaya. Berarti Hukum Taurat tidak merefleksikan karakter moral Allah yang kekal. Maka jika Hukum Taurat dilepaskan dari karakter Allah, maka hukum-hukum ini hanya dilihat sebagai aturan-aturan saja yang bisa diabaikan dan hanya diambil makna untuk tuntunan hidup tanpa ada konseksuensi yang mengikat.

2. Paham Kontinuitas
Pada ujung spektrum satunya lagi adalah paham kontinuitas dimana seluruh hukum-hukum dalam Perjanjian Lama itu mengikat kepada orang percaya zaman sekarang. Namun ada beberapa pengecualian yang biasa dibuat.

Pertama, hukum seremonial tidak lagi mengikat karena Yesus sudah menggenapi seluruh hukum seremonial tersebut (Ibrani 4:14; 9:11).

Kedua, meskipun banyak penganut paham ini percaya hukum sipil masih berlaku, tetapi banyak dari bagian sipil itu yang tidak lagi relevan untuk zaman sekarang karena perubahan geografi, sanitasi, teknologi, dan arsitektural.

Penganut kontinuitas umumnya percaya bahwa pemerintahan zaman sekarang masih perlu menerapkan hukum sipil dari Perjanjian Lama guna menyebarkan Kerajaan Allah dan pengaruhnya. Umumnya sebagian besar penganut paham ini adalah mereka yang postmillennial dalam eskatologinya. Ayat-ayat pendukung yang biasa mereka gunakan adalah ketika Paulus mengutuk dosa inces yang ada di gereja (1 Korintus 5:1). Karena inces pertama kali disebut dalam Perjanjian Baru di sini, maka pendukung paham kontinitas berargumen bahwa ini adalah bukti keberlanjutan hukum Perjanjian Lama yang melarang inces (Imamat 18:6-18; 20:11-12; Ulangan 22:30; 27:20, 22-23). Mereka juga mengutip Paulus yang mengutip teks dari Perjanjian Lama seperti 1 Korintus 9:9 dan 1 Timotius 5:18.

Kelemahan utama dari paham ini adalah pada pemahamannya terhadap hukum sipil. Ketika mereka berusaha mengaplikasikan hukum sipil Perjanjian Lama di zaman sekarang, mereka melihat hukum sipil sebagai sebuah daftar aturan yang secara ontologis berbeda dari hukum lainnya dan merasa bahwa hukum tersebut dapat melintasi waktu dan budaya. Bahkan dalam Perjanjian Lama, hukum sipil Ibrani tidaklah diterapkan kepada bangsa-bangsa non Yahudi. Nabi-nabi yang diutus (cth: Yunus, Obaja, dan Nahum) kepada bangsa non-Yahudi tidak berusaha memaksakan hukum sipil mereka kepada bangsa-bangsa itu, melainkan kepada hukum moral Allah.

3. Paham Semi-Kontinuitas
Penganut paham semi-kontinuitas memahami bahwa hubungan dari Hukum Taurat kepada Perjanjian Baru berlaku dimana hanya hukum moral saja lah yang yang berdampak pada orang percaya. Hukum sipil itu hanya terlokalisasi pada bangsa Israel yang teokrasi dan hukum seremonial sudah digenapi oleh Kristus. Dalam konteks pemerintahan, kita membaca dimana Yesus mendukung untuk pemberian pajak kepada kerajaan Romawi saat itu (Matius 22:21), dan Paulus juga meminta umat Kristen untuk tidak lupa membayar pajak (Roma 13:6-7), serta meminta Timotius berdoa untuk pemerintahan. (1 Timotius 2:1-2)

Perihal hukum-hukum seremonial dalam Perjanjian Lama, banyak dari hukum itu sudah digenapi di dalam Kristus. Contoh, semua Injil Sinoptik mencatat ketika tabir Bait Suci terbelah menjadi dua dari atas sampai bawah (Matius 27:51; Markus 15:38; Lukas 23:45) yang melambangkan sistem korban sudah tidak diperlukan lagi karena korban Kristus sudah sempurna adanya. Yesus adalah domba paskah kita (1 Korintus 5:7) dan imam besar kita (Ibrani 4:14).

Kalau kita mengingat natur daripada hukum-hukum moral itu adalah refleksi dari karakter Allah, maka penganut semi-kontinuitas memandang hukum-hukum Allah itu sejajar dengan otoritas Allah; dan sebagai dampaknya, hukum moral itu masih berlaku sampai sekarang. Hal ini didukung dengan banyaknya kutipan terhadap Dekalog secara langsung di dalam Perjanjian Baru. (Matius 5:21, 27; 19:17-19; Markus. 10:19; Lukas 18:20; Roma 7:7; 13:9; Efesus 6:2-3; dan Yakobus 2:11)

PERSPEKTIF ORANG PERCAYA TERHADAP HUKUM MORAL
Bagaimana orang percaya melihat Hukum Moral Ini?
Kita mengadopsi paham semi-kontinuitas dimana hukum seremonial sudah digenapi oleh karya penebusan Yesus Kristus dan hukum sipil hanya berlaku untuk bangsa Israel saat itu yang bersifat teokrasi. Tentu hukum moral yang melandasi terciptanya hukum sipil (prinsipnya) dapat kita aplikasikan dalam konteks kita hari ini. Hukum moral yang merefleksikan karakter Allah yang kudus dan kekal tetap berlanjut sampai sekarang.

