Paradigma Kekudusan bagi Generasi yang Menyelesaikan Amanat Agung
Kekudusan adalah sifat atau karakter
Allah yang paling menonjol di dalam Alkitab. Hal ini
terekspresikan dalam trisagion: ’Kudus, kudus, kuduslah
Tuhan Allah, Yang Mahakuasa ’ (Wahyu 4:8). Tidak ada
karakter Allah yang mendapatkan penekanan dalam bentuk
pengulangan tiga kali, selain ’kudus’.
Dalam era dimensi yang baru, Tuhan menuntun gereja-Nya
untuk merangkul banyak paradigma baru, atau ukuran yang
lebih besar, tentang karakter-Nya dan karya-Nya. Jika
kekudusan adalah sifat Allah yang terutama, tidakkah
gereja Tuhan seharusnya mengharapkan pembukaan
paradigma-paradigma baru tentang kekudusan?
Dalam era kebangkitan Generasi Yeremia, jutaan anak-anak
muda yang tidak berkompromi dengan dosa akan bergerak
keluar memenangkan jiwa. Ketika mereka bergerak keluar,
ke tengah dunia yang jatuh dalam dosa, sedikit banyak
terlihat ada resiko mereka ’terkhamiri’ oleh dunia. Akan
tetapi, tidakkah selayaknya gereja Tuhan juga melihat
’imbalan’ (reward) dimana mereka ’mengkhamiri’ dunia
dengan kekudusan?
KEKUDUSAN
Kekudusan pada hakikatnya menggambarkan keterpisahan dan
keberbedaan Allah dengan segala ciptaan-Nya.1 Ia berbeda
dari segala konsepsi pribadi ilahi lain yang ada di
benak manusia sepanjang sejarah peradaban. Karena itu,
dapat dipahami ketika Ia berfirman kepada generasi Musa:
’Jangan membuat bagimu patung yang menyerupai apapun
yang ada di langit di atas, atau yang ada di bumi di
bawah, atau yang ada di dalam air di bawah bumi’
Keluaran 20:4
Perintah yang sama diulangi lagi kepada generasi Yosua
dalam Ulangan 5:8.
Sifat kudus memiliki konsekuensi bahwa Ia juga terpisah
dari segala sesuatu yang bertentangan dengan keseluruhan
karakter Allah itu sendiri.
Ketika manusia pertama jatuh ke dalam dosa, mereka harus
keluar dari Taman Eden; terpisah dari tempat kediaman
Allah yang sebelumnya adalah tempat kediaman manusia
pertama. Akan tetapi, kekudusan Tuhan bukan hanya
kekudusan yang ’memisahkan’ dan menghakimi segala yang
tidak kudus, melainkan juga kekudusan yang menjangkau
manusia yang berdosa
KEKUDUSAN ITU DIDAMBAKAN
Manusia diciptakan menurut gambar dan rupa Allah. (Kejadian
1:26) Dengan demikian karakter Allah, termasuk kekudusan,
harus melekat dalam manusia ciptaan-Nya.2
Kekudusan Tuhan akan termanifestasi sampai ke seluruh
bumi. Karena itulah, hanya setelah Tuhan menciptakan
manusia di hari keenam, Ia dapat melihat bahwa seluruh
ciptaan-Nya, bukan hanya manusia, semua ’sangat baik’ (meod
tov).
Kata ’baik’ di sini memiliki pengertian sifat-sifat
positif, termasuk kebaikan yang abstrak seperti
keindahan (beauty), kedambaan (desirability), dan sifat
menyenangkan (pleasantness).3
Manusia baru di dalam Kristus akan melihat bahwa segala
yang berasal dari Tuhan adalah hal- hal yang kudus: hal
yang baik, indah, menyenangkan, dan didambakan.
Jadi kekudusan tidak lagi hanya bermakna ketiadaan hal
yang buruk. Sebagai orang-orang yang sangat bergantung
kepada Roh Kudus, Insan Pentakosta di dalam proses
pengudusan harus dapat melihat cengkeraman kedagingan
yang semakin melemah secara progresif di dalam hidupnya.
KEKUDUSAN ITU MENULAR
Dalam narasi mandat kultural (Kejadian 1:26-28), Tuhan
memerintahkan manusia untuk bertambah banyak dan
memenuhi bumi. Ini mengimplikasikan beberapa hal.
