MAKNA BUAH SULUNG DALAM HIDUP KITA
“Karena itu, saudara-saudara, demi
kemurahan Allah aku menasihatkan kamu,
supaya kamu mempersembahkan tubuhmu sebagai persembahan
yang hidup, yang kudus dan berkenan kepada Allah: itu
adalah ibadahmu yang sejati.
Janganlah kamu menjadi serupa dengan dunia ini, tetapi
berubahlah oleh pembaharuan budimu, sehingga kamu dapat
membedakan manakah kehendak Allah:
apa yang baik, yang berkenan kepada Allah dan yang
sempurna”
Roma 12:1-2
Menarik untuk diperhatikan tentang teologi Paulus
mengenai korban/persembahan di dalam Perjanjian Baru.
Ada beberapa kata yang dipakai tentang korban/persembahan,
yaitu:
1. Doma
"Tetapi yang kuutamakan bukanlah pemberian itu,
melainkan buahnya, yang makin memperbesar keuntunganmu."
Flp 4:17
Kata 'doma' (bhs Yunani) hampir selalu berhubungan
dengan pemberian finansial.
2. Osme
"Kini aku telah menerima semua yang perlu dari padamu,
malahan lebih dari pada itu. Aku berkelimpahan, karena
aku telah menerima kirimanmu dari Epafroditus, suatu
persembahan yang harum, suatu korban yang disukai dan
yang berkenan kepada Allah." Flp 4:18
Di ayat berikutnya ada dilanjutkan dengan beberapa kata
lainnya seperti: persembahan yang harum (bhs Yunani =
Osme) yang merupakan translasi konsep Ibrani tentang
korban bakaran yang baunya harum dan berkenan kepada
Allah dan juga korban yang disukai (bhs Yunani = Thusia).
3. Thusia
Kata Thusia ini juga yang dipakai di dalam Rm 12:1.
Menarik untuk diperhatikan bahwa juga di dalam bahasa
Yunani kata 'Thusia' memiliki arti yang mirip dengan
bahasa Indonesia yaitu korban/kurban (Inggris =
victim/sacrifice).
Berdasarkan pengertian di atas dapat ditarik kesimpulan
bahwa ada jenis-jenis pemberian di mana sang pemberi
masih dapat “menanggung” harga dari pemberiannya dan ada
jenis-jenis pemberian lain di mana sang pemberi dapat
dikatakan menjadi ‘korban’ dari tindakan pemberiannya.
Di dalam Perjanjian Lama kita dapat melihat dua
peristiwa yang mencerminkan konsep ini.
Yang pertama adalah kisah pertempuran orang Israel
melawan kota Yerikho.
"Segala emas dan perak serta barang-baran tembaga dan
besi adalah kudus bagi TUHAN; semuanya itu akan
dimasukkan ke dalam perbendaharaan TUHAN.” Lalu
bersoraklah bangsa itu, sedang sangkakala ditiup; segera
sesudah bangsa itu mendengar bunyi sangkakala,
bersoraklah mereka dengan sorak yang nyaring. Maka
runtuhlah tembok itu, lalu mereka memanjat masuk ke
dalam kota, masing-masing langsung ke depan, dan merebut
kota itu. Mereka menumpas dengan mata pedang segala
sesuatu yang di dalam kota itu, baik laki-laki maupun
perempuan, baik tua maupun muda, sampai kepada lembu,
domba dan keledai." Yos 6:19-21
Di dalam hukum pertempuran yang diberikan oleh Allah
kepada bangsa Israel melalui perantaraan Musa (Ul 20:11)
bangsa Israel memang diperbolehkan mengambil barang
jarahan sebagai rampasan perang dari setiap kemenangan.
Namun di dalam kasus pertempuran di Yerikho bangsa
Israel tidak boleh mengambil rampasan perang apapun,
juga tidak boleh mengambil tawanan dan dipakai sebagai
budak, tetapi semuanya harus dibakar dan dipersembahkan
sebagai korban kepada Tuhan. Bahkan bahan-bahan logam
yang tahan api seperti emas, perak, besi dan tembaga
setelah disucikan lewat api harus dipersembahkan
semuanya kepada Tuhan.
Tentu ada alasan yang mendalam mengapa Allah mengambil
tindakan yang demikian drastis kepada ketujuh bangsa
penghuni asli tanah Kanaan; secara singkat dapat
dijelaskan bahwa kejahatan mereka sudah merasuk ke darah
dan daging sehingga mereka sudah kehilangan gambar dan
rupa Allah di dalam diri manusia seperti di dalam diri
mereka.
