PENTINGNYA KOMUNITAS ORANG PERCAYA
Salah satu ciri unik dari gereja atau
insan Pentakostal adalah bagaimana kita memandang dan
menjadikan pola kehidupan komunitas orang percaya dalam
Kisah Para Rasul sebagai acuan menjalani kehidupan
rohani dan sosial kita.
Robert P. Menzies, seorang teolog Pentakosta, memberikan
suatu definisi yang komprehensif akan definisi seorang
Pentakostal:
“a Christian who believes that the book of Acts provides
a model for contemporary church and, on this basis,
encourages every believer to experience a baptism in the
spirit (Acts 2:4), understood as an empowering for
mission, distinct from regeneration, that is marked by
speaking in tongues, and affirms that “signs and
wonders,” including all the gifts listed in 1
Corinthians 12:8-10, are to characterize the life of the
church today.”
Terjemahan bebasnya: Seorang Kristen yang percaya bahwa
kitab Kisah Para Rasul menyediakan pola bagi gereja dan
berdasarkan hal ini, mendorong setiap orang percaya
untuk mengalami baptisan Roh (Kisah Para Rasul 2:4),
mengerti hal itu sebagai pemberdayaan untuk misi,
berbeda dengan regenerasi, yang ditandai dengan
berbahasa roh, dan mengakui bahwa “tanda dan mujizat”,
termasuk karunia-karunia yang tertera dalam 1 Korintus
12:8-10 adalah karakter kehidupan gereja hari ini.
Pentakostal memandang kitab Kisah Para Rasul bukan hanya
sebagai kitab sejarah, namun juga sebagai model dan pola
yang dijalani dan dihadapi oleh gereja sepanjang masa,
sampai hari ini. Itulah sebabnya Pentakostal memandang
mutlak:
• perlunya penyertaan Roh Kudus dalam menjalankan apa
yang Tuhan Yesus perintahkan (Kisah Para Rasul 1:8),
• adanya pengajaran-pengajaran Alkitabiah yang
mengajarkan dengan baik tentang Roh Kudus/pneumatologi
dan tentang Yesus Kristus/kristologi,
• adanya komunitas orang percaya yang dipenuhi oleh Roh
Kudus
Kisah Para Rasul 2:42 TB2, “Mereka bertekun dalam
pengajaran rasul-rasul, dalam persekutuan, dalam
memecahkan roti dan berdoa.”.
Ketiga pilar kemutlakkan ini disebut sebagai konsep
paradigma pentakosta:
• Holy Spirit,
• Holy Community dan
• Holy Scripture.
Bagi insan Pentakostal, perintah Tuhan Yesus untuk
melakukan Amanat Agung (Matius 28:19-20) adalah penting
dan pelaksanaannya dilakukan dalam bentuk dan melalui
komunitas-komunitas orang percaya yang dipenuhi oleh Roh
Kudus. Dalam perkembangannya, komunitas-komunitas orang
percaya ini pun menjadi wadah penginjilan, yaitu di mana
ketika seorang yang belum percaya hadir di dalamnya,
orang tersebut pun merasakan langsung hadirat Tuhan dan
pintu pewartaaan Injil terbuka baginya untuk
diperdengarkan. (1 Korintus 14)
Sayangnya, pemahaman yang lemah akan konsep persekutuan
atau komunitas orang percaya (“koinonia”), akan
mendorong orang memandang hal tersebut hanyalah sebagai
suatu wadah yang dibentuk oleh manusia, dan bukannya
lahir dari Roh Kudus. Pemahaman yang lemah ini berbeda
dengan naratif dalam Kisah Para Rasul di mana jelas
bahwa koinonia lahir dari Roh Kudus. Bukan Gereja yang
memberi identitas kepada jemaat, tetapi Roh Kudus-lah
yang memberi identitas kepada jemaat dengan mendirikan
komunitas orang percaya atau koinonia. Jika jemaat
mengira bahwa merekalah yang mendirikan atau melahirkan
komunitas maka itu akan menjadikan komunitas tersebut
sebagai organisasi manusiawi belaka. Roh Kudus
mencurahkan kuasa-Nya kepada koinonia orang percaya, dan
koinonia itu mendapatkan identitas mereka sebagai
murid-murid Kristus. Perhatikanlah apa yang ditulis
dalam Kisah Para Rasul 11:26 TB2, “… Di Antiokhialah
murid-murid itu untuk pertama kalinya disebut Kristen.”
