KETULUSAN DALAM MENERIMA KEPUTUSAN BAPA
“Maka Ia maju sedikit, lalu sujud dan berdoa, kata-Nya:
"Ya Bapa-Ku, jikalau sekiranya mungkin, biarlah cawan
ini lalu dari pada-Ku, tetapi janganlah seperti yang
Kukehendaki, melainkan seperti yang Engkau kehendaki."
Lalu Ia pergi untuk kedua kalinya dan berdoa, kata-Nya:
"Ya Bapa-Ku jikalau cawan ini tidak mungkin lalu,
kecuali apabila Aku meminumnya, jadilah kehendak-Mu!" Ia
membiarkan mereka di situ lalu pergi dan berdoa untuk
ketiga kalinya dan mengucapkan doa yang itu juga."
Matius 26 : 39, 42, 44
Dalam khotbah di Bukit, Tuhan Yesus mengajarkan
murid-murid-Nya tentang bagaimana berdoa, yang kemudian
dikenal dengan "Doa Bapa Kami", di mana dalam salah satu
bagian dari doa yang diajarkan Tuhan Yesus itu ada
sebuah permintaan dan harapan "jadilah kehendak-Mu di
bumi seperti di sorga." (Matius 6:10)
Doa ini mengajarkan kepada kita untuk hidup berserah dan
mengikut kehendak Bapa di sorga. Tentu implikasi dari
hal ini terhadap kehidupan kerohanian kita sangat luas,
antara lain:
1. Kesadaran untuk Menempatkan Kehendak Bapa Jauh di
Atas Kehendak Pribadi Kita
Ini bukan soal yang mudah, mengingat sebagai manusia
yang cenderung 'sok tahu' dan 'sok berkuasa' atas
dirinya sendiri, umumnya kita mengedepankan kehendak
sendiri di atas yang lainnya. Banyak orang beranggapan
bahwa mendahulukan atau menuruti kehendak pribadi yang
lain dengan mengekang kehendak sendiri adalah bentuk
perhambaan, penjajahan terhadap hak asasi seseorang.
Mungkin mereka lupa, bahwa sebagai orang yang telah
ditebus dengan harga yang mahal dan lunas dibayar oleh
Darah Kristus (1 Korintus 6:20) kita menjadi hamba
Allah, sebagaimana tertulis dalam Roma 6:22,
"Tetapi sekarang, setelah kamu dimerdekakan dari dosa
dan setelah kamu menjadi hamba Allah, kamu beroleh buah
yang membawa kamu kepada pengudusan dan sebagai
kesudahannya ialah hidup yang kekal."
Sebagai hamba Allah kita adalah orang yang merdeka dari
dosa, namun sebagai hamba Allah sudah selayaknya kita
meletakkan kehendak-Nya di atas kehendak kita.
Dalam nats bacaan kita; tiga kali Yesus menyampaikan
permohonan kepada Bapa di sorga, namun Yesus dengan
jelas dan tegas menyatakan "tetapi janganlah seperti
yang Kukehendaki, melainkan seperti yang Engkau
kehendaki", dalam kalimat yang lebih ringkas dan
sederhana Ia berkata: "Jadilah kehendak-Mu".
Tuhan Yesus sedang memberikan sebuah teladan bagaimana
orang percaya harus menempatkan kehendak Bapa jauh di
atas, melampaui kehendak kita sendiri. Biarlah apapun
yang kita lakukan dan yang terjadi dalam hidup kita
adalah kehendak-Nya dan bukan kehendak kita sendiri.
Yakobus dalam suratnya mengajarkan secara praktis
mengenai hal ini:
"Jadi sekarang, hai kamu yang berkata: "Hari ini atau
besok kami berangkat ke kota anu, dan di sana kami akan
tinggal setahun dan berdagang serta mendapat untung",
sedang kamu tidak tahu apa yang akan terjadi besok.
Apakah arti hidupmu? Hidupmu itu sama seperti uap yang
sebentar saja kelihatan lalu lenyap.
Sebenarnya kamu harus berkata: "Jika Tuhan
menghendakinya, kami akan hidup dan berbuat ini dan itu."
Yakobus 4:13-15
2. Memahami dan Menerima Konsekuensi dari Penyerahan
Diri Terhadap Kehendak Bapa
Tidak sedikit orang yang dengan mudahnya berkata: "Biar
kehendak TUHAN yang jadi." Tentu kita harus mengaminkan
pernyataan tersebut. Namun sadarkah kita, bahwa ada
konsekuensi dari permohonan kita tersebut di atas?
