KESEMPATAN EMAS DI ERA POSTMODERN
"Lalu mereka membawanya menghadap sidang Areopagus dan
berkata, "Bolehkah kami tahu ajaran baru mana yang
kauajarkan ini?
Sebab, engkau memperdengarkan kepada kami hal-hal yang
asing.
Karena itu kami ingin tahu apa artinya semua itu."
Kisah Para Rasul 17:19-20 TB2
Kita sedang hidup di dalam suatu era yang disebut oleh
para ahli sebagai era post-modern dan dipengaruhi kuat
oleh pandangan postmodernisme. Disadari atau tidak,
pandangan postmodernisme, sangat mempengaruhi cara
pandang generasi muda saat ini termasuk bagaimana mereka
memandang kehidupan spiritual. Ketika ditanyakan apakah
postmodernisme dan bagaimana pandangan tersebut
berpengaruh pada kehidupan beragama dan spiritual, maka
jawaban yang diberikan ChatGPT (artificial intelligent),
adalah sebagai berikut:
Postmodernisme adalah gerakan filosofis dan budaya yang
muncul pada pertengahan abad ke-20, menantang gagasan
tradisional tentang kebenaran, pengetahuan, dan otoritas.
Dalam hal agama dan spiritualitas, postmodernisme
menawarkan pandangan beragam yang dicirikan oleh
skeptisisme, pluralisme, dan penekanan pada pengalaman
subyektif.
Dari definisi tersebut kita mendapatkan bahwa
postmodernisme merupakan cara pandang dan berpikir (“filosofi”),
juga merupakan gaya hidup (“budaya”) yang menantang atau
mempertanyakan segala sesuatu yang selama ini secara
tradisional tidak pernah dipertanyakan, termasuk
mengenai kebenaran, ilmu pengetahuan dan otoritas (misal:
struktur dan keteraturan dalam rumah tangga).
Lebih lanjut, postmodernisme memiliki banyak sekali
pandangan atau pendapat mengenai agama/spiritualitas,
namun pandangan tersebut pada umumnya bersifat skeptis
dan lebih menekankan pada pengalaman atau perasaan
pribadi.
Contoh pandangan postmodernisme:
• tidak ada jenis kelamin yang fix hanya laki-laki dan
perempuan; jenis kelamin bersifat fluid dalam arti orang
dapat memilih menjadi apa saja tanpa peduli pada alat
kelamin yang dimilikinya.
• aborsi bukanlah pembunuhan tetapi bagian dari
perawatan kesehatan dan hak orang yang hamil (ingat:
tidak ada yang namanya “perempuan” karena “perempuan”
bisa siapa saja, jadi postmodernisme lebih menyukai
istilah 'orang yang hamil'),
• kebenaran itu ada namun tidak bersifat absolut, oleh
karenanya semua orang boleh beragama tapi semuanya itu
hanya relatif.
Dalam hal kekristenan, postmodernisme biasanya
mempertanyakan hal-hal seperti:
• bukti bahwa Tuhan itu ada
• bukti bahwa Alkitab merupakan sumber yang valid,
argumen bahwa tidak ada yang namanya kebenaran yang
absolut
• bila Allah yang baik itu berkuasa atas dunia lalu
mengapa ada kejahatan
• apakah masih relevan mengatakan suatu tindakan
tertentu sebagai dosa jika sudah banyak orang telah
melakukannya secara biasa dan dianggap normal (misalnya:
hubungan sex sebelum dan di luar perkawinan yang sah)
dan lain-lain.
