SEJARAH DAN TRADISI PERAYAAN NATAL
Setiap kali mendekati dan memasuki bulan Desember, maka
orang-orang percaya dan Gereja mempersiapkan diri untuk
merayakan Natal, yaitu peringatan akan lahirnya Yesus
sang Mesias ke dalam dunia. Natal selalu menjadi
sukacita dan kegembiraan, di mana di bulan paling akhir
dalam satu tahun kita biasanya berkumpul bersama dengan
keluarga, orang-orang yang kita cintai, para anggota
COOL dan tentunya dengan jemaat lainnya dalam satu
Gereja, untuk merayakan Yesus dan juga mengucap syukur
atas perjalanan bersama dengan Tuhan sampai bulan yang
terakhir. Sukacita Natal bukan hanya dirasakan oleh
orang-orang Kristen, tetapi semua orang di seluruh dunia
menikmati suasana yang tercipta karena Natal.
Natal adalah momen umat Kristiani memperingati kelahiran
Yesus Kristus, Tuhan dan Juruselamat (Mesias) manusia
yang datang dan lahir ke dalam dunia. Kata ‘Natal’
sendiri berasal dari kata latin ‘Natalis’ yang artinya
‘lahir/kelahiran’. Kata ini dibawa ke Indonesia pertama
kali oleh para misionaris Katolik untuk menjelaskan
peristiwa kelahiran Yesus. Kata ‘Christmas’ yaitu Natal
dalam bahasa Inggris, berasal dari bahasa Inggris kuno
Christes maesse (Christ’s mass) yang menjelaskan bahwa
penderitaan Yesus Kristus sebenarnya sudah dimulai sejak
Ia datang ke dunia, menjelma menjadi sama dengan manusia.
Jadi Natal selalu terkait dengan kehidupan Tuhan Yesus.
Sekalipun merayakan Natal telah menjadi sesuatu yang
dilakukan oleh Gereja selama ribuan tahun, namun tidak
sedikit orang Kristen, bahkan beberapa Gereja, yang
menolak untuk merayakan Natal. Penolakan ini biasanya
berdasarkan alasan-alasan seperti ini:
• Natal adalah perayaan yang didasarkan dari penyembahan
berhala (pagan Eropa).
• Tidak ada perintah untuk gereja merayakan Natal di
Alkitab.
Mengenai pelaksanaan perayaan Natal itu sendiri, GBI
secara Sinode telah mengambil sikap bahwa merayakan
Natal adalah tidak dilarang dan bahkan amat didorong
untuk melakukan ibadah perayaan Natal (tentunya pada era
pandemi COVID-19 seperti saat ini, pelaksanannya harus
sesuai dengan ketentuan pemerintahan lokal dan tuntunan
Roh Kudus kepada Gembala Jemaat). Sikap GBI secara
Sinode ini telah dituangkan dalam buku Sikap Teologis
Gereja Bethel Indonesia (2019) yang disusun oleh Forum
Teolog GBI dan diterbitkan oleh Departemen Teologia GBI.
GBI Jl. Jend. Gatot Subroto, Jakarta, juga mengambil
sikap yang sama mengenai Natal dengan GBI secara sinode.
Beberapa anggota Tim Teologia GBI Jl. Jend. Gatot
Subroto, Jakarta, juga adalah anggota Forum Teolog GBI
yang telah menerbitkan buku tersebut di atas. Dalam hal
Perayaan Natal, GBI kita juga mengeluarkan OSP (Official
Standing Paper) Sikap/Pandangan GBI Jl. Jend. Gatot
Subroto, Jakarta mengenai Perayaan Natal (2020) yang
berisikan hal-hal yang lebih spesifik dan detil mengenai
perayaan Natal. OSP Perayaan Natal ini bisa Saudara
akses lengkap di link berikut ini: https://hmministry.id/userfiles/osp/PERAYAAN-NATAL.pdf.
Jemaat amat disarankan untuk mengakses dan membaca OSP
Perayaan Natal ini.
Benar atau valid-kah alasan-alasan penolakan tersebut?
