IRONI MEDIA SOSIAL
Baru-baru ini saya membaca sebuah artikel mengenai akibat yang tidak terduga dari penggunaan media sosial. Ketika para pendirinya menciptakan media-media sosial yang sekarang sepertinya menjadi kebutuhan pokok dalam berkomunikasi, mereka membayangkan bahwa media sosial dapat mempersempit jarak sehingga siapapun dapat berbicara kepada siapapun di seluruh pelosok dunia, tanpa dihalangi oleh jarak, waktu, bahkan bahasa sekalipun (fungsi auto-translate yang sekarang menjadi fitur standar di berbagai sosial media semakin hari semakin sempurna dalam menerjemahkan kalimat kita ke dalam bahasa manapun). Kurang lebih 15 tahun kemudian, para pengamat media sosial menemukan suatu fenomena di mana media sosial yang tadinya diimpikan sebagai forum pemersatu umat manusia, sekarang memiliki akibat yang tidak terduga, yaitu dapat mencerai-beraikan umat manusia. Beberapa faktor intrinsik yang menjadi pemicu hal tersebut adalah:
1. Anonimitas (Tanpa Nama)
Kebanyakan media sosial tidak mengharuskan kita
mendaftarkan identitas kita yang sebenarnya pada saat
membuat akun untuk bergabung dalam media tersebut.
Anonimitas inilah, yang untuk pertama kalinya, membuat
banyak orang merasa aman dan bebas untuk mengatakan apa
saja yang ada dalam isi hatinya tanpa rasa takut.
Kesempatan inilah yang seringkali dimanfaatkan untuk
mengumpat dan menghina orang atau golongan lain yang
mungkin dalam kehidupan nyata, tidak berani dilakukan.
Kritik kepada pemerintah, sekolah, gereja, orang tua,
dengan bebas mengalir, seringkali tanpa disertai dengan
rasa tanggung jawab atas kata-kata yang diucapkan, atau
dalam hal ini, dituliskan.
Secara pribadi saya merasa bahwa mungkin beberapa orang
memerlukan suatu ruang khusus untuk melampiaskan emosi
atau kekesalan, namun hal ini harus diimbangi dengan
pengertian bahwa kita harus bertanggung jawab atas
setiap kata yang kita ucapkan atau tuliskan.
Saya pernah mendengar seorang polisi tua memberi nasihat
kepada seorang polisi muda, ”Nak, dalam pekerjaan kita,
ada dua hal yang tidak dapat ditarik kembali setelah
diluncurkan; peluru dari pistolmu, dan kata-kata dari
mulutmu. Hal pertama dapat melukai satu orang, sedangkan
hal yang kedua dapat melukai suatu komunitas.
Hati-hatilah menggunakan pistolmu, tetapi lebih
berhati-hati menggunakan mulutmu.”
Yesus berkata bahwa pada suatu hari kita harus
memberikan pertanggungjawaban atas setiap kata sia-sia
yang keluar dari mulut kita. Pergunakanlah media sosial
seperti kita sedang berbicara secara pribadi kepada
seseorang. Pilihlah kata-kata dengan bijak, jangan
menggunakan anonimitas sebagai sarana mengumbar
kemarahan, kebencian, atau pembalasan.
2. Jarak
Media sosial memperpendek jarak interaksi dengan
siapapun di seluruh pelosok dunia. Hasilnya adalah,
seseorang seringkali merasa bahwa selain dilindungi oleh
anonimitas, dia juga dilindungi oleh jarak. Seberapapun
tersinggungnya lawan bicara kita, kita merasa bahwa
kecil sekali kemungkinan akan berjumpa dengan mereka
dalam kehidupan nyata. Alasan yang sering kali digunakan
sebagai rasionalisasi perilaku tersebut adalah “apa yang
kita lakukan di dunia maya hanya sekedar candaan saja
atau pelampiasan saja.” Namun jika hal ini terus dipupuk,
para ahli kejiwaan berpendapat bahwa hal ini dapat
menimbulkan benih-benih schizoprenia (berkepribadian
ganda) dalam diri seseorang; satu kepribadian di dunia
maya, berbeda dengan kepribadian lain di dunia nyata.
