KEKUDUSAN YANG ALKITABIAH
Kitab Wahyu Pasal 2-3 memuat pujian
dan teguran Tuhan kepada 7 gereja di Asia Kecil. Pujian
diberikan karena mereka melakukan apa yang disukai oleh
Tuhan; sedangkan teguran diberikan karena mereka
melakukan apa yang dibenci oleh-Nya.
Pujian dan teguran ini bukan hanya berlaku bagi 7 gereja
pada masa itu saja, tetapi juga untuk semua gereja Tuhan
di masa kini.
Jika Wahyu 2-3 memuat pesan yang sangat penting dari
Tuhan untuk gereja-Nya.
Apakah pasal-pasal tersebut juga membahas perihal “Kekudusan”?
YA!
• Yesus memuji jemaat Sardis karena menolak untuk
menyesuaikan diri dengan keduniawian di dalam jemaat (Wahyu
3:4)
• Yesus menegur jemaat Laodikia yang menggantikan
kekudusan, kebenaran dan hikmat rohani dengan
keberhasilan dan pengaruh yang kelihatan dari luar. (Wahyu
3:17, 18)
Ayat-ayat di atas juga berbicara tentang “pakaian putih”.
Di dalam Kitab Wahyu, “pakaian putih” tidak lain adalah
pakaian sorgawi dan melambangkan kemurnian atau purity.
(Wahyu 4:4, 7: 9,14, 19:14)
Kekudusan dalam Alkitab selalu dikaitkan dengan dua hal:
keterpisahan/ kebesaran dan kemurnian. Kekudusan dalam
pengertian keterpisahan/ kebesaran biasanya dipakai
untuk menggambarkan karakter Allah yang tidak ada duanya;
sementara “kemurnian” menggambarkan kualitas tanpa cacat
yang dipakai untuk menggambarkan Allah maupun
orang-orang kudus-Nya.
Apabila kita membaca dan mengamati keseluruhan kitab
Wahyu, sesungguhnya kita akan menemukan bahwa
“Kekudusan” adalah tema kuat yang muncul berulang-ulang.
Apa yang Kitab Wahyu ajarkan tentang “Kekudusan”?
1. Kekudusan Berasal Dari Kristus
“Dan seorang dari antara tua-tua itu berkata kepadaku:
“Siapakah mereka yang memakai jubah putih itu dan dari
manakah mereka datang?” Maka kataku kepadanya: “Tuanku,
tuan mengetahuinya.” Lalu ia berkata kepadaku: “Mereka
ini adalah orang-orang yang keluar dari kesusahan yang
besar; dan mereka telah mencuci jubah mereka dan
membuatnya putih di dalam darah Anak Domba.” (Wahyu
7:13-14)
Tidak ada kekudusan di luar Kristus! Tidak ada perbuatan
saleh manusia yang menjadikan manusia suci di hadapan
Allah. Kekudusan dimungkinkan karena “darah Anak Domba”,
yaitu ketika kita menerima pengorbanan Yesus di atas
kayu salib yang membenarkan kita.
Akan tetapi adalah suatu kesalahan fatal ketika
menganggap bahwa manusia tidak perlu melakukan apapun
supaya kudus. Kata-kata “mereka telah mencuci jubah
mereka dan membuatnya putih di dalam darah Anak Domba”
menandakan adanya ‘peran’ manusia dalam hal kekudusan.
Dalam hal apakah manusia ‘berperan’? Tuhan mau manusia
beriman dan bertindak untuk menerima pengorbanan Yesus,
dimulai dengan pertobatan. Kelihatannya terdengar
sederhana dan gampang, namun dalam situasi hidup
hari-hari ini yang sarat dengan nilai dunia, tidak
semudah yang dibayangkan. Wahyu 9:20-21 menubuatkan
datangnya masa di mana manusia tidak mau bertobat bahkan
setelah Tuhan mulai mencurahkan penghukuman-Nya atas
bumi. Betapa mengerikan!
2. Kekudusan Terkait Dengan Gaya Hidup Kita
Kitab Wahyu 17-18 menggambarkan dengan kuat suatu masa
di mana sistem dunia dan iblis, dilambangkan dengan
“Babel”, yang mempengaruhi banyak otoritas di muka bumi
ini. Adopsi nilai-nilai Babel ini digambarkan sebagai
tindakan percabulan.
(Wahyu 17:2, 19:3)
Pada hari ini, tidak sulit untuk membayangkan seberapa
kuat nilai-nilai dunia dan iblis bisa mencengkeram suatu
bangsa, wilayah dan penduduknya. Gaya hidup Babel, yang
adalah percabulan, baik fisik maupun rohani, telah
menjadi suatu pandemi.
Wahyu 18:4: “Lalu aku mendengar suara lain dari sorga
berkata: “Pergilah kamu, hai umat-Ku, pergilah dari
padanya supaya kamu jangan mengambil bagian dalam
dosa-dosanya, dan supaya kamu jangan turut ditimpa
malapetaka-malapetakanya.”
Sebagai umat Tuhan, kita semua diminta untuk keluar dari:
gaya hidup percabulan Babel dan segala sesuatu pilihan
hidup yang menggantikan Tuhan di tempat pertama. Hidup
kudus adalah sesuatu yang praktikal, ada di dalam hidup
kita sehari-hari, ada di dalam pilihan gaya hidup kita:
keuangan, hubungan dekat, kepemilikan materi,
egosentrisme dan banyak lagi.
3. Kekudusan Harus Diusahakan Dan Dipertahankan
Kitab Wahyu tidak hanya menekankan peran Ilahi dalam hal
kekudusan, namun di saat yang sama juga menyebutkan
adanya peran manusia untuk hidup kudus.
• Wahyu 3:5: “Barangsiapa menang, ia akan dikenakan
pakaian putih yang demikian;
Aku tidak akan menghapus namanya dari kitab kehidupan,
melainkan Aku akan mengaku namanya di hadapan Bapa-Ku
dan di hadapan para malaikat-Nya.”
• Wahyu 16:15: “Lihatlah, Aku datang seperti pencuri.
Berbahagialah dia, yang berjaga-jaga dan yang
memperhatikan pakaiannya, supaya ia jangan berjalan
dengan telanjang dan jangan kelihatan kemaluannya.”
Perkataan: “Barangsiapa menang, ia akan dikenakan
pakaian putih” (Wahyu 3:5) menunjukkan bahwa ada upaya
manusia, yaitu menjadi menang, supaya ia tetap kedapatan
kudus dan layak menjadi penghuni sorga (“berpakaian
putih”). Demikian pula perkataan: “Berbahagialah dia...
yang memperhatikan pakaiannya” menandakan peran aktif
seseorang agar tetap kedapatan kudus. Apakah dengan
demikian kita semua kembali ke Hukum Taurat, harus
melakukan banyak hal terutama dalam kitab Imamat, supaya
tetap murni dan tidak cemar? TIDAK! Kekudusan yang harus
diusahakan, bukan berasal dari luar ke dalam. Melainkan
dari dalam (hati) ke luar.
Biarlah mata kita terbuka melihat Dia yang duduk di
takhta, dan mendengar penyembahan sorga berkumandang:
“Kudus, kudus, kuduslah Tuhan Allah, Yang Maha Kuasa,
yang sudah ada dan yang ada dan yang akan datang.” (HT)
Quote:
“Barangsiapa menang, ia akan dikenakan pakaian putih
yang demikian; Aku tidak akan menghapus namanya dari
kitab kehidupan, melainkan Aku akan mengaku namanya di
hadapan Bapa-Ku dan di hadapan para malaikat-Nya.”
(Wahyu 3:5)