PEREMPUAN BERHARGA DI MATA TUHAN
Kebanyakan orang jika diminta untuk menggambarkan sosok
Tuhan, gambarnya selalu LAKI-LAKI. Bukan PEREMPUAN.
Sosok Tuhan dengan maskulinitas seperti seorang bapa
sedang tersenyum jika kita melakukan perbuatan terpuji
atau menaruh tangan-Nya di pinggang sambil merengutkan
dahi-Nya dengan mata yang marah. Jarang sekali sosok-Nya
digambarkan sebagai seorang Ibu yang sedang menaruh
kepedulian atau memelihara anak-anaknya.
TUHAN TIDAK BERGENDER
Tuhan bukan ‘laki-laki’ atau ‘perempuan’. Dia adalah Roh
(Yohanes 4:24). Dia tidak bergender. Namun dalam
penulisan Alkitab didasarkan pada budaya bangsa Israel
yang patriakhal, Tuhan digambarkan sebagai laki-laki.
Tuhan digambarkan sebagai raja bukan ratu, sebagai Bapak
bukan Ibu.
Tuhan pun memilih terminologi maskulin ketika Ia
mengekspresikan diri-Nya. Bahkan Yesus melambangkan
gereja-Nya sebagai mempelai wanita dan Dia sebagai
mempelai pria. Tujuannya adalah untuk menunjukkan bahwa
Israel menyembah Allah yang berbeda dengan bangsa-bangsa
lain di sekeliling mereka, yaitu Allah yang benar, Allah
yang memberikan pemeliharaan dan pembelaan dengan
tangan-Nya yang kuat. Kebudayaan pagan sekitar Israel
saat itu kebanyakan melambangkan sosok ilahi yang
disembah; dewi-dewi. (“Is God Male?” oleh Chad Owen
Brand, - Apologetics Study Bible HCSB hal 1209)
Iman dasar kekristenan mempercayai bahwa Yesus itu
adalah putera (son) dari Allah (Bapa). Ini juga
mengandung makna maskulinitas. Namun demikian Tuhan juga
digambarkan sebagai seorang ibu (Mazmur 131:2; Matius
23:37). Tuhan juga tidak pilih kasih. Tuhan menyatakan
kasih seperti seorang ibu yang merasakan sakit bersalin
(Yesaya 66:12-13; Yesaya 42:14).
Implikasi dari semua penulisan mengenai Tuhan di atas,
bukan berarti Tuhan membedakan nilai-nilai, hak, dan
martabat antara laki-laki dan perempuan. Perempuan bukan
masyarakat kelas dua di hadapan Tuhan. Kita semua sama
di hadapan Tuhan sebagai pembawa gambaran-Nya. Demikian
juga dalam gereja dan pelayanan. (Kejadian 1:27-28;
Galatia 3:28)
TUHAN MEMBERI TEMPAT KEPADA PEREMPUAN DALAM GEREJA
Banyak contoh dalam Alkitab yang menunjukkan perempuan
diberikan penghormatan, dipercayakan menjadi pimpinan,
mengajar, bahkan bernubuat. Yesus dalam pelayanan-Nya
juga menghilangkan diskriminasi terhadap kaum perempuan
dan penyalahgunaan otoritas oleh laki-laki. Hal ini
banyak tidak diketahui oleh kaum perempuan masa kini.
Dia menuntun mereka untuk menemukan kehidupan kekal. Dia
bersahabat dengan Martha, menyuruh Maria Magdalena untuk
memberitakan injil setelah ia dibebaskan dari 7 roh
jahat. Yesus juga memuji perbuatan perempuan yang
mengurapi kaki-Nya dan Yesus bahkan menyelamatkan hidup
seorang pelacur dari hukum rajam (Yohanes 8:11).
(“Defending Feminity, Why Jesus is good news for women”
- Sean Mc. Dowell Phd, Apologetics for A New Generation,
hal 226)
Gereja kita pun konsisten mengikuti apa yang Tuhan
ajarkan; perempuan dapat diangkat sebagai gembala, guru
KOM, Worship Leader, Pengkhotbah, Gembala COOL dan
sebagainya.
