MEMBANGUN PELAYANAN LINTAS GENERASI
Beberapa bulan terakhir, gereja kita
mulai memunculkan terminologi baru yaitu
Intergenerasional atau bisa juga disebut lintas generasi.
Istilah ini mulai muncul pada akhir abad ke-20 ketika
penamaan generasi seperti Baby Boomer lahir untuk
mengidentifikasi fenomena banyaknya anak-anak yang lahir
pasca perang dunia kedua pada tahun 1945-1960 an.
Penamaan generasi Millennials yang lahir menjelang
pembukaan millennium yang baru yaitu tahun 2000
dipopulerkan oleh William Strauss dan Neil Howe yang
pada saat itu adalah penulis buku dan juga konsultan
sosiologis. Teori mereka masih dipakai sampai hari ini
untuk mempermudah mengidentifikasi perbedaan generasi
yang ada di gereja.
Ternyata, perbedaan generasi ini menunjukkan fenomena
yang menarik: kontribusi setiap generasi terhadap Gereja
berbeda antara satu dengan yang lainnya, dan kebutuhan
mereka juga berbeda antar satu generasi dengan yang
lainnya. Di sinilah letak fungsi utama dari pelayanan
lintas generasi.
Alih-alih berfokus kepada satu generasi saja, Gereja
melihat sebuah pelayanan yang mewakili dan membuka
interaksi antar generasi di dalam sebuah gereja lokal.
Apa dampaknya? Setiap karunia dan panggilan dari
masing-masing generasi bisa terwakili dan kebutuhan
setiap generasi terjawab. (1 Korintus 12:25-26)
Ternyata kehidupan bergereja yang sehat adalah kehidupan
berkomunitas yang saling memperhatikan satu dengan yang
lain dan ini termasuk hubungan lintas generasi.
Perhatikan 2 ayat berikut ini:
“Tetapi aku menasihatkan kamu, saudara-saudara, demi
nama Tuhan kita Yesus Kristus, supaya kamu seia sekata
dan jangan ada perpecahan di antara kamu, tetapi
sebaliknya supaya kamu erat bersatu dan sehati sepikir”
1 Korintus 1:10
“Kami juga menasihati kamu, saudara-saudara, tegorlah
mereka yang hidup dengan tidak tertib, hiburlah mereka
yang tawar hati, belalah mereka yang lemah, sabarlah
terhadap semua orang” 1 Tesalonika 5:14
Di dalam konteks bergereja zaman sekarang, maka istilah
‘erat bersatu’, ‘sehati sepikir’, dan “sabar terhadap
semua orang” juga dikaitkan dengan hubungan lintas
generasi. Bagaimana generasi yang muda bisa menghormati
generasi yang senior dan juga sebaliknya. Ini bukanlah
ayat yang ditujukan untuk satu generasi saja, tetapi
untuk semua orang. Implikasi dari adanya ayat-ayat
nasehat seperti ini adalah: hubungan itu tidak selalu
baik adanya. Terkadang menjaga hubungan di antara yang
sama generasinya saja sudah susah, apalagi membangun
hubungan lintas generasi. Inilah tantangan Gereja zaman
sekarang!
Apa yang Dibangun dalam Pelayanan Lintas Generasi?
Ada 3 area besar yang perlu dibangun menurut David
Kinnaman dalam bukunya Faith For Exiles:
1. Shared Experience
Hubungan itu betul-betul terbentuk ketika dua orang atau
lebih mau berkomitmen untuk meluangkan waktu
bersama-sama. Kedengarannya mudah bukan? Tapi faktanya,
tidak semudah ini. Sebuah pertanyaan sederhana: apakah
kita suka menghabiskan waktu bersama dengan orang-orang
percaya lainnya dalam komunitas gereja lokal? Bagaimana
dengan orang-orang yang berbeda rentang usia dengan kita?
Mungkin ada project gereja yang bisa dilakukan bersama
antara generasi muda dengan yang senior? Perjalanan misi
yang melibatkan generasi senior dengan yang muda
misalnya. Diskusi dan interaksi yang terjadi akan
menumbuhkan hubungan yang berkualitas.
2. Shared Goals
Hubungan lintas generasi tidak terjadi begitu saja,
perlu niat dan tujuan yang jelas dari kedua belah pihak.
Apa yang ingin dicapai dari hubungan lintas generasi
tersebut? Ketika Elia berjumpa dengan Elisa, hubungan
yang tercipta memiliki tujuan yang jelas: mewarisi
pengalaman, pengurapan, dan panggilan dari Elia kepada
Elisa. Ketika Paulus memanggil Timotius, tujuannya jelas:
untuk mendidik dan memperlengkapi Timotius muda menjadi
hamba Allah yang nantinya akan meneruskan pelayanan
Injil di tempat yang sudah ditentukan Allah baginya.
