MENGAPA KITA BUTUH JURUSELAMAT?
Pertanyaan “Mengapa kita butuh
Juruselamat?” adalah pertanyaan klasik yang masih sering
muncul di tengah-tengah zaman ini dengan segala kemajuan
teknologi yang ada di berbagai bidang. Di saat mana
teknologi dunia sudah mulai merambah ke konsep metaverse,
pertanyaan yang pada abad-abad sebelumnya memiliki
jawaban yang absolut, namun saat ini, jawaban atas
pertanyaan ini mungkin menjadi sesuatu yang relatif.
Kekristenan, sebagai suatu ajaran yang mengemukakan
konsep ini, tentu tidak luput dari pertanyaan-pertanyaan
kritis seperti demikian. Masih relevankah ajaran
Kristen, dalam hal ini Firman Tuhan, berbicara tentang
perlunya seorang Juruselamat? Beberapa dari kita mungkin
pernah mendengar bahwa, jika seseorang membutuhkan
Juruselamat, artinya ia adalah seorang yang lemah. Kita
percaya bahwa memang manusia itu lemah karena:
“Semua orang telah berbuat dosa dan telah kehilangan
kemuliaan Allah.”
Roma 3:23
Dosa telah mendegradasi segala yang baik yang diciptakan
oleh Allah pada mulanya. Di bulan April ini di mana kita
merayakan hari Paskah, mari kita melihat sekali lagi
mengapa Tuhan Yesus harus menjadi Juruselamat melalui
kematian dan kebangkitan-Nya untuk menyelamatkan kita
semua?
Sebelum kita melihat lebih jauh jawaban atas pertanyaan
di atas, kita perlu mengingat bahwa:
“Upah dosa ialah maut”
Roma 6:23
Nahum 1:3a juga mencatat:
“TUHAN itu panjang sabar dan besar kuasa, tetapi Ia
tidak sekali-kali membebaskan dari hukuman orang yang
bersalah.”
Allah menghukum manusia yang berdosa dengan ganjaran
maut, bukan karena Ia tidak mengasihi dan tidak mau
mengampuni manusia. Allah itu Maha Kasih di satu sisi,
namun di sisi yang lain, Ia juga Maha Adil. Keadilan-Nya
muncul dari kekudusan-Nya. Adil adalah salah satu
atribut Allah. Yeremia 23:6 mencatat salah satu nama
Allah yaitu: "TUHAN keadilan kita" (dari bahasa Ibrani
‘tsedeq’ yang artinya adil, benar).
Kamus Besar Bahasa Indonesia mendefinisikan keadilan
sebagai “sifat yang tidak berat sebelah, berpihak kepada
yang benar, sesuatu yang sepatutnya”.
Westminster Dictionary of Theology menjelaskan bahwa
konsep keadilan berhubungan erat dengan kasih sayang.
Lebih lanjut dikatakan bahwa konsep keadilan dibedakan
menjadi dua; yang pertama adalah seseorang menerima
keadilan karena ia telah melakukan hal yang salah, dan
dengan demikian, ia menerima apa yang menjadi haknya
karena perbuatannya, yang kedua adalah konsep pemberian
keadilan kepada seseorang ketika apa yang diberikan
tidak datang sebagai akibat dari orang tersebut telah
melakukan suatu perbuatan yang salah.
Berdasarkan atribut Allah ini, ada beberapa alasan
mengapa manusia tetap memerlukan Juruselamat yang
menyelamatkan dari hukuman Allah, yaitu:
1. Keadilan Allah Harus Dipenuhi
Di dalam pemahaman dunia terkait keselamatan, khususnya
dalam agama-agama suku, pada umumnya manusia
mempersembahkan sesajen kepada para dewa untuk
menyurutkan amarah sang dewa, sehingga hukuman atas
manusia tersebut dapat dielakkan.
Di dalam kekristenan, kita percaya bahwa Yesus, sebagai
Anak Allah yang berinkarnasi menjadi manusia-lah yang
menjadi persembahan untuk menyurutkan amarah Bapa bahkan
menghapuskan semua hukuman akibat dosa yang dilakukan
manusia.
2 Korintus 5:21 mencatat:
“Dia yang tidak mengenal dosa telah dibuat-Nya menjadi
dosa karena kita, supaya dalam Dia kita dibenarkan oleh
Allah.”
Hukuman maut yang tadinya diperuntukkan kepada manusia
yang berdosa, menjadi diperuntukkan kepada Yesus karena
Ia telah menjadi dosa. Di dalam Alkitab Perjanjian Baru
terjemahan bahasa Ibrani, kata ‘Tetelestai’ dalam Injil
Yohanes 19:30 yang berarti “Sudah selesai” diterjemahkan
dengan kata “Nish’lam”, yang erat hubungannya dengan
kata ‘Shalom’. Jadi, secara harafiah, kata “Nish’lam”
berarti “(sudah) diperdamaikan”. Dari hal ini, dapat
kita mengerti bahwa kematian Yesus di atas kayu salib
telah mendamaikan manusia dengan Allah karena
keinginan-Nya akan keadilan telah dipenuhi.