Ada efek yang negatif dari dikesampingkannya penekanan
pentingnya berkomunitas. Aktifitas-aktifitas gereja
menjadi lebih diprioritaskan yang berskala besar,
berpusat hanya pada kegiatan Gereja dan bukannya pada
pertumbuhan rohani anggota Gereja, kelas-kelas
pembelajaran Alkitab tidak berkelanjutan kepada
komunitas.
Akibat lain dari kurangnya pemahaman ini, bahkan banyak
yang mengklaim sebagai insan Pentakostal malah
mempertanyakan keabsahan penggunaan bahasa Roh sebagai
ekspresi penyembahan dan pembangunan iman dan dirinya.
Itulah yang terjadi dalam narasi Kisah Para Rasul yang
seharusnya menjadi identitas Pentakostal, yaitu
orang-orang yang mengalami baptisan Roh Kudus dengan
tanda awal berbahasa roh dan menyembah dalam roh.
Mengapa hal-hal seperti itu terjadi, adalah karena makna
esensial dari berkomunitas dikesampingkan, sehingga
dengan sendirinya terjadilah kelemahan-kelemahan
tersebut. Sesungguhnya, komunitas orang percaya --yang
dalam GBI Jl.Jend.Gatot Subroto, Jakarta dikenal sebagai
COOL “Community of Love”-- adalah penting bagi Tuhan dan
penting bagi orang percaya, yaitu:
1. Dengan Berkomunitas, Kita Sedang Hidup Dalam Gambar
Allah
Kejadian 1:26-27 menjelaskan bahwa Allah Tritunggal
menciptakan manusia menurut rupa dan gambar-Nya; Imago
Dei. Oleh karena manusia diciptakan menurut rupa dan
gambar Allah, maka banyak hal dari aspek manusia
mencerminkan keberadaan Allah Tritunggal itu sendiri,
salah satunya manusia diciptakan dengan suatu kehausan
untuk memiliki komunitas dan tidak hidup dalam
kesendirian, yang merupakan bagian dari citra Allah itu
sendiri yaitu Tritunggal.
Bapa, Anak dan Roh Kudus adalah satu dalam ikatan yang
sangat erat dalam kasih, tujuan umum dan sifat.
Tritunggal (atau Trinitas) ini memiliki persekutuan dan
hubungan yang erat; a holy community of love.
Persekutuan yang erat ini juga dimasukkan ke dalam
manusia, sehingga dorongan untuk memiliki teman, sahabat,
rekan, pasangan hidup, keluarga dan koinonia menjadi
sesuatu yang normal dan naluriah dalam diri manusia.
Itulah sebabnya Allah memandang tidak baik seorang
manusia hidup sendiri saja dan kemudian memberikan
kepadanya penolong yang sepadan. Jadi kehidupan manusia
sebagai ciptaan Allah tidak dapat dikatakan lengkap jika
manusia hanya menjalankannya sendirian; manusia
membutuhkan komunitas.
Hubungan yang mengikat yang sehat akan selalu melibatkan
tiga pihak: Allah, diri kita sendiri dan dan sesama kita.
Hubungan tiga arah ini tidak lain mencerminkan Allah
Tritunggal itu sendiri. Kita diciptakan Allah dalam
kasih dan persekutuan, kita juga harus menjadi manusia
yang mengasihi dan selalu rindu bersekutu, apalagi
sebagai insan yang telah diselamatkan oleh darah Kristus
dan menerima baptisan Roh Kudus.
2. Komunitas adalah Wahananya Tuhan
Tuhan menyatakan diri-Nya, mencurahkan berkat,
menyatakan kehendak-Nya dan menuntaskan rencana-Nya
melalui komunitas orang percaya.