Rasul Paulus juga mendukung para perempuan untuk
bernubuat (1 Korintus 11:5), memakai penutup kepala
sebagai lambang kehormatan saat zaman itu.
Lalu bagaimana dengan ayat 1 Timotius 2:9-15 di mana
sepertinya perempuan harus berdiam diri, tidak boleh
mengajar, tidak boleh berdandan dengan memakai perhiasan
yang mahal-mahal? Sekali lagi hal ini bukan dimaksudkan
untuk merendahkan martabat atau status dari perempuan.
Paulus pada saat itu sedang menangani masalah dalam
jemaat Efesus, di mana kaum perempuannya sedang dilanda
ajaran sesat, di mana perempuan mendominasi, mengambil
alih otoritas sehingga merusak tatanan struktur yang
Tuhan kenan. Ini pengaruh dari budaya paganisme setempat.
Pada zaman itu Efesus memiliki kuil terbesar dewi
Artemis (dewi kesuburan). Banyak dari kalangan perempuan
elit yang melayani jemaat saat itu dihormati dan
dianggap sebagai dewi. Banyak dari mereka yang
mengajarkan ajaran-ajaran sesat. (“The Bible Handbook of
Difficult Verses”, Josh and Sean Mc. Dowell Phd, hal
272-273). Jika Paulus melarang perempuan untuk mengajar,
maka tidaklah mungkin dia menyebut Euodia dan Sintikhe,
perempuan yang berjuang dalam pekabaran injil bersama.
Paulus. (Filipi 4:2-3)
Paulus juga menghormati dan memperhitungkan jerih payah
Febe, seorang perempuan yang bertugas sebagai diakones
jemaat di Roma. (Roma 16:1-2)
INJIL MENGHORMATI HAK-HAK PEREMPUAN
Jadi kekristenan sebenarnya membawa kabar sukacita
kepada kaum perempuan dan merubah pola pikir laki-laki
yang menganggap dirinya lebih superior. Negara-negara
yang mengeksploitasi perempuan umumnya adalah yang
membatasi penginjilan atau sedikit terpapar oleh injil
(“Does the Bible Demean women?”, Sharon James,
Apologetics Study Bible HCSB hal 730).
Lihatlah Korea Utara, Afganistan, Siria; tentu lebih
banyak lagi eksploitasi terhadap kaum perempuan di
negara-negara tersebut. Kita di Indonesia perlu terus
berdoa dan berupaya, karena belum adanya undang-undang
Penghapusan Kekerasan Seksual (PKS) yang spesifik
mendefinisikan tindakan-tindakan kekerasan dan pelecehan
seksual dan yang mengharuskan adanya pemulihan dari si
korban, terutama perempuan.
AKIBAT SALAH MEMAHAMI POSISI TUHAN TERHADAP GENDER
Mengapa perlu mengetahui bahwa Tuhan itu bukan hanya
sebagai bapa tetapi juga seperti ibu dan bahwa Dia
sahabat kaum perempuan, adalah penting buat gereja-Nya?
Sebab banyak kaum perempuan merasa direndahkan. Mereka
merasa tidak mempunyai nilai dalam kehidupan sosial dan
rohani, sehingga banyak yang karunianya tidak dipakai/terabaikan
untuk membangun kerajaan Allah.
Sebagian lagi mungkin menganggap Alkitab itu salah
isinya dan jadinya tidak mau menaati otoritas firman
Tuhan lagi. Bahkan ada yang mengikuti gerakan feminisme
dan merasa bahwa perempuan lebih berkuasa dari laki-laki.
Atau memilih diam sama sekali, dengan kepahitan di
hatinya. Banyak juga yang tidak bisa mendekat kepada
Tuhan karena mengalami trauma oleh ayahnya yang sering
menganiaya atau melakukan pelecehan seksual, sehingga
kehilangan figur bapa yang baik. Tidak heran banyak yang
sukar memanggil Allah sebagai ‘Bapa’ dalam doa, karena
mengalami figur laki-laki/ayah/bapa yang tidak baik
dalam hidupnya.
ANGGAPAN SALAH SEBAGAI PENYEBAB KONFLIK
Ada beberapa anggapan yang salah sehingga menyebabkan
para perempuan merasa rendah diri, berkonflik dengan
para pria, bahkan menganggap diri mereka sebagai
masyarakat kelas dua di hadapan Tuhan. Kita perlu
mengoreksi anggapan tersebut dengan mencermatinya sesuai
firman Tuhan.