Kehendak TUHAN belum tentu mengenakkan bagi kedagingan
kita. Kehendak TUHAN belum tentu jalan yang mudah untuk
dilalui. Kehendak TUHAN menuntut harga yang harus
dibayar sebagai bukti ketaatan dan ketulusan dalam
menjalani dan mengikuti kehendak-Nya.
Tuhan Yesus, setelah melewati malam di mana Ia berdoa
dan menyatakan "Jadilah kehendak-Mu"; yang terjadi
kemudian adalah penangkapan, penahanan, penistaan,
penyiksaan, penganiayaan, penghinaan, dan penyaliban.
Sangat jauh dari dugaan banyak orang yang mungkin
berpikir ketika berkata "Jadilah kehendak-Mu" maka semua
urusan dan persoalan menjadi lancar, berjalan dengan
baik dan mengalami berkat TUHAN.
Tuhan Yesus memahami dan menerima konsekuensi dari
penyerahan diri-Nya terhadap kehendak Bapa di sorga
dengan ketulusan hati. Tidak berbantah, tidak
bersungut-sungut, tidak ada penyesalan sedikit pun
terhadap kehendak Bapa yang harus Ia jalani.
“Dia dianiaya, tetapi dia membiarkan diri ditindas dan
tidak membuka mulutnya seperti anak domba yang dibawa ke
pembantaian; seperti induk domba yang kelu di depan
orang-orang yang menggunting bulunya, ia tidak membuka
mulutnya.” Yesaya 53:7
Bagaimana? Apakah kita memahami konsekuensi apa yang
menanti kita dalam penyerahan diri kepada kehendak Bapa;
ketika kita berdoa dan berkata: "Jadilah kehendak-Mu?"
Lebih dari itu, apakah kita siap untuk melakukannya?
Ketulusan hati ini adalah kuncinya. Ketulusan hati Yesus
membuat diri-Nya melakukan semua kehendak Bapa dengan
penuh ketaatan.
"Hendaklah kamu dalam hidupmu bersama, menaruh pikiran
dan perasaan yang terdapat juga dalam Kristus Yesus,
yang walaupun dalam rupa Allah, tidak menganggap
kesetaraan dengan Allah itu sebagai milik yang harus
dipertahankan, melainkan telah mengosongkan diri-Nya
sendiri, dan mengambil rupa seorang hamba, dan menjadi
sama dengan manusia. Dan dalam keadaan sebagai manusia,
Ia telah merendahkan diri-Nya dan taat sampai mati,
bahkan sampai mati di kayu salib."
Filipi 2:5-8
Rasul Paulus menjabarkan implementasi dari ketulusan dan
ketaatan Tuhan Yesus dalam mengikuti kehendak Bapa
dengan hal-hal praktikal yang perlu dilakukan dalam
kehidupan orang percaya sebagai berikut:
"hendaklah kamu sehati sepikir, dalam satu kasih, satu
jiwa, satu tujuan, dengan tidak mencari kepentingan
sendiri atau puji-pujian yang sia-sia. Sebaliknya
hendaklah dengan rendah hati yang seorang menganggap
yang lain lebih utama dari pada dirinya sendiri; dan
janganlah tiap-tiap orang hanya memperhatikan
kepentingannya sendiri, tetapi kepentingan orang lain
juga."
Filipi 2:2-4
Ketika kita menjalaninya bukan untuk kepentingan kita
sendiri, melainkan demi kepentingan bersama, maka kita
bisa menerima konsekuensi dari penyerahan diri kepada
kehendak Bapa di Sorga.
Ayub juga memberikan teladan yang baik mengenai hal ini.
Di tengah pergumulan dan persoalan hidup yang sangat
berat yang dialaminya, perkataan ini yang keluar dari
mulut Ayub ketika istrinya berupaya untuk membuatnya
mengutuki TUHAN:
“Maka berkatalah isterinya kepadanya: "Masih bertekunkah
engkau dalam kesalehanmu? Kutukilah Allahmu dan matilah!"
Tetapi jawab Ayub kepadanya: "Engkau berbicara seperti
perempuan gila! Apakah kita mau menerima yang baik dari
Allah, tetapi tidak mau menerima yang buruk?"
Dalam kesemuanya itu Ayub tidak berbuat dosa dengan
bibirnya”
Ayub 2:9-10
Jika hal tersebut adalah sesuai dengan kehendak Bapa,
entah yang kita akan hadapi adalah hal yang baik atau
yang buruk, kita terima dan kita lakukan dengan
ketulusan hati, dengan iman percaya bahwa Allah turut
bekerja dalam segala sesuatu untuk mendatangkan kebaikan.
(Roma 8:28)
Jadilah pribadi yang dengan penuh ketulusan menerima
keputusan Bapa di sorga. Maranatha! (DL)