3. Shared Emotions
Manusia adalah mahkluk yang juga memiliki emosi. Dan di
dalam membangun hubungan pertemanan ataupun mentoring,
emosi memainkan peranan penting. Apakah seseorang merasa
diterima atau tidak dalam sebuah komunitas menentukan
keputusannya untuk tetap tinggal di situ atau tidak.
Apakah seseorang merasa dianggap sebagai keluarga di
gereja lokalnya atau tidak akan menentukan keputusannya
untuk tetap tinggal di situ atau tidak. David Kinnaman
menulis bahwa murid yang tangguh adalah mereka yang
tertanam dalam gereja lokal yang memiliki penerimaan
seperti keluarga.
Apakah berarti gereja hanya berfokus menumbuhkan emosi
positif saja? Tentu tidak. Alkitab meminta kita untuk
menegur mereka yang hidup dalam dosa. (Matius 18:15-20)
Iklim emosi yang sehat akan membantu generasi muda
merasa diterima di gereja lokal mereka sebagai anak dan
sekaligus dibentuk menjadi murid yang tangguh.
Fondasi Biblika di dalam Membangun Pelayanan Lintas
Generasi
Di dalam surat Titus 2:1-6 kita melihat bagaimana
hubungan lintas generasi itu terjadi di dalam sebuah
gereja lokal, dan apa yang menjadi bagian dari generasi
yang lebih tua dan generasi yang lebih muda. Ajakan
dimulai terlebih dahulu kepada generasi yang lebih tua,
baik yang laki-laki maupun yang perempuan, untuk bisa
menjadi teladan bagi mereka yang muda.
Bagi para laki-laki ternyata kehidupan yang bijaksana
dan terhormat menjadi sebuah karakter penting. Generasi
muda perlu melihat teladan dan juga mendengar kesaksian
dari generasi senior yang hidupnya bijaksana, sehat di
dalam iman, kasih, dan ketekunan.
Contoh praktis yang bisa dilakukan adalah mengadakan
talkshow atau pertemuan informal dimana generasi yang
lebih tua berbagi pengalaman melewati masa-masa
membangun rumah tangga, karir, dan juga pelayanan mereka.
Kepada para perempuan juga diberikan nasehat yang sama
agar perempuan yang lebih tua bisa memberikan pengalaman
dan menyemangati perempuan yang muda untuk bisa hidup
bijaksana dan kudus. Tentu hal-hal seperti ini akan
sangat efektif apabila dibicarakan dalam hubungan yang
sudah dibangun sejak awal. Pemuridan lintas generasi
yang efektif akan terjadi apabila sudah ada hubungan
yang mendasarinya.
Tujuan dari Pelayanan Lintas Generasi
Di dalam Mazmur 78:4 dikatakan,
“Kami akan ceritakan kepada angkatan yang kemudian
puji-pujian kepada TUHAN dan kekuatan-Nya dan
perbuatan-perbuatan ajaib yang telah dilakukan-Nya.”
Pemazmur dalam hal ini Asaf, memiliki komitmen untuk
meneruskan pengetahuan akan mujizat Tuhan kepada
generasi berikutnya agar tidak terputus ingatan mereka
tentang Tuhan. Begitu juga dengan pelayanan lintas
generasi, ini dilakukan karena visi yang Tuhan berikan
kepada gereja-Nya begitu besar dan luas, serta tidak
mungkin diselesaikan hanya dalam waktu satu generasi
saja. Artinya apa? Segala pengalaman, pengurapan, dan
kesaksian hidup dari generasi sebelumnya perlu
diteruskan kepada generasi penerus. Anak-anak muda yang
berdiri di atas pengurapan dan pengalaman generasi
sebelumnya akan bergerak lebih cepat, lebih tepat, dan
lebih diurapi.
Kesimpulannya adalah hubungan lintas generasi
membutuhkan niat dari kedua belah pihak untuk saling
merendahkan hati mencari kepentingan bersama dan
kehendak Tuhan. Apa yang dibangun untuk diteruskan
kepada generasi berikutnya bahkan tidak hanya ketiga hal
diatas yakni shared experience, goals dan emotions, tapi
juga shared faith, seperti yang dialami anak rohani
Paulus, yaitu Timotius.
2 Timotius 1:5 menunjukkan dengan jelas kepada kita
bagaimana Timotius menerima warisan iman yang luar biasa
dari ibu dan neneknya sendiri.
“Sebab aku teringat akan imanmu yang tulus ikhlas, yaitu
iman yang pertama-tama hidup di dalam nenekmu Lois dan
di dalam ibumu Eunike dan yang aku yakin hidup juga di
dalam dirimu.”
Gereja yang membangun budaya lintas generasi memahami
bahwa kehendak Tuhan untuk zaman ini berarti kehendak
Tuhan untuk setiap generasi yang ada sekarang. Untuk itu,
jembatan yang menghubungkan lintas generasi perlu
dibangun agar suara Roh bisa secara tepat direalisasikan
(kontekstualkan) kepada setiap generasi yang ada di
gereja dan di luar gereja hari ini. (DAP)