2. Manusia Berhutang Kekudusan kepada Allah
Anselmus, seorang bapa gereja di abad ke-12, di dalam
bukunya Cur Deus Homo (Mengapa Allah menjadi manusia)
menuliskan bahwa jika ada orang yang bertanya seperti
itu, artinya ia tidak mengerti dengan jelas arti
kedalaman kejatuhan manusia di dalam dosa, dan dia tidak
mengerti apa artinya 'kudus' menurut kekudusan Tuhan.
Friberg Analytical Greek Lexicon mendefinisikan kata
‘kudus’ (Yunani: hagios) dengan arti “sesuatu yang
dipisahkan untuk tujuan Tuhan”. Konsep ‘dipisahkan’
untuk kata ‘kudus’ memiliki pengertian yang sama seperti
di dalam Kejadian 1:4 di mana Allah memisahkan terang
dari gelap. Artinya, benar-benar terpisah.
Manusia yang pada awalnya diciptakan Allah dalam keadaan
mulia, kudus, baik menjadi kehilangan segalanya saat
manusia jatuh ke dalam dosa, sehingga manusia pun
‘berhutang’ kekudusan kepada Allah. Dengan standar
manusia, meskipun manusia terus berbuat baik, mereka
tetap tidak dapat mengganti hutang kekudusan ini.
Yesaya 64:6 mencatat bahwa bahkan setiap kesalehan
manusia itu seperti kain kotor di mata Allah. Hanya Anak
Allah yang kudus yang berinkarnasi menjadi manusia
sajalah yang dapat membayarkan hutang kekudusan ini
kepada Allah.
Apa yang Yesus lakukan di kayu salib sesungguhnya adalah
penggenapan yang sempurna dari rencana keselamatan Allah
bagi manusia. Dari peristiwa di Taman Eden, di mana
Allah mengenakan pakaian dari kulit binatang kepada Adam
dan Hawa (di mana darah binatang harus tercurah sebagai
lambang penghapusan dosa Adam dan Hawa) sebagai
protoevangelium (kabar baik tentang penebusan yang
pertama) (Kejadian 3:21) hingga hukum tentang korban
penghapusan dosa dari Hukum Taurat (Imamat 4:1-35), di
mana semuanya adalah cara Allah untuk membawa manusia
yang telah jatuh ke dalam dosa untuk kembali kepada-Nya.
Namun, persembahan darah binatang, tidaklah cukup untuk
secara permanen menebus dosa-dosa manusia. Oleh sebab
itu, kembali Allah berinisiatif untuk menyelamatkan
manusia melalui peristiwa inkarnasi Anak Allah, karena
hanya lewat pengorbanan Anak Allah yang kudus dan tidak
bercacat ini sajalah, penebusan dosa manusia terjadi
secara sempurna. Cara pengorbanan yang ditempuh adalah
cara yang paling keji, yaitu lewat salib. Inilah
kulminasi pertemuan antara keadilan dan kasih Allah.
Inilah yang kita rayakan melalui Hari Paskah.
Di momen Paskah ini, kita dibawa untuk mengingat dan
merenungkan kembali apa yang telah Tuhan Yesus kerjakan
bagi kehidupan kita. Di mana tanpa pengorbanan Tuhan
Yesus, tidak ada ada satu orang pun yang bisa luput dari
hukuman karena keadilan Allah yang lahir dari
kekudusan-Nya itu.
Oleh sebab itu, hendaknya kita selalu menghormati
pengorbanan Tuhan Yesus dengan cara “tetap mengerjakan
keselamatan dengan takut dan gentar.” (Filipi 2:12)
Kita bersyukur karena Tuhan Yesus bukan saja telah mati,
tetapi terlebih, Ia juga telah bangkit, karena jika Ia
tidak dibangkitkan, maka sia-sialah iman kita kepada-Nya
(I Korintus 15:17), sehingga “sesudah Ia mencapai
kesempurnaan-Nya, Ia menjadi pokok keselamatan yang
abadi bagi semua orang yang taat kepada-Nya.” (Ibrani
5:9)
Dari penjelasan di atas, maka dapat kita simpulkan,
bahwa meskipun manusia saat ini berada di zaman yang
sangat maju di dalam segala bidang, manusia tetap
membutuhkan Juruselamat yang sanggup menyelamatkan dari
hukuman akibat dosa. Dan Juruselamat itu ialah Yesus
Kristus, yang telah mati, bangkit, naik ke sorga mulia,
dan akan kembali ke dunia menjemput kita dalam
kemuliaan-Nya untuk membawa kita hidup dan memerintah
selama-lamanya bersama dengan Dia. Selamat merayakan
Hari Raya Paskah! (WP)