Narasi yang secara konsisten Tuhan tunjukkan dari
Kejadian sampai Wahyu adalah bahwa Ia selalu menggunakan
berbagai macam bentuk komunitas orang percaya, mulai
dari suami-istri hingga bangsa, untuk menyatakan
diri-Nya (Matius 18:20, bdk. Keluaran 19:17),
mencurahkan berkat-Nya (Mazmur 133), menyatakan
kehendak-Nya (Yohanes 17:7-10) dan menuntaskan
rencana-Nya (Yohanes 17:12; Kisah Para Rasul 4:31).
Dalam Matius 18:19 bahkan menyatakan dengan gamblang
jaminan jawaban Tuhan atas doa yang dinaikkan oleh
“komunitas” orang percaya.
Kehadiran Roh Kudus di dalam komunitas orang percaya
akan meningkatkan iman dan memberi hikmat kepada
orang-orang percaya yang hadir, termasuk menjadi alat
penginjilan yang ampuh kepada jiwa-jiwa yang baru datang
bergabung.
Joel Comiskey mengatakan,
“Without Christ’s presence, the cell group is no
different from a work party, a family gathering or
meeting of friends at football game. Even if
non-Christians are in attendence, Christ’s presence is
often what the non-Christian really wants. Nonbelievers
who attend a small group frequently want to know and
experience the reality of God. Some have called this
worship evangelism.”
Terjemahan bebas: tanpa hadirat Kristus, komunitas sel
tidak ada bedanya dengan pesta, pertemuan keluarga, atau
bertemu teman di acara olahraga. Sekalipun ada orang
yang belum percaya hadir di komunitas sel secara reguler,
ia ingin mengetahui dan merasakan hadirat Tuhan.
Beberapa orang mengatakan ini adalah penginjilan melalui
penyembahan). Komunitas orang percaya adalah wadah yang
Allah gunakan dengan luar biasa.
3. Komunitas Adalah Wadah Pemuridan
Tuhan Yesus mendewasakan (“memuridkan”) murid-murid-Nya
melalui komunitas orang percaya.
Yesus memulai pelayanan-Nya dengan pertama-tama merekrut
murid-murid-Nya dan membentuk komunitas “sel”. (Markus
1:16-20)
Yesus mengajar kepada kelompok pendengar berukuran besar,
namun memberi waktu interaktif yang lebih banyak dan
intens dengan komunitas kecil yang terdiri dari
rasul-rasul-Nya ini. Interaksi sosial yang intensional
terjadi antara Yesus dengan murid-murid-Nya dan juga
diantara para murid itu sendiri.
Pola pelayanan Yesus dan murid-murid-Nya pun bersifat
house-to-house (Matius 8:14; 9:10, 28-30; 26:6,18;
Markus 5:35-38; 7:17-18; Lukas 5:19; 9:1-9; 10:1-11,
38-42; 14:1; 19:1-10) yang nantinya mengerucut kepada
pola pelayanan komunitas sel, yang di GBI Jl. Jend.
Gatot Subroto, Jakarta, dikenal sebagai “COOL-Community
of Love.”
Setelah pencurahan Roh Kudus, pola pelayanan Yesus dan
murid-murid-Nya pun diteruskan oleh para rasul sehingga
akhirnya para rasul ini menghasilkan generasi
murid-murid berikutnya, seperti Paulus. Paulus pun
mengerti dengan baik pentingnya komunitas orang percaya
ini bagi kelangsungan hidup gereja dan pertumbuhan
pribadi-rohani jemaat, sebagaimana diungkap di Efesus
4:11-16.
Menyikapi fakta-fakta di atas, maka penting bagi kita
sebagai insan Pentakosta untuk memastikan diri kita ada
di dalam komunitas orang percaya (“komunitas sel”).
Berada dalam komunitas percaya bukanlah sekedar
mengikuti aktifitas dalam Gereja, tetapi penting bagi
Tuhan dan perjalanan rohani kita. Bergabunglah dan
bertumbuhlah dalam komunitas orang percaya. (CS)