Walaupun di masa yang berbeda, rasul Paulus pernah
menghadapi situasi yang serupa saat berada di Atena,
Yunani. Ketika mereka tiba di sana, mereka melihat bahwa
kota itu penuh dengan patung-patung berhala yang
menandakan bahwa ada banyak cara pandang dan budaya di
Atena. (Kisah Para Rasul 17:16)
Tidak ada satu dewa yang absolut, sebab ada sangat
banyak sesembahan/ ilah. Demikian juga ada banyak jenis
filosofi di Atena, yang bahkan menjadi fondasi filosofi
dunia barat. Tidak heran ketika Paulus dan
rekan-rekannya mulai membagikan Injil dan berita tentang
Kristus, mereka ditertawakan dianggap sebagai peleter
atau pembual. (Kisah Para Rasul 17:18)
Namun dibalik itu semua ternyata ada rasa penasaran dan
kehausan untuk mengetahui lebih lanjut apa yang
diajarkan oleh Paulus. (Kisah Para Rasul 17:19-20)
Rasul Paulus diundang untuk berbicara di sidang
Areopagus, di mana siapa pun bebas untuk berbicara dan
berpendapat. Ini adalah kesempatan emas yang diberikan
oleh warga Atena kepada Paulus. Paulus menggunakan
kesempatan itu untuk memberitakan kebenaran. Hasilnya,
ada beberapa orang Atena yang menjadi percaya kepada
Tuhan dan menggabungkan diri dengan persekutuan orang
percaya. (Kisah Para Rasul 17:34)
Bagaimana Paulus menghadapi situasi di Atena menjadi
pembelajaran yang berharga bagaimana kita sebagai orang
percaya juga dapat menggunakan kesempatan emas di era
postmodern ini :
1. Miliki Kepekaan akan Kondisi Kerohanian yang Terjadi
Pada Era Ini
Ketika Paulus melihat bahwa di Atena penuh dengan
spiritualisme yang tinggi namun bersifat berhala, maka
sedihlah hatinya. (Kisah Para Rasul 17:16)
Dalam bahasa Inggris dikatakan “his spirit was stirred”
(ver. KJV) atau “his spirit was grieved and roused to
anger” (ver. AMPC). Jelaslah bukan hanya suasana hati
Paulus bergejolak melihat kenyataan yang ada, tetapi
rohnya pun bereaksi sedih dan bahkan marah melihat
bagaimana jiwa-jiwa di Atena telah demikian dirusak oleh
ilah zaman itu.
Lukas kerap mencatat dalam Kisah Para Rasul bagaimana
Paulus yang dipenuhi Roh Kudus selalu peka dan bereaksi
ketika melihat jiwa-jiwa disesatkan oleh ilah-ilah dan
pandangan yang tidak benar.
Sebagai insan Pentakosta yang dipenuhi Roh Kudus, kita
seharusnya peka akan kondisi rohani yang terjadi pada
era ini. Situasi yang kita hadapi di era postmodern
adalah banyak orang yang tidak percaya akan keberadaan
Tuhan dan kebenaran-Nya atau mungkin percaya adanya
kekuatan ilahi yang lebih besar dari manusia, tetapi
sosok tersebut bukanlah Tuhan yang benar.
Dua sisi spiritualisme ini sebenarnya membuka peluang
bagi kita untuk membicarakan mengenai Tuhan, kebenaran,
firman-Nya (Alkitab). Ini era Pentakosta Ketiga,
pencurahan Roh Kudus bukan hanya kepada jiwa-jiwa yang
baru percaya, tetapi juga untuk kita yang sudah percaya,
bahkan sudah dipenuhi Roh Kudus, agar memiliki kepekaan
untuk mencermati situasi dan kondisi kerohanian generasi
ini.
2. Siap Sedia untuk Berdiskusi Mengenai Kristus dan
Injil Keselamatan
Salah satu pintu masuk untuk berbicara dengan generasi
yang berpandangan postmodernisme adalah keterbukaan
untuk berargumentasi dan berpendapat. Ini adalah suatu
masa dan generasi yang amat terbuka dan kritis akan
segala hal dan tidak mudah untuk menerima sesuatu begitu
saja. Hal tersebut justru menjadi kesempatan emas untuk
memberitakan Injil Keselamatan.
Pandangan postmodernisme yang suka menantang agama dan
kebenaran, justru menjadi peluang bagi kita untuk
menjawab tantangan tersebut dengan menjelaskan Sang
Kebenaran, yaitu Tuhan Yesus Kristus. (Yohanes 14:6)
Pemberitaan kita ujungnya adalah Yesus Kristus.