Pertama, bukan hanya manusia pertama yang menerima
impartasi kekudusan dari Allah, melainkan sebanyak
manusia yang ada dalam skenario hipotetis sebelum
kejatuhan dalam dosa.
Kedua, bukan hanya taman Eden yang dikhamiri oleh
kekudusan Allah, melainkan ’seluruh bumi’. Jelas
terlihat dalam narasi ini bahwa kekudusan Tuhan itu
menular dan ekspansif.
Pola yang sama juga dapat ditemukan dalam penglihatan
Yehezkiel tentang sungai yang mengalir keluar dari Bait
Allah (Yehezkiel 47:1-12; bdk Wahyu 22:1-5). Penglihatan
ini memperlihatkan beberapa indikator terjadinya
ekspansi.
1. Kedalaman air bertambah setiap seribu hasta.
2. Intensitas air yang membesar, dari hanya tetesan (ayat
2) menjadi sebuah sungai (ayat 5).
3. Sungai yang mengalir keluar dari kompleks Bait Allah
sampai menjangkau daerah Timur dan menuju ke Laut Mati.
(ayat 8)
4. Sungai yang mengalir ke Laut Mati membuat air laut
yang asin pekat menjadi tawar (fresh, NIV), sehingga
bersemi banyak bentuk kehidupan di tempat yang
sebelumnya tidak ada kehidupan. (ayat 10,12)
Kekudusan itu menular dan ekspansif! Hal ini mungkin
adalah sebuah paradigma baru di tengah-tengah pemahaman
bahwa dosa itu menular dan ekspansif. Memakai pola qal
wahomer, dapatlah dikatakan: ’Kalau dosa itu menular,
terlebih lagi seharusnya kekudusan’.
Dalam pelayanan-Nya, Yesus sering digambarkan berada
bersama dengan orang yang najis menurut Taurat. Dalam
Lukas 5:12-14 (bdk. Matius 8:1-4; Markus 1:40-45),
dikisahkan bagaimana Yesus berjumpa dengan seorang yang
penuh kusta. Orang tersebut meminta kepada Yesus ’Tuan
dapat mentahirkan aku’ (ayat 12), yang kemudian
diresponi oleh Yesus dengan menjamahnya dan berkata
’jadilah engkau tahir’ (ayat 13). Setelah penyakit kusta
disembuhkan, Yesus meminta kepada orang tersebut:
’persembahkanlah untuk pentahiranmu persembahan seperti
yang diperintahkan Musa’ (ayat 14).
Perhatikan kemunculan tiga kata yang terkait dengan
’tahir’ dalam kisah ini. Ketika Yesus menjamah orang
yang sakit kusta, yang najis menurut Taurat, Ia tidaklah
menjadi najis. Kenajisan kusta itu seolah tidak transfer
kepada Yesus. Sebaliknya, kekudusan Yesus transfer
kepada orang yang sakit kusta itu dan mentahirkannya.
Dalam kitab Imamat pasal 13, orang yang sakit kusta
adalah orang yang najis (lihat ayat 3,8, 15, 22, 25, 27,
44). Tuhan memerintahkan orang yang sepert ini
dikeluarkan dari tempat perkemahan, supaya tempat
perkemahan dimana orang itu berada tidak menjadi najis.
(Bilangan 5:3)
Dalam Perjanjian Lama, orang yang najis bisa menajiskan
orang yang tahir saat bersentuhan. Hal ini tidaklah
terjadi dengan Yesus. Dan ini selayaknya memberikan
paradigma baru dalam memandang kekudusan. Kekudusan itu
menular dan ekspansif.
Sifat menular dan ekspansif ini juga terkandung dalam
hakikat Roh itu sendiri. Kedua kata untuk ’Roh’, baik
ruakh (Ibrani) maupun pneuma (Yunani) memiliki makna
sebagai ’angin/nafas’, yang dapat berhembus dan menyebar
ke suatu tujuan. (Yohanes 3:8)
Dengan demikian, segenap insan Pentakosta diingatkan
untuk menyebar bersama Roh Kudus dan membawa dampak
ilahi atas setiap tempat yang disinggahi.
