Shalom..., Selamat Datang di GBI House Of Grace ~ Rayon 3

Renungan

IRONI MEDIA SOSIAL

      Baru-baru ini saya membaca sebuah artikel mengenai akibat yang tidak terduga dari penggunaan media sosial. Ketika para pendirinya menciptakan media-media sosial yang sekarang sepertinya menjadi kebutuhan pokok dalam berkomunikasi, mereka membayangkan bahwa media sosial dapat mempersempit jarak sehingga siapapun dapat berbicara kepada siapapun di seluruh pelosok dunia, tanpa dihalangi oleh jarak, waktu, bahkan bahasa sekalipun (fungsi auto-translate yang sekarang menjadi fitur standar di berbagai sosial media semakin hari semakin sempurna dalam menerjemahkan kalimat kita ke dalam bahasa manapun). Kurang lebih 15 tahun kemudian, para pengamat media sosial menemukan suatu fenomena di mana media sosial yang tadinya diimpikan sebagai forum pemersatu umat manusia, sekarang memiliki akibat yang tidak terduga, yaitu dapat mencerai-beraikan umat manusia. Beberapa faktor intrinsik yang menjadi pemicu hal tersebut adalah:


1. Anonimitas (Tanpa Nama)
Kebanyakan media sosial tidak mengharuskan kita mendaftarkan identitas kita yang sebenarnya pada saat membuat akun untuk bergabung dalam media tersebut. Anonimitas inilah, yang untuk pertama kalinya, membuat banyak orang merasa aman dan bebas untuk mengatakan apa saja yang ada dalam isi hatinya tanpa rasa takut. Kesempatan inilah yang seringkali dimanfaatkan untuk mengumpat dan menghina orang atau golongan lain yang mungkin dalam kehidupan nyata, tidak berani dilakukan. Kritik kepada pemerintah, sekolah, gereja, orang tua, dengan bebas mengalir, seringkali tanpa disertai dengan rasa tanggung jawab atas kata-kata yang diucapkan, atau dalam hal ini, dituliskan.

Secara pribadi saya merasa bahwa mungkin beberapa orang memerlukan suatu ruang khusus untuk melampiaskan emosi atau kekesalan, namun hal ini harus diimbangi dengan pengertian bahwa kita harus bertanggung jawab atas setiap kata yang kita ucapkan atau tuliskan.

Saya pernah mendengar seorang polisi tua memberi nasihat kepada seorang polisi muda, ”Nak, dalam pekerjaan kita, ada dua hal yang tidak dapat ditarik kembali setelah diluncurkan; peluru dari pistolmu, dan kata-kata dari mulutmu. Hal pertama dapat melukai satu orang, sedangkan hal yang kedua dapat melukai suatu komunitas. Hati-hatilah menggunakan pistolmu, tetapi lebih berhati-hati menggunakan mulutmu.”
Yesus berkata bahwa pada suatu hari kita harus memberikan pertanggungjawaban atas setiap kata sia-sia yang keluar dari mulut kita. Pergunakanlah media sosial seperti kita sedang berbicara secara pribadi kepada seseorang. Pilihlah kata-kata dengan bijak, jangan menggunakan anonimitas sebagai sarana mengumbar kemarahan, kebencian, atau pembalasan.

2. Jarak
Media sosial memperpendek jarak interaksi dengan siapapun di seluruh pelosok dunia. Hasilnya adalah, seseorang seringkali merasa bahwa selain dilindungi oleh anonimitas, dia juga dilindungi oleh jarak. Seberapapun tersinggungnya lawan bicara kita, kita merasa bahwa kecil sekali kemungkinan akan berjumpa dengan mereka dalam kehidupan nyata. Alasan yang sering kali digunakan sebagai rasionalisasi perilaku tersebut adalah “apa yang kita lakukan di dunia maya hanya sekedar candaan saja atau pelampiasan saja.” Namun jika hal ini terus dipupuk, para ahli kejiwaan berpendapat bahwa hal ini dapat menimbulkan benih-benih schizoprenia (berkepribadian ganda) dalam diri seseorang; satu kepribadian di dunia maya, berbeda dengan kepribadian lain di dunia nyata.