Adalah suatu “pengorbanan besar” bagi bangsa Israel
bahwa setelah berjuang mempertaruhkan nyawa, mereka
tidak boleh mengambil keuntungan finansial/material
apapun dari usaha mereka, tetapi mempersembahkan
seluruhnya kepada Tuhan. Sebagian besar bangsa Israel
mentaati titah Tuhan yang disampaikan melalui Musa,
tetapi jika kita membaca kisah itu selanjutnya (dalam
pasal 7) kita melihat ketidaktaatan Korah dalam
menyembunyikan barang jarahan yang seharusnya dibakar
dan dipersembahkan seluruhnya kepada Tuhan. Kita juga
melihat kegagalan raja Saul beberapa ratus tahun
kemudian ketika bangsa Amalek akhirnya mengalami nasib
yang sama dengan ketujuh bangsa asli penghuni Kanaan,
yaitu mereka ditumpas habis oleh pedang bangsa Israel di
zaman raja Saul.
Kegagalan raja Saul menunjukkan ketidakrelaannya untuk
memberikan ‘korban’ sepenuhnya kepada Tuhan. Menarik
juga diperhatikan bahwa dalam kasus kemenangan bangsa
Israel di Yerikho dan ujian kepada raja Saul dapat
diumpamakan sebagai ujian buah sulung.
Kota Yerikho adalah buah sulung kepemilikan bangsa
Israel atas tanah Kanaan dan kemenangan terhadap bangsa
Amalek adalah ’buah sulung’ kemenangan raja Saul setelah
ia menjabat sebagai raja.
Korah dan raja Saul adalah contoh ketidakpercayaan
orang-orang terhadap kemampuan Tuhan untuk memberkati
mereka yang taat mengembalikan persembahan buah sulung.
Pada dasarnya prinsip persembahan buah sulung dan
persembahan persepuluhan adalah sama yaitu memberikan
Tuhan kesempatan pertama untuk menikmati apa yang kita
hasilkan, jika kita percaya bahwa semua yang dapat kita
hasilkan adalah juga berasal dari tangan-Nya.
Di dalam kehidupan, kita melihat hal ini sebagai
kebiasaan yang sangat sederhana. Seperti jika kita
berada di dalam suatu resepsi resmi dan ada undangan
yang menjadi VIP di acara tersebut, maka kita pasti akan
memberikan kepadanya kesempatan pertama untuk mengambil
makanan. Kita tidak akan berani mendahului. Kita pasti
memberikan dia kesempatan mengambil bagian yang pertama.
Di dalam kehidupan Daud ada cerita mengenai tiga orang
triwira yang memimpin pasukan pengawal pribadi Daud.
Mereka masing-masing memiliki prestasi di dalam medan
perang, namun mereka diingat sepanjang sejarah Israel
karena mereka bisa meresponi keinginan hati Daud untuk
minum dari perigi yang ada di depan kampung Betlehem.
Mereka mempertaruhkan nyawanya untuk menerobos tentara
Filistin dan membawakan Daud air yang dirindukannya.
Kerelaan mereka untuk mempertaruhkan nyawa mereka itulah
konsep yang terdapat di dalam kata Thusia, yaitu
mempersembahkan seluruh kehidupanmu sebagai korban yang
hidup.
Di dalam mendapatkan penghasilan kita tiap bulan
seringkali kita berjuang keras membanting tulang dan
memeras keringat di tengah-tengah kerasnya persaingan di
dunia bisnis di kota-kota besar di Indonesia. Memang
kita mungkin belum sampai taraf bercucuran darah di
dalam mendapatkan keuntungan tetapi uang itu dapat
dikatakan mewakili “hidup” kita.
Ketika triwiranya mempersembahkan air yang sangat
dirindukan oleh raja Daud, Daud tidak berani meminumnya
tetapi mempersembahkan semuanya sebagai korban curahan
di hadapan Tuhan karena ia berkata bahwa air ini adalah
‘darah’ dari ketiga orang triwira itu, ia sebagai
manusia tidak layak meminumnya, hanya Tuhan lah yang
layak menerimanya.
Persembahan buah sulung adalah melambangkan kesiapan
kita mempersembahkan seluruh kehidupan kita sebagai
korban yang hidup di hadapan Tuhan dan tanda
penghormatan kita kepada posisi Tuhan sebagai pemilik
segalanya dalam kehidupan kita. Uang yang melambangkan
kehidupan kita; di dalamnya terdapat pengorbanan waktu,
tenaga, pikiran dan usaha yang mengalir keluar dari
hidup kita akan kita persembahkan kepada Tuhan karena Ia
layak menerima segalanya dan karena hanya itulah ibadah
kita yang sejati. (AL)