Kita akan membahas kedua hal tersebut dalam tulisan ini.
[Catatan: ada alasan lainnya yang umum digunakan untuk
menolak perayaan Natal. Lebih lengkap dapat dilihat
dalam OSP Perayaan Natal.]
Keberatan #1 : Natal adalah perayaan yang didasarkan
dari penyembahan berhala (pagan Eropa)
Respon : Natal sudah lebih dahulu dirayakan sebelum
pagan “ikut-ikutan”
Banyak orang beranggapan bahwa Natal merupakan perayaan
pagan Eropa, yaitu festival Romawi Natalis Solis Invicti,
yaitu hari kelahiran matahari yang tak terkalahkan.
Festival pagan ini juga umum dikaitkan dengan
penghormatan kepada Saturnus, sehingga juga dikatakan
hari Saturnalia. Festival ini dirayakan di kekaisaran
Romawi atas prakarsa Kaisar Aurelius pada tahun 274 M.
Perayaan ini dilakukan pada hari titik balik matahari di
musim dingin (winter soltice), yang umumnya jatuh pada
sekitaran tanggal 25 Desember pada kalender Masehi.
Informasi ini banyak beredar di internet dan berbagai
publikasi sehingga banyak orang Kristen menggunakan hal
ini sebagai keberatan untuk merayakan Natal, tanpa
melihat kenyataan catatan sejarah perjalanan gereja.
Pada masa pemerintahan Kaisar Konstantinus Agung, yaitu
kaisar Romawi yang menyatakan dirinya Kristen pada tahun
325 Masehi, festival pagan romawi Natalis Solis Invicti
diubah menjadi hari perayaan kelahiran Yesus Kristus.
Perayaan ini tidak lagi dilakukan di kuil-kuil matahari
dan Saturnus, melainkan di berbagai kapel dan Gereja.
Yesus Kristus adalah:
• sang ‘Surya Kebenaran’ (Maleakhi 4:21; Mazmur 84:12)
dan
• sang ‘Surya pagi ditempat tinggi’ (Lukas 1:78)
Fokus perayaan bukan lagi untuk menyembah matahari dan
Saturnus yang adalah benda-benda ciptaan di angkasa,
tetapi berfokus kepada TUHAN yang telah menciptakan
semuanya itu. (Kejadian 1:14-18 bdk. Kolose 1:16)
Dengan demikian, pengalihan tanggal 25 Desember dari
perayaan kelahiran matahari kepada Kristus sebagai Sang
Matahari Kebenaran memiliki dasar Alkitabiah. Mengambil
alih hari raya matahari menjadi hari kelahiran Yesus
Kristus, tidaklah membuat orang-orang Kristen menjadi
penyembah matahari.
Catatan Gereja sendiri menunjukkan bahwa Gereja-gereja,
khususnya di Eropa, telah memperingati dan merayakan
Natal. Natal yang jatuh pada bulan Desember adalah
berdasarkan tradisi yang disepakati oleh gereja-gereja
Eropa. Tanggal 25 Maret diperingati sebagai hari
Annunciation atau hari di mana Maria menerima kabar baik
bahwa ia akan mengandung Sang Juruselamat. Mengambil
jarak 9 bulanan masa kehamilan, maka Desember masuk
dalam perhitungan kehamilan yang wajar, sehingga
Gereja-gereja Eropa memperingati baik Annunciation dan
Natal. Ini diungkapkan oleh generasi bapa-bapa Gereja
abad pertama dan kedua, seperti Irenaeus (130-202 M).
Hyppolitus tahun 204 M mengutarakan hal yang sama dengan
Irenaeus, demikian juga Sextus Julius Africanus dan
Cyprianus. Semua mereka mencatat bahwa Gereja telah
merayakan dua peristiwa itu selama ratusan tahun, lebih
awal dari perayaan matahari dan Saturnus yang baru
diadakan pada tahun 274 M oleh Kaisar Aurelius (lihat
kembali catatan di atas sebelumnya).