KEKUDUSAN ITU MENJANGKAU, BUKAN HANYA BERSIFAT PRIBADI
Apabila kekudusan itu bersifat menular dan ekspansif,
then what? Implikasi dari kebenaran ini adalah bahwa
orang yang dikuduskan oleh Roh Kudus haruslah menjangkau
orang lain dan menularkan kekudusan tersebut. Kekudusan
tidak lagi hanya dipandang secara pribadi dalam arti
sempit. Kekudusan bukan hanya sekedar ’yang penting saya
sendiri yang kudus’.
Dalam Imamat 19, dapat diamati apa-apa saja yang Tuhan
harapkan terjadi dengan orang yang menguduskan dirinya.
Pertama-tama, Tuhan berkata:
’Kuduslah kamu, sebab Aku, TUHAN, Allahmu, kudus’
Imamat 19:2
Setelah itu, mulai dari ayat 3, Tuhan memberikan
serangkaian perintah kepada umat Israel. Serangkaian
perintah ini tidak lain adalah konsekuensi atau
implikasi yang harus terjadi bagi orang yang sudah kudus
(ayat 2). Tuhan meminta orang kudus untuk:
• menghormati ibu dan ayah (ayat. 3);
• memperhatikan orang miskin dan orang asing (ayat. 9,
10, 33, 34);
• berlaku adil kepada sesama (ayat. 13);
• bertindak jujur (ayat. 35,36).
• Hal-hal yang diminta Tuhan ini menunjukkan bahwa
kekudusan bukan hanya berdampak secara personal, tapi
lebih dari itu berdampak secara horisontal. Kekudusan
itu menjangkau.
Para ahli Alkitab telah menyadari keberadaan sebuah
transisi dari Imamat 1-16 yang bersifat ritual, ke
Imamat 17-22 yang lebih bersifat etikal dan komunal.
Bagian Imamat 17-22 menggambarkan karakteristik
kehidupan yang berpadanan dengan TUHAN yang kudus;
karakter ilahi ini dapat disebut sebagai keadilan/kebenaran
(justice) dan kasih (love).4
KEKUDUSAN YANG SEMAKIN KUAT DI AKHIR ZAMAN
Gereja Tuhan sekarang ini hidup di akhir zaman, sesuai
ucapan Rasul Petrus dalam Kisah 2:15-21 Apa yang akan
terjadi di akhir zaman terkait dengan kekudusan?
Malaikat Tuhan mewahyukan hal ini kepada Yohanes;
“Lalu ia berkata kepadaku: "Jangan memeteraikan
perkataan-perkataan nubuat dari kitab ini, sebab
waktunya sudah dekat. Barangsiapa yang berbuat jahat,
biarlah ia terus berbuat jahat; barangsiapa yang cemar,
biarlah ia terus cemar; dan barangsiapa yang benar,
biarlah ia terus berbuat kebenaran; barangsiapa yang
kudus, biarlah ia terus menguduskan dirinya!"
Wahyu 22:10-11
Begitu dekatnya kedatangan Tuhan sehingga seolah-olah
orang hanya melanjutkan saja perilakunya yang sekarang.
Daniel juga berbicara tentang orang-orang fasik yang
akan terus hidup dalam kefasikannya (Daniel 12:10);
mereka ini akan menggenapi rencana Tuhan secara negatif.
Hal ini hendaklah dimengerti dalam konteks sempitnya
waktu yang tersedia untuk pertobatan.
Tuhan tentu tidak sedang mendorong orang untuk tetap
dalam kefasikannya, melainkan menyadarkan orang untuk
bertobat dengan memakai gaya bahasa ironis.5
Inilah esensi yang terpenting bagi Gereja Tuhan di akhir
zaman: ’Berjaga-jagalah’. Waktu yang ada terlalu pendek;
jangan sampai terjebak ke dalam lingkaran setan (vicious
cycle) kecemaran. Mereka yang berseru ’Maranata’ (Wahyu
22:20) adalah orang-orang yang tetap berada dan terus
berjuang di jalur pengudusan.
MENGHIDUPI KEKUDUSAN DALAM SEBUAH KESEIMBANGAN
Sebagaimana halnya Tuhan yang Kudus dipahami dalam
paradoks kekudusan (lihat Pengertian Kekudusan),
demikian pula hendaknya Insan Pentakosta hidup dalam
kekudusan yang ber-fase.