3. Budaya Soundbyte
Hal ini sebenarnya sudah dipopulerkan oleh media
sebelumnya yaitu televisi bahkan radio. Format acara
dengan waktu terbatas, mengakibatkan para pekerja radio
atau pertelevisian memiliki mental reduksionis, yaitu
terlalu berusaha menyederhanakan masalah-masalah yang
sebenarnya sangat kompleks ke dalam soundbytes, di mana
dalam 1 segmen talktime setiap peserta diskusi hanya
diberikan waktu sebanyak 15 sampe 25 detik untuk
mengungkapkan pendapat. Sama halnya dengan media sosial
seperti twitter, di mana sekali kita berkomentar hanya
boleh menuliskan sebanyak 140 karakter saja. Hal ini
memicu seseorang untuk tidak berpikir panjang dalam
memberikan pendapat. Pada jaman dahulu,
komunitas-komunitas kecil di penjuru Amerika Serikat
memiliki budaya ‘Townhall Discussion’ di mana warga
setempat datang untuk membahas isu-isu kompleks yang
mempengaruhi kehidupan komunitas itu. Di Indonesia, hal
ini sama dengan musyawarah untuk mufakat. Seiring dengan
meningkatnya mobilitas, kesibukan, dan tekanan kehidupan
moderen, budaya ini semakin hilang dan kita lebih
memilih untuk membentuk dan dibentuk opini kita melalui
media cetak, atau dalam bentuk terbarunya sekarang ini,
media sosial. Kita tidak lagi mengambil waktu untuk
mempelajari suatu masalah, mencari dan mengolah data,
dan berpikir masak-masak sebelum mengambil sikap dan
pendirian terhadap suatu isu. Kita membiarkan media
massa membentuk cara pandang kita terhadap suatu masalah.
Rasul Paulus menasihatkan kita dalam Kolose 4:6,
“Hendaklah kata-katamu senantiasa penuh kasih, jangan
hambar, sehingga kamu tahu, bagaimana kamu harus memberi
jawab kepada setiap orang.” Dalam bahasa Inggris, kata
yang digunakan untuk kata ‘jangan hambar’ adalah
‘seasoned with salt’ (digarami). Artinya, perkataan kita
haruslah mewakili apa yang kita hidupi dengan
sungguh-sungguh; bukan sekedar slogan, klise, atau lebih
tepatnya dalam dunia media sosial, bukan hasil jiplakan.
Rasul Petrus menasihatkan kita dalam 1 Petrus 3:15,
“Tetapi kuduskanlah Kristus di dalam hatimu sebagai
Tuhan! Dan siap sedialah pada segala waktu untuk memberi
pertanggungan jawab kepada tiap-tiap orang yang meminta
pertanggungan jawab dari kamu tentang pengharapan yang
ada padamu, tetapi haruslah dengan lemah lembut dan
hormat.”
Sebagai orang Kristen, media sosial merupakan sarana
yang sangat berguna untuk berkomunikasi, menemukan
seseorang yang sudah lama tidak kita jumpai dan
berdiskusi mengenai masalah iman dan apologia. Petrus
menasihatkan kita untuk melakukan hal tersebut, tetapi
haruslah dilakukan dengan lemah lembut dan hormat.
Sebagai contoh; jika pertukaran pendapat diumpamakan
seperti sebuah perkelahian, bukan dengan tindakan
kekerasan, tetapi dengan kata kata, maka ada dua cara
kita melihat perkelahian. Yang pertama adalah seperti
perkelahian jalanan (brawl) di mana sama sekali tidak
ada aturan, dapat menghalalkan segala macam cara dan
bertujuan untuk mencelakakan lawan. Hal ini sama sekali
tidak diperbolehkan dan melawan hukum. Sedangkan cara
kedua ialah seperti perumpamaan suatu pertandingan
olahraga resmi (competition) misalnya tinju (boxing).
Perkelahian seperti ini mempunyai regulasi yang jelas,
di mana kelas petanding haruslah sama (dalam hal berat
badan, umur, jangkauan tangan, tinggi badan), dilakukan
dalam beberapa ronde, dan hasilnya dinilai oleh juri.
Budaya perdebatan formil (formal debate) yang biasa
dilakukan oleh universitas-universitas terkemuka
merupakan contoh pertandingan tinju resmi dengan
menggunakan ide dan kata kata. Di sini, suatu masalah
dapat didiskusikan secara terbuka, menggunakan
sumber-sumber referensi yang bisa dikaji ulang secara
independen, lalu hasilnya diumumkan kepada semua pihak,
dan debat pun dilakukan dengan penuh kesantunan dan
budidaya.
Hal ini dilakukan bukan untuk membuktikan bahwa kita
lebih hebat, tetapi sebagai sarana memproklamasikan
kebenaran, dan membuka pintu bagi kasih karunia Allah
dan pekerjaan Roh Kudus untuk berbicara kepada lawan
bicara yang berbeda pandangan dengan kita.
Budaya ini sudah hilang di dalam penggunaan media sosial
sekarang, dan hal itu adalah sesuatu yang sangat
disayangkan. Marilah kita sebagai murid-murid Tuhan
menggunakan kehadiran kita di media sosial sebagai garam
dan terang untuk mewartakan kebenaran Kristus di
tengah-tengah dunia yang pluralistik ini, dengan tegas
memberitakan kebenaran, tetapi berbalutkan kasih karunia
dan penghormatan kepada semua orang. (AL)