Kalau kita lihat 3 fungsi dari Hukum Moral, maka kita bisa mengatakan bahwa fungsi menghakimi manusia akan dosa adalah tujuan kenapa hukum itu diberikan.

Galatia 3:24 berkata,

“Jadi hukum Taurat adalah penuntun bagi kita sampai Kristus datang, supaya kita dibenarkan karena iman.”

Kita menyadari kebutuhan kita akan Juruselamat dan kebenaran Injil, karena Hukum itu sebagai cermin yang menyadarkan betapa bobrok dan jauhnya kita dari standard kekudusan Tuhan.

Tetapi ada kegunaan hukum yang ketiga yaitu fungsi normatif, dimana setelah seseorang menyadari dirinya bobrok dan menerima keselamatan dari Tuhan Yesus, hal itu membawa kita kepada pengertian tentang bagaimana hidup yang kudus dan berkenan kepada Allah. Iman itu akan membawa kita kembali kepada hukum-hukum moral; bukan untuk mentaati hukum demi mendapat keselamatan, tetapi menaati hukum sebagai bagian dari kemerdekaan yang Yesus berikan: merdeka untuk mengasihi Yesus dengan menaati-Nya.

Dalam Yohanes 8:36 dikatakan:

“Jadi apabila Anak itu memerdekakan kamu, kamupun benar-benar merdeka.”

Kemerdekaan yang dimaksud disini adalah merdeka dari “hamba dosa” (ayat. 34) menjadi “hamba kebenaran”. (Roma 6:17-18). Perintah-perintah yang sama tidak lagi menjadi beban dan intimidasi karena orang percaya telah menerima Roh Kudus yang memberdayakan dan iman yang telah mengalahkan dunia. (1 Yohanes 5:3-4)
Yesus berkata:

“Jikalau kamu mengasihi Aku, kamu akan menuruti segala perintah-Ku”
Yohanes 14:15

Sehingga kasih kepada Kristuslah yang menjadi motif orang percaya untuk menaati hukum-hukum-Nya.

TIGA MISKONSEPSI TERHADAP HUKUM MORAL
Dalam kenyataannya hukum kasih yang dari Allah tersebut banyak di salah intepretasikan oleh sebagian orang Kristen. Timbullah berbagai miskonsepsi terhadap Hukum Moral tersebut.

1. Miskonsepsi 1: “Kalau Saya Sudah Selamat, Mengapa Saya Perlu Menaati Hukum-Hukum-Nya Lagi?”

Dalam Efesus 2:8-9 dijelaskan bahwa:

“Sebab karena kasih karunia kamu diselamatkan oleh iman; itu bukan hasil usahamu, tetapi pemberian Allah, itu bukan hasil pekerjaanmu: jangan ada orang yang memegahkan diri.”

Keselamatan adalah pemberian Allah kepada kita, sebuah anugerah yang diterima oleh iman. Ayat 10 menjelaskan mengapa kita diselamatkan, yaitu:

“untuk melakukan pekerjaan baik, yang dipersiapkan Allah sebelumnya. Ia mau, supaya kita hidup di dalamnya.”

Ketaatan kepada hukum-hukum-Nya tidak pernah penyebab dari keselamatan, tetapi sebagai akibat. Kita dibebaskan dari Hukum Taurat dalam arti bahwa kita dibebaskan dari hukuman penalti karena melanggarnya. Kolose 2:14 menyatakan bahwa Yesus menghapus surat hutang dan dakwaan dari Hukum Taurat di atas kayu salib; bukan agar kita bebas untuk tidak menaati prinsip-prinsipnya yang tetap berlaku. (Roma 6:15), tetapi agar setelah diampuni, "kita melayani dalam cara yang baru oleh Roh" (Roma 7:6; bandingkan ayat 5; 8:1-4).

Pekerjaan baik yang telah disiapkan Allah sebelumnya tidak berlawanan dengan iman; tetapi ini adalah pekerjaan yang lahir dari iman. Percaya dan taat itu bekerja bersama-sama, sebagaimana yang kita lihat dalam ayat Yohanes 3:36,

“Barangsiapa percaya kepada Anak, ia beroleh hidup yang kekal, tetapi barangsiapa tidak taat kepada Anak, ia tidak akan melihat hidup, melainkan murka Allah tetap ada di atasnya.”

