Shalom..., Selamat Datang di GBI House Of Grace ~ Rayon 3

Renungan

RUMAH TUHAN DIAKHIR ZAMAN

Sudah sering kita dengar di tahun-tahun belakangan ini mengenai sebuah pernyataan “Aku datang segera”. Kalimat yang diucapkan Tuhan Yesus ini ditulis dalam kitab Wahyu 3:11, yang menyatakan sebuah janji kedatanganNya untuk menjemput umat yang senantiasa merindukan dan menantikan Sang Mempelai Pria. Memasuki tahun baru Yahudi 5772, yang sering disebut dengan dua angka terakhir yaitu A’in Beit [72], kita kembali disadarkan mengenai betapa Tuhan Yesus sangat merindukan kita semua menjadi rumah kediamanNya.  

Dalam bahasa Yunani, kata “rumah” disebut sebagai oikos, sebuah kata yang juga menjadi dasar pembentukan kata “ekonomi” [oikos dan nomos-pengaturan]. Kata oikos lebih banyak digunakan sebagai padanan kata “rumah”, termasuk di dalamnya “rumah kediaman”, atau “rumah tangga”, atau “rumah tinggal sehari-hari”. Termin ini mengacu pada kehidupan harian kita, yang senantiasa ditujukan untuk menjadi “tempat lokasi” terjadinya sebuah interaksi yang sederhana, lugas, dan intim dengan Sang Raja. Sebuah makna yang begitu erat dan mesra, seperti yang ditegaskan dalam kitab Ibrani 3:6,” … dan rumahNya ialah kita,…”.  Pola hubungan dan keteraturan interaksi merupakan substansi yang kental dalam konteks kata “rumah”. Mengacu pada kutipan tersebut, kita percaya bahwa maksud Tuhan dalam aspek jasmani kehidupan kita pun telah termaktub didalamnya.  

Mengutip firman Tuhan di 1 Korintus 3:17, juga dengan jelas dinyatakan bahwa [tubuh] kita adalah bait Roh Kudus. Dalam beberapa bagian di Alkitab PB kata “bait” [temple-Inggris atau beit -Ibrani], didasarkan pada dua kata bahasa Yunani yaitu hieron dan naos. Kata hieron kerap dipadankan dengan bangunan fisik Bait Suci sebagai tempat ibadah di Yerusalem ataupun di tempat lain dimana pun. Sedangkan kata naos dipadankan dengan bait dalam arti tubuh kehidupan jasmani kita, seperti halnya yang tertera dalam 2 Tesalonika 2:4[1]. bahkan dalam beberapa frasa di Alkitab, kita dengan segera dapat menemukan bahwa Tuhan Yesus mengidentikkan jemaatNya sebagai tubuhNya sendiri. Saat Ia menegur Saulus[2] dalam Kisah 9:4, Tuhan Yesus juga mengidentikkan aniaya atas umatnya [gerejaNya] sebagai aniaya atas diriNya sendiri. Dalam kutipan perikop “Penghakiman Terakhir” di Matius 25:31-46, disebutkan bahwa tindakan memberi makan, minum, pakaian, tumpangan, dan pelawatan atas orang sakit, serta visitasi pada orang dipenjara; justru diidentikkan dengan perbuatan yang dilakukan kepada Tuhan Yesus sendiri. Keterkaitan yang sangat jelas ini, mengingatkan kita bahwa kehidupan kita dan perilaku kita merupakan hal yang tak dapat dipisahkan dengan diri pribadi dan pergerakan Kristus Tuhan kita.  

Bahasan tersebut sangat selaras dengan nats dalam 1 Korintus 6:19-20, bahwa tubuh kita bukan milik kita, akan tetapi telah menjadi milik Kristus. Dengan demikian kita [sebagai pribadi maupun komunitas tubuh Kristus], memiliki tanggungjawab untuk memuliakan Allah dengan tubuh kita ! Konsekuensi lanjut adalah bawa sebagai sebuah lembaga spiritual, gereja [yang diambil dari kata ekklesia, yang kemudian diperkenalkan di Indonesia dengan kata igreja] memiliki sebuah peran penting, tidak hanya dalam hal spiritual tapi juga dalam peran sosial. Destinasi gereja yang ditetapkan sebagai kelompok yang dipanggil keluar [ekklesia] harus tetap menjadi karakteristik dan ciri utama yang berkibar. Gereja [baca: rumah Tuhan] di akhir jaman, adalah laksana mempelai yang bersiap diri, tidak hanya untuk menyelesaikan Amanat Agung Tuhan Yesus, tetapi juga mempersiapkan dirinya untuk tampil kudus dan tak bercacat menjelang kedatangan mempelai Pria. 

Kita memahami bahwa ada dua elemen utama dalam gelombang di waktu akhir adalah  [1] menjadi terang dan garam bagi dunia, serta [2] tetap mengerjakan keselamatan menuju pendewasaan rohani yang berkelanjutan. Secara tegas kedua hal tersebut tak dapat digantikan satu sama lain. Gerakan syi’ar kabar baik, tidak serta merta menjadi sebuah pemakluman untuk kemerosotan rohani pribadi umat Tuhan. Rumah Tuhan dicatat oleh 1 Petrus 4:17, sebagai lokasi pertama, yang menjadi awal berjalannya penghakiman. Dengan hal ini, kita harus dengan berhati-hati memahami bahwa gereja Tuhan, justru akan mengalami pembersihan pertama kali, dengan maksud agar pembuahan dapat berjalan baik. 

Bukanlah sebuah hal yang tepat, jika ada orang berpendapat bahwa selama pemercaya tetap rajin dan aktif dalam pelayanan dan kegiatan rohani, maka Tuhan sekiranya tetap akan “menyesuaikan” upahnya; sekalipun tabiatnya secara rohani masih cenderung duniawi. Fokus utama dari Rumah Tuhan di akhir jaman adalah kehidupan kita sebagai pelayan dan umat Tuhan dengan kualitas rohani yang berciri buah pertobatan yang lebat dalam hidup kita. Singkat kata memuliakan Allah dengan tubuh kita.   

Dalam kitab Efesus 4:17-32, yang diberi titel perikop oleh LAI sebagai “Manusia Baru”, telah tertera beberapa ciri buah fondasi kekristenan yang merupakan buah dari pertobatan. Dengan adanya uraian yang cermat dari Paulus, kita mulai dapat mengenal pertumbuhan rohani kita, bahkan sejak awal pertobatan kita. Efesus 4:17-32 mencatat tujuh hal yang merupakan ciri dasar seseorang yang telah menerima keselamatan dan bertumbuh baik di dalamnya, yaitu :

  1. membuang dusta,
  2. mengendalikan kemarahan sehingga tidak berdosa karenanya,
  3. berhenti mencuri,
  4. tidak berkata kotor,
  5. tidak mendukakan Roh Kudus,
  6. membuang segala kepahitan, kegeraman, kemarahan, pertikaian, fitnah, dan segala kejahatan [jenis dosa yang timbul karena adanya relasi interaksi dengan orang lain]
  7. bersikap ramah, penuh kasih mesra, dan mengampuni [perilaku yang merupakan sikap keputusan dari diri pribadi].

 

Ketujuh hal tersebut adalah ciri awal manusia baru, dan merupakan ciri paling mendasar dalam kekristenan. Tentu saja para pembaca yang budiman, harus membedakan dengan jeli ciri di atas, dengan ciri-ciri sebuah karunia. Buah jenis Efesus 4, memerlukan sebuah proses panjang akan tetapi dengan pertumbuhan yang pasti. Di beberapa tempat, ketiadaan ciri ini dianggap sebagai sebuah kelemahan manusia yang dengan mudah dapat diterima dan dimaklumi, tanpa sebuah dorongan, nasihat, teguran, dan arahan untuk proses perbaikan yang berkelanjutan.  

Sejatinya, justru kegagalan dalam sebuah kegiatan program sekiranya lebih erat kaitannya pada kelemahan manusia, dan bukan sebaliknya. Di banyak kasus, kegagalan dalam sebuah kegiatan diidentikkan dengan ketiadaan pembuahan dan hubungan erat dengan Tuhan. Padahal seharusnya ketiadaan buah pertobatan justru sangat erat kaitannya dengan lemahnya hubungan dengan Sang Sumber. Pergeseran keyakinan ini akan membawa Rumah Tuhan yang sejati, memasuki kembali era agamawi, sehingga peringatan dalam Matius 7:21 : “Bukan setiap orang yang berseru kepadaKu : Tuhan, Tuhan ! Akan masuk ke dalam Kerajaan Sorga …”; menjadi sebuah peringatan yang serius. Hanya dengan memperhatikan firmanNya kita sebagai pelayan dan umatNya dapat hidup selaras dengan kerinduanNya menjadikan kita Rumah KediamanNya. Memperhatikan firman Tuhan dikatakan lebih baik daripada korban sembelihan [baca: 1 Samuel 15:22], bahkan kitab Yesaya 48:18-19, menulis bahwa memperhatikan perintah-perintah Tuhan merupakan hal yang sangat utama dalam kehidupan ini.  

Perbuatan baik jenis apapun diyakini bukanlah merupakan syarat untuk diperolehnya keselamatan kekal. Itulah sebabnya mengapa keselamatan dikenal sebagai “Anugrah”. Akan tetapi, buah pertobatan merupakan sebuah bukti, bahwa kita tinggal dan terikat secara teguh pada keselamatan tersebut. Sebagai contoh, tak seorangpun di muka bumi dapat menumbuhkan buah pisang atau mangga. Sesuatu yang dapat kita lakukan sebagai sumbangsih untuk sebuah pembuahan yang baik adalah dengan melakukan penggemburan tanah, pemupukan, penyiraman, penyiangan rumput lalang, dan menjaganya dengan teliti. Demikian halnya dengan buah pertobatan, kita tidak pernah mampu untuk menumbuhkanya, karena hanya Tuhanlah yang sanggup memberi pertumbuhan. Dari buah pisang atau mangga yang muncul, kita akan mengetahui seperti apa keterkaitan tanaman tersebut dengan tanah yang diatasnya pohon tersebut berdiri. Setiap gangguan dalam pembuahan, dapat ditengarai sebagai akibat dari gangguan pada akar pohon dan kesuburan tanah. Demikian pula, ketiadaan buah pertobatan, ditengarai akibat gagalnya akar iman

Ke-7 Prinsip Efesus [buah pertobatan] ini, merupakan karakteristik dasar pribadi yang telah menerima keselamatan, dan ini merupakan hal dasar yang seyogyanya ada dalam Rumah Tuhan. Beberapa pendapat bahwa di akhir jaman ini kita harus sedikit menutup mata dengan mengatakan istilah : “Lalang tumbuh bersama gandum”, bukanlah sebuah hal yang dapat diterima dan lebih merupakan penghindaran tanggungjawab. Pertanyaan berikutnya muncul, bagaimana gereja dapat melakukan bagiannya atas proses pembuahan tersebut secara tepat guna dan berhasil guna? Kita harus kembali memperhatikan apa yang disampaikan oleh Tuhan Yesus sendiri dalam kitab Markus 11:17 : “RumahKu akan disebut rumah doa bagi segala bangsa”. Banyak pihak telah menyatakan bahwa doa laksana nafas hidup, yang tak dapat dipisahkan dari hidup kristen. Doa merupakan sebuah cara yang paling efektif untuk munculnya buah pertobatan. Tentu saja, kegerakan doa diawali bukan oleh manusia, akan tetapi oleh karya Roh Kudus.  

Gereja sebagai perpanjangan tangan Tuhan di muka bumi, memiliki tanggungjawab untuk [1] memfasilitasi pola kehidupan doa yang rutin dan efektif dan [2] menjaga agar kehidupan bergereja senantiasa diarahkan pada munculnya bukti buah pertobatan yang terus menerus. Kita sadar tidak ada orang bisa memaksa orang lain berdoa, tetapi kegiatan doa yang diadakan di tengah minggu atau di waktu lain secara rutin, membuka peluang umat Tuhan untuk melakukan doa secara korporat. Hal ini dikarenakan pada beberapa orang, melakukan doa secara individu masih merupakan sebuah tantangan yang besar. Rumah Doa Segala Bangsa mengacu pada suatu hubungan dan kebersamaan tanpa memandang latar belakang dalam kegerakan doa yang utuh dan sepakat. Itulah sebabnya disebut sebagai “rumah”, tempat keluarga diterima apa adanya dengan tangan terbukla, tanpa percideraan dan sangkaan. 

Setiap kegerakan yang dilahirkan dari doa, akan serta merta mementahkan setiap program manusia yang masuk sebagai pionir. Gerakan Tuhan merupakan inisiator sedangkan program manusia adalah penerapan fisik di dunia jasmani yang berhubungan langsung dengan dunia, oleh karenanya posisinya harus dinomorduakan. Program manusia seharusnya tidak mendahului kegerakan Tuhan. Tuhan Yesus sendiri pernah berkata dalam kitab Yohanes 5:19 bahwa semua yang dikerjakanNya adalah mencontoh apa yang Bapa kerjakan. Kegiatannya menyembuhkan orang sakit, melepaskan orang yang ditawan kuasa gelap, membangkitkan orang mati, memberi makan banyak orang; adalah sebuah kegiatan rutin yang embrionya berasal dari Bapa. Dengan demikian tidak satu pun pekerjaan itu berasal dari diriNya sendiri. 

Penghindaran akan gerakan doa dan hadirat Tuhan, sangat berisiko untuk terjadinya kemerosotan moral dan pertumbuhan buah pertobatan yang tersendat dalam rumah Tuhan. Perhatikan bagaimana Alkitab mencatat, bahwa kemorosotan wibawa pemerintahan Saul, sedikit banyak diakibatkan karena tidak memelihara tabut Allah dengan semestinya [1 Tawarikh 13:3]. Tabut bisa ditafsirkan sebagai simbol kehadiran Tuhan, sesuatu yang sangat penting dalam kehidupan orang Israel hari itu, bahkan juga bagi kita saat ini. Pembangunan Rumah Tuhan dalam arti rohani kehidupan kita, tidak dapat dipisahkan dari bagaimana kita harus terus menerus ada dalam hadiratNya.   

Kesibukan dunia dan daya tarik dunia yang kian mempesona, telah cukup banyak menyita waktu kita -sebagai pelayan dan umat Tuhan- untuk mengurangi waktu kita berinteraksi dalam rumah kediaman Tuhan. Risiko terbesar adalah digantikannya jam-jam rumah doa dengan kegiatan-kegiatan kerohanian, bahkan mungkin dengan penginjilan. Kelelahan, kesibukan, dan beban yang tak seharusnya; mulai akan terakumulasi dan membuat kita melupakan ciri pertumbuhan awal dari kekristenan kita yaitu 7 Prinsip Efesus. Karakter sebagai bukti buah pertobatan, dengan cepat digantikan statusnya dengan karsa, karya, dan kegiatan. Keduanya tidak saling meniadakan, justru keduanya ada untuk saling menopang. Suatu kesalahan besar, jika kita menganggap bahwa karya pelayanan jauh lebih penting dari buah pertobatan. Keduanya berjalan beriringan dan bergandengan tangan.  

Di lain pihak sedapat mungkin, gereja –sebagai rumah Tuhan- tetap mengajarkan pada para jemaat dan pelayan – yang juga rumah Tuhan, untuk senantiasa secara bersama-sama, sehati, dan saling menopang; membajak tanah hati. Dengan demikian ragi dunia [baca: pola hidup dunia] tidak mengambil kesempatan dalam hidup kerohanian kita. Pendapat bahwa justru pada akhir jaman, lalang akan tumbuh bersama dengan gandum, bukanlah suatu pengingkaran yang bijak, dimana gereja boleh melepas tangan atas tanggungjawab itu. Dalam masa membangun, berkaryalah di ladang Tuhan dengan satu tangan, dengan tangan yang lain senantiasa menyandang senjata dengan tanpa lengah [Nehemia 4:15-20][3]. Rumah Tuhan di akhir jaman adalah Rumah Tuhan yang bercirikan hubungan dengan Raja dan kerajaanNya. Itulah rumah doa bagi segala bangsa yang dirindukan Tuhan Yesus, dan bukan sarang penyamun yang miskin buah pertobatan.  

Mengutip kembali kisah lima gadis bijak dan lima gadis bodoh di Matius 25:1-13, kita melihat peran gereja yang begitu besar. Diceritakan bahwa pada tengah malah terdengar suara orang berseru. Perhatikan tidak ditulis mengenai malaikat berseru, tetapi orang. Hal ini berarti akan ada orang-orang yang Tuhan pakai, untuk terus menerus mengumandangkan seruan persiapan menjelang datangnya mempelai pria. Seruan yang membuat semua gadis terjaga, dan mengingatkan bahwa pelita harus senantiasa menyala. Ini sebuah pesan penting agar gereja sebagai lembaga spiritual, rumah Tuhan di akhir jaman, tidak terlena dan tanpa kenal lelah terus mengumandangkan suara kenabian jenis ini.

 

Apabila orang bertanya dengan skeptis, apakah mungkin ditengah godaan dunia dan kegemerlapan yang ditawarkannya hari-hari ini, masih adakah gereja sebagai Rumah Tuhan –dan kita sebagai pribadi RumahNya-, yang tetap memperhatikan pekerjaan Tuhan sekaligus menghasilkan buah pertobatan ? Maka dengan kebanggaan oleh karena Kristus, kita dapat menjawab dengan penuh iman serta keyakinan teguh bahwa : Ya, karena dua alasan, pertama karena inilah yang berkenan bagi Tuhan, jika Ia berkenan maka hal itu pasti terjadi. Kedua, karena kita percaya bahwa mukjijat masih berlangsung sampai saat ini ! Mukjijat Masih Ada !     

 

[1] Waspadai ini, karena Antikristus tidak naik memasuki ke Bait Suci ke-3 [sebagai bangunan], seperti yang disangka banyak orang. Akan tetapi ia “naik” untuk mengatasi, mengambil simpati, dan kelak “dinobatkan” menjadi penguasa; dianggap penyelamat oleh para orang Kristen yang tidak berakar dalam Firman Tuhan.

[2] Kelak akan menjadi rasul Paulus.

[3] Mengenai pembangunan Bait Suci kedua di Yerusalem

 

SUMBER : Pdm Aruna Wirjolukito

BACK..