Situasi yang serupa dialami oleh Paulus dan
rekan-rekannya di Atena. Mereka langsung membuka ruang
untuk bertukar pikiran baik dengan orang-orang Yahudi,
non-Yahudi, bahkan dengan golongan filsuf. (Kisah Para
Rasul 17:17-18)
Dalam Alkitab versi AMPC, dikatakan “he reasoned and
argued” yang artinya Paulus bukan hanya berbincang
belaka, tetapi memberikan alasan dan argumentasi yang
tepat dalam memberitakan kebenaran dan Injil Keselamatan.
Perhatikanlah bahwa semua diskusi dan perbincangan yang
disampaikan dari pihak Paulus, selalu memuncak pada
pemberitaan tentang Yesus dan kebangkitan-Nya (Kisah
Para Rasul 17:18), demikian juga saat ia diminta untuk
berbicara di Areopagus, Paulus tetap memusatkan
pemberitaannya ke arah Kristus dan menyerukan pertobatan.
(Kisah Para Rasul 17:26-28, 30-31)
3. Mempergunakan Narasi dan Argumentasi Postmodernisme
Kita perlu melihat narasi dan argmentasi postmodernisme
itu sebagai pintu masuk untuk menjawab kebutuhan yang
tersirat pandangan tersebut.
Semua argumentasi yang mencoba untuk membenarkan suatu
gaya hidup atau cara pandang yang tidak sejalan dengan
kebenaran firman Allah, akan selalu memiliki kelemahan.
Di sini kita juga harus memahami bahwa dibalik semua
argumentasi itu, sebenarnya terkandung suatu kebutuhan
dan kehausan untuk mendapatkan jawaban yang kuat dan
benar. Di sinilah kebenaran firman menjadi jawaban.
Paulus mengerti akan hal ini dan mempergunakan situasi
yang ada untuk menjawab kehausan warga Atena.
Ketika Rasul Paulus melihat bahwa warga Atena menyembah
Allah “yang tidak dikenal.” (Kisah Para Rasul 17:23),
Paulus menggunakan hal ini untuk menyampaikan tentang
Kristus --Allah yang tidak mereka kenal-- dan bagaimana
Ia tidaklah sama/setara dengan semua ilah lain yang
mereka kenal.
Sama juga pada era kini, ketika generasi postmodern
menganggap semua pandangan dan ilah adalah sama, justru
membuka peluang untuk kita menjelaskan mengapa Yesus
Kristus yang kita sembah berbeda dengan ilah mana pun.
Ketika generasi postmodern ini berargumentasi dari sisi
moral bahwa hidup dan kebenaran itu subyektif, maka kita
menjelaskan bahwa moralitas dan kebenaran itu obyektif
dan melekat kepada aturan-aturan yang Allah tetapkan
bagi semua manusia.
Tantangan postmodernisme yang diusung oleh banyak orang
di generasi ini janganlah dipandang sebagai sesuatu yang
harus dihindari, justru harus dilihat sebagai pintu
untuk bisa berdiskusi terbuka dan berbicara mengenai
kebenaran dan keselamatan, tentunya dengan tetap saling
menghormati satu sama lain. Kita tidak boleh takut dan
gentar untuk membagikan kebenaran. (1 Petrus 3:14)
Kepenuhan Roh Kudus dalam diri kita menjadi penting
sehingga kita berani dan dengan hikmat-Nya dapat
berkata-kata dengan tepat (Markus 13:11) serta siap
untuk menjelaskan iman kita dengan lemah lembut, hormat
dan hati yang dipenuhi kasih Allah kepada semua orang (1
Petrus 3:15-16 )di era postmodern ini. (CS).
[1] www.chatopenai.com diakses 24 Mei 2023 pukul 09:41 WIB, diterjemahkan dari bahasa Inggris oleh penulis.
[1] C. Peter Wagner, The Book of Acts: A Commentary (Minneapolis, MN: Chosen Books, 2008), 391-392
[1] Ibid, 402