Anggapan-anggapan yang salah antara lain sebagai berikut:
1. Kesetaraan Berarti Serupa
Kesetaraan bukan berarti serupa dalam fungsi, tugas dan
kewajiban. Hal ini bisa kita pahami dari firman Tuhan
yang menggambarkan ketritunggalan Allah. Secara esensi,
tiga pribadi ini adalah Allah sendiri, namun dalam
menjalankan fungsinya masing-masing; Allah Bapa, Anak/Putera,
dan Roh Kudus mempunyai tugas dan fungsi yang berbeda.
Dalam karya keselamatan Bapa berfungsi untuk
merencanakan keselamatan, Anak (Kristus) melaksanakannya
melalui salib dan kebangkitan-Nya, dan Roh Kudus
mewujudkannya dengan memberikan kelahiran baru (bahan
ajar diklat Pdp “ROH KUDUS” oleh Pdt Rubin Adi Abraham).
Demikian juga mengenai kesetaraan laki-laki dan
perempuan: meskipun memiliki hak-hak sama sebagai
pembawa gambaran Allah seperti hak untuk hidup,
menikmati hasil kerja dan didengarkan, adalah hak-hak
yang wajib untuk diperjuangkan, namun seorang perempuan
dalam fungsi dan kewajibannya tetap tidak serupa dengan
laki-laki, khususnya dalam pernikahan.
Laki-laki dengan kekuatan maskulinnya sebagai KEPALA
berkewajiban memenuhi kebutuhan keluarga dan memberi
perlindungan. Perempuan dengan karunia lemah lembutnya
adalah PENOLONG yang memelihara keluarganya dan membantu
mewujudkan rencana keluarga.
2. Penundukan Diri adalah Tanda Nilai Status yang Lebih
Rendah
Umumnya dunia mengajar bahwa orang yang tunduk kepada
otoritas lebih tinggi artinya orang tersebut punya nilai
status lebih rendah. Nyatanya tidak selalu demikian.
Penundukan diri bisa berupa bentuk ekspresi ketaatan dan
penghormatan. Yesus tunduk perintah Bapa, meskipun Dia
sama derajatnya dengan Bapa. Dia taat sampai mati di
kayu salib (Lukas 22:42). Penundukan diri-Nya adalah
suatu kemuliaan di hadapan Allah. Perempuan/istri
sebagai penolong laki-laki/suami bukan berarti lebih
rendah derajatnya di hadapan Allah. Justru mereka
penolong yang sepadan dan melengkapi gambaran Allah yang
utuh.
3. Perempuan Bernilai Hanya jika Mempunyai Status
Jabatan yang Sama dengan Laki-laki
Pandangan ini berlawanan dengan Amsal 31:10 dan 29. Di
sini kita melihat seorang ibu rumah tangga yang Tuhan
beri kehormatan tinggi. Sekalipun jabatan ibu rumah
tangga, mereka tetap mempunyai nilai yang hakiki di
hadapan Tuhan (lihat KOM 230.7 hal 191). Ini sejalan
dengan prinsip Tuhan mempercayakan perempuan untuk
melakukan pelayanan dalam tubuh-Nya.
Pandangan yang salah bisa membuat kaum perempuan merasa
didiskriminasi dan terkucilkan sehingga talenta yang
dimilikinya untuk membangun tubuh Kristus tidak
tergunakan maksimal. Perempuan bukanlah masyarakat kelas
dua; mereka berperan sebagai penolong dan bersama-sama
dengan laki-laki mempunyai nilai martabat yang sama di
hadapan Tuhan. (RL)
____________________
Sumber:
1. Alkitab Penuntun Hidup Berkelimpahan (APHB)
2. The Apologetic Study Bible, HCSB
3. Apologetics for A New Generation, Sean Mc.Dowell
4. The Bible Handbook of Difficult Verses, Josh and Sean
Mc.Dowell
5. https://www.instagram.com/tv/CGFd4xRH4v7/
https://www.youtube.com/watch?v=Rg2Sh4T6VrQ&t=807s