Perhatikan paralelismenya: percaya mendatangkan hidup kekal; tidak taat mendatangkan murka Allah. Injil itu meminta respon untuk kita percaya (Markus 1:15; Kisah Para Rasul 15:7; Roma 1:16) dan juga taat. (Roma 10:16; 2 Tesalonika 1:8; 1 Petrus 4:17).

Ingat, ketaatan kita tidak dapat mengampuni dosa sendiri di masa lalu, hanya korban Kristus, yang diterima dengan iman, yang sanggup melakukan itu. (Galatia 3:5-9), tetapi orang yang menolak untuk menaati perintah-perintah Yesus menunjukkan bahwa mereka:
• tidak mengasihi Dia (Yohanes 14:15),
• tidak berdiam dalam kasih (Yohanes 15:10), atau
• memiliki iman yang hidup (Yakobus 2:26).

2. Miskonsepsi 2: “Kristus mengajarkan hukum yang baru yaitu hukum kasih, dan itu menggantikan ke-10 Perintah Allah dalam Perjanjian Baru.”
Ketika Yesus berkata:

“Aku memberikan perintah baru kepada kamu, yaitu supaya kamu saling mengasihi; sama seperti Aku telah mengasihi kamu demikian pula kamu harus saling mengasihi.”
Yohanes 13:34

Dia tidak memberikan hukum yang benar-benar baru secara absolut. Yesus memperbaharui itu sebagai tanda seseorang adalah murid Kristus (lihat ayat. 35). Yesus saat itu sebetulnya mengutip hukum dalam Perjanjian Lama,
• “… melainkan kasihilah sesamamu manusia seperti dirimu sendiri;” Imamat 19:18 dan
• “Kasihilah TUHAN, Allahmu, dengan segenap hatimu dan dengan segenap jiwamu dan dengan segenap kekuatanmu.” Ulangan 6:5
Paulus menjelaskan bahwa kedua hukum kasih di atas itu merangkum — bukannya menggantikan seluruh 10 Perintah Allah yang menyangkut tanggung jawab etis orang percaya. (Roma 13:8-10; Galatia 5:14)

Jadi perintah Yesus untuk mengasihi sesama itu sebetulnya adalah 'memeluk'; dan bukannya 'menggantikan' hukum Dekalog. Kalau dikatakan merangkum atau memeluk, berarti kontennya masih tetap sama bukan? Merujuk kepada apa yang dirangkum yaitu hukum-hukum moral Allah (atau Dekalog).

Bagaimana kita tahu cara mengasihi Allah dan sesama secara praktikal? Itulah kegunaan 10 Perintah Allah. Secara sederhana lihat gambar di bawah ini:




Kita lihat bagaimana hukum kasih yang Yesus berikan sebetulnya merujuk kepada 10 perintah Allah. Sangat berbahaya kalau kita menafsir “hukum kasih” semau kita sendiri tanpa melihat apa kata Firman mengenai kasih yang biblikal.

Jadi di dalam terang Injil, kita tidak lagi menaati untuk mendapatkan keselamatan, tetapi kita mau mengasihi Allah dan sesama sehingga ekspresi dari kasih itu adalah ketaatan kepada hukum-hukum-Nya. Jangan lupa, kasih di dalam Alkitab tidaklah sama dengan diksi kasih yang umumnya orang pakai hari-hari ini (hanya perasaan afektif, emosi saja).

Kasih di dalam Alkitab adalah sebuah keputusan yang lahir dari karakter yang benar. Kasih inilah yang menyebabkan ketaatan pada hukum bukanlah suatu legalisme.

Dari gambar di atas kita tahu bahwa cara mengasihi Allah adalah dengan menaati keempat perintah yang pertama dengan segala turunan dan aplikasinya. Begitu juga dengan cara kita mengasihi sesama yaitu dengan menerapkan hukum kelima sampai dengan ke-10 dengan segala turunan dan aplikasinya.

Sebagai contoh saja, cara kita mengasihi orang lain ternyata adalah dengan tidak mengumpat, mengutuk dari hati, sampai membenci mereka. Hal ini adalah turunan dari hukum “jangan membunuh” sebagaimana yang Yesus ajarkan di dalam Matius 5:21-22.

Kesimpulannya, hukum-hukum moral Allah itu masih ada, dan masih sangat aplikatif terhadap kehidupan orang percaya saat ini. Hukum-hukum moral Allah itu sejajar dengan otoritas Allah, sehingga karya penebusan Kristus justru menggenapi tuntutan kekudusan hukum dan menunjukkan belas kasihan Allah kepada manusia.

Orang yang telah percaya dan diselamatkan justru melihat hukum-hukum Allah sebagai sebuah sarana untuk mengasihi Allah dan sesama; bukan sebagai syarat untuk menerima keselamatan. Semakin kita belajar untuk mengasihi Allah dan sesama, kita semakin bertumbuh di dalam pengudusan dan kebenaran. (2 Timotius 3:16-17)

Semoga kita diberkati dan semakin bertekun dalam mengasihi Allah dan sesama! Amin.
 

BACK..