1. Allah yang Kudus Terpisah
Ini berpadanan dengan fase pemisahan dalam kehidupan
orang percaya. Dalam fase ini, orang percaya mungkin
masih bayi atau anak-anak rohani. Perlu diberi makanan
rohani yang padat (Ibrani 5:12) dan otot-otot rohaninya
dilatih untuk berperang.
2. Allah yang Kudus Menjangkau yang Tidak Kudus
Ini berpadanan dengan fase penularan. Dalam fase ini,
orang percaya telah menunjukkan trayektori pengudusan
dalam hidupnya dan bertumbuh kerohaniannya menjadi orang
dewasa.
Insan Pentakosta akan menghidupi kekudusan dalam
keseimbangan, yang tidak lain adalah cerminan dari hidup
dan pelayanan Tuhan Yesus sendiri.
APLIKASI UNTUK GENERASI YANG MENYELESAIKAN AMANAT AGUNG
1. Generasi ini Harus Memilih Perbuatan Kudus
Bukan dengan berat hati; bukan dengan gumaman dalam hati
’sebetulnya dosa lebih nikmat sih dari perbuatan kudus’;
bukan dengan paradigma ’kekudusan itu sebenarnya kuno,
tidak cool’. Anak muda memilih perbuatan kudus karena
itulah perbuatan yang baik, indah, menyenangkan dan
didambakan.
2. Generasi ini Harus Melepas Mentalitas yang Melihat
Diri Mereka Sebagai Korban
Yaitu terus menerus meratapi diri sebagai korban keadaan,
korban dosa, dan selalu ada dalam posisi yang ’bertahan’
dalam hal kekudusan. Senjata peperangan rohani kita
tidak hanya defensif, melainkan juga ofensif. Demikian
juga Generasi Yeremia selayaknya mengadopsi mentalitas
yang ofensif dalam hal kekudusan: anak muda pasti
mempengaruhi teman-temannya dengan kekudusan mereka.
3. Generasi ini Harus Menghidupi Kristus
Bukan lagi hanya hidup untuk dirinya sendiri karena
Kristus yang hidup di dalam mereka. (Galatia 2:20)
Kekudusan bukanlah hanya tentang dirinya sendiri kudus,
melainkan tentang jutaan anak-anak muda yang kudus.
4. Generasi ini Perlu Percepatan dalam Pertumbuhan
Rohani
Roh Kudus yang memberdayakan mereka, menjadikan mereka
pasukan yang siap menginvasi dunia dengan kekudusan dan
kingdom worldview. Setiap upaya invasi kerajaan ini
pasti mengandung resiko sehingga perlu dipadankan dengan
imbalan yang hendak didapatkan. [Cara pandang resiko dan
imbalan ini telah dibahas di paper sebelumnya: FAITH &
RISK].
5. Generasi ini Hidup dalam Sebuah Urgensi (Keluaran
12:39)
Time is too short indeed! Pilihan-pilihan dalam hidup
haruslah dipilih dengan kriteria kepentingan Kerajaan
Allah dan urgensi kedatangan Tuhan yang kedua kali. (HT)
______________________________
DAFTAR PUSTAKA
________________________________
1 D.G. Peterson, ’Holiness’ in New Dictionary of
Biblical Theology, Logos.
2 Tercerminnya karakter Allah dalam manusia harus
dipahami dalam keterbatasan. Karakter manusia tidak
mungkin sama sepenuhnya dengan karakter Penciptanya.
Selain itu, berbagai pustaka telogi sistematik bahkan
juga membedakan adanya karakter superlatif Allah yang
tidak ditransfer kepada manusia, seperti misalnya
kemahatahuan, kemahahadiran, dsb.
3 Theological Wordbook of the Old Testament, 793
4 Michael Morales, Who Shall Ascend the Mountain of the
Lord?: A Biblical Theology of the Book of Leviticus, New
Studies in Biblical Theology (Downers Grove, IL: IVP
Academic, 2015), ’Understanding Israel’s call to
holiness (Lev 17-22)’, Olivetree.
5 Craig S. Keener, Revelation, The NIV Application
Commentary (Grand Rapids, MI: Zondervan Academic, 2000),
Rev 22:6-21, Kindle