3. Budaya Soundbyte
Hal ini sebenarnya sudah dipopulerkan oleh media sebelumnya yaitu televisi bahkan radio. Format acara dengan waktu terbatas, mengakibatkan para pekerja radio atau pertelevisian memiliki mental reduksionis, yaitu terlalu berusaha menyederhanakan masalah-masalah yang sebenarnya sangat kompleks ke dalam soundbytes, di mana dalam 1 segmen talktime setiap peserta diskusi hanya diberikan waktu sebanyak 15 sampe 25 detik untuk mengungkapkan pendapat. Sama halnya dengan media sosial seperti twitter, di mana sekali kita berkomentar hanya boleh menuliskan sebanyak 140 karakter saja. Hal ini memicu seseorang untuk tidak berpikir panjang dalam memberikan pendapat. Pada jaman dahulu, komunitas-komunitas kecil di penjuru Amerika Serikat memiliki budaya ‘Townhall Discussion’ di mana warga setempat datang untuk membahas isu-isu kompleks yang mempengaruhi kehidupan komunitas itu. Di Indonesia, hal ini sama dengan musyawarah untuk mufakat. Seiring dengan meningkatnya mobilitas, kesibukan, dan tekanan kehidupan moderen, budaya ini semakin hilang dan kita lebih memilih untuk membentuk dan dibentuk opini kita melalui media cetak, atau dalam bentuk terbarunya sekarang ini, media sosial. Kita tidak lagi mengambil waktu untuk mempelajari suatu masalah, mencari dan mengolah data, dan berpikir masak-masak sebelum mengambil sikap dan pendirian terhadap suatu isu. Kita membiarkan media massa membentuk cara pandang kita terhadap suatu masalah.

Rasul Paulus menasihatkan kita dalam Kolose 4:6, “Hendaklah kata-katamu senantiasa penuh kasih, jangan hambar, sehingga kamu tahu, bagaimana kamu harus memberi jawab kepada setiap orang.” Dalam bahasa Inggris, kata yang digunakan untuk kata ‘jangan hambar’ adalah ‘seasoned with salt’ (digarami). Artinya, perkataan kita haruslah mewakili apa yang kita hidupi dengan sungguh-sungguh; bukan sekedar slogan, klise, atau lebih tepatnya dalam dunia media sosial, bukan hasil jiplakan.

Rasul Petrus menasihatkan kita dalam 1 Petrus 3:15, “Tetapi kuduskanlah Kristus di dalam hatimu sebagai Tuhan! Dan siap sedialah pada segala waktu untuk memberi pertanggungan jawab kepada tiap-tiap orang yang meminta pertanggungan jawab dari kamu tentang pengharapan yang ada padamu, tetapi haruslah dengan lemah lembut dan hormat.”

Sebagai orang Kristen, media sosial merupakan sarana yang sangat berguna untuk berkomunikasi, menemukan seseorang yang sudah lama tidak kita jumpai dan berdiskusi mengenai masalah iman dan apologia. Petrus menasihatkan kita untuk melakukan hal tersebut, tetapi haruslah dilakukan dengan lemah lembut dan hormat. Sebagai contoh; jika pertukaran pendapat diumpamakan seperti sebuah perkelahian, bukan dengan tindakan kekerasan, tetapi dengan kata kata, maka ada dua cara kita melihat perkelahian. Yang pertama adalah seperti perkelahian jalanan (brawl) di mana sama sekali tidak ada aturan, dapat menghalalkan segala macam cara dan bertujuan untuk mencelakakan lawan. Hal ini sama sekali tidak diperbolehkan dan melawan hukum. Sedangkan cara kedua ialah seperti perumpamaan suatu pertandingan olahraga resmi (competition) misalnya tinju (boxing). Perkelahian seperti ini mempunyai regulasi yang jelas, di mana kelas petanding haruslah sama (dalam hal berat badan, umur, jangkauan tangan, tinggi badan), dilakukan dalam beberapa ronde, dan hasilnya dinilai oleh juri. Budaya perdebatan formil (formal debate) yang biasa dilakukan oleh universitas-universitas terkemuka merupakan contoh pertandingan tinju resmi dengan menggunakan ide dan kata kata. Di sini, suatu masalah dapat didiskusikan secara terbuka, menggunakan sumber-sumber referensi yang bisa dikaji ulang secara independen, lalu hasilnya diumumkan kepada semua pihak, dan debat pun dilakukan dengan penuh kesantunan dan budidaya.

Hal ini dilakukan bukan untuk membuktikan bahwa kita lebih hebat, tetapi sebagai sarana memproklamasikan kebenaran, dan membuka pintu bagi kasih karunia Allah dan pekerjaan Roh Kudus untuk berbicara kepada lawan bicara yang berbeda pandangan dengan kita.

Budaya ini sudah hilang di dalam penggunaan media sosial sekarang, dan hal itu adalah sesuatu yang sangat disayangkan. Marilah kita sebagai murid-murid Tuhan menggunakan kehadiran kita di media sosial sebagai garam dan terang untuk mewartakan kebenaran Kristus di tengah-tengah dunia yang pluralistik ini, dengan tegas memberitakan kebenaran, tetapi berbalutkan kasih karunia dan penghormatan kepada semua orang. (AL)


 

BACK..