Melihat catatan-catatan para petinggi Gereja tentang
perayaan kelahiran Yesus, maka perayaan Natal bukanlah
upaya Kristenisasi dari festival matahari orang-orang
non-Kristen, malah mungkin sebaliknya adalah bahwa
festival matahari adalah upaya romanisasi hari Natal.
Tidak heran, bahkan setelah Kaisar Konstantinus Agung
menjadi Kristen, sejarah Romawi menunjukkan bahwa
festival matahari masih terus diupayakan oleh orang
Romawi non-Kristen hingga tahun 354 M. Ini nampaknya
usaha dari kaum kafir/pagan untuk menarik orang-orang
Kristen kembali kepada paganisme. Upaya ini mendapat
tantangan besar pada tahun 345 M, yaitu saat Uskup Roma
(kelak menjadi Paus), Julius I, membuat ibadah tandingan
terhadap festival matahari, yaitu dengan membuat
perayaan Natal tanggal 25 Desember 345 di kota Roma guna
melihat mana yang lebih banyak menarik pengunjung; warga
Gereja atau kuil mahari/kuil Saturnus. Ternyata
Gereja-gereja lebih banyak dipenuhi oleh warga Roma.
Semenjak itu festival Natalis Solis Invicti semakin
kehilangan pamor dan memudar dengan sendirinya. Uskup
Roma, Julius I menetapkan secara resmi 25 Desember
sebagai hari Natal dan ini diikuti oleh mayoritas
Gereja-gereja hingga kini.
Setelah melihat tersebut di atas, kita dapat menerima
tanggal 25 Desember sebagai tanggal tradisi perayaan
Natal, namun bukan sesuatu yang bersifat mutlak sehingga
kita tidak harus merayakan tepat pada tanggal 25
Desember.
Keberatan #2 : Tidak ada perintah untuk merayakan Natal
dalam Alkitab
Respon : Merayakan Natal secara esensial adalah
Alkitabiah
GBI mengambil sikap bahwa perayaan Natal secara esensial
adalah tidak keliru. Pendapat yang berkata bahwa
perayaan Natal adalah hal yang tidak boleh dilakukan
karena tidak ada perintah atau terdapat dalam Alkitab
adalah pendapat yang tidak tepat. Jangan sampai kita
memaksakan penafsiran yang ayatiah/literal, sehingga
apabila tidak ada ayat pendukungnya secara spefisik maka
dianggap keliru dan tidak boleh dilakukan, padahal
secara esensial justru Alkitabiah.
Merayakan, menceritakan, mengingat dan mewartakan
kehidupan Yesus Kristus mulai dari kelahiran-Nya hingga
kenaikan-Nya adalah justru hal yang harus dilakukan oleh
Gereja untuk memuridkan jemaat dan memberitakan Injil
Kristus kepada semua bangsa. (Matius 28:19-20; Kolose
1:28; bdk. 2 Timotius 4:2)
Perayaan Natal justru selalu menjadi momen yang sangat
baik untuk menyegarkan jiwa dan iman umat Tuhan, dan
momen untuk menceritakan kasih Tuhan yang luar biasa
kepada dunia yaitu Bapa mengutus Anak-Nya, Kristus Yesus,
datang ke dunia menjadi sama dengan manusia untuk
menebus manusia dari dosa-dosa mereka. Upaya-upaya untuk
mendiskreditkan hari Natal adalah justru upaya-upaya
untuk memecah-belah umat Kristen dan untuk menghalangi
pemberitaan tentang kedatangan Kristus yang pertama kali
dan rencana karya Keselamatan-Nya.
Merayakan Natal di Tengah Masa Pandemi COVID-19
Sekalipun perayaan Natal tahun 2020 ini mungkin tidak
semeriah tahun-tahun sebelumnya oleh karena situasi
pandemi COVID-19 yang masih berlangsung sampai hari ini,
tetapi ingatlah bahwa terang Kristus itu tetap ada dalam
hidup kita dan Roh Kudus terus mengingatkan bahwa kita
tidak menjalani kehidupan ini sendirian, tetapi
bersama-Nya. Kemeriahan perayaan bukan menjadi kekuatan
kita, tetapi merayakan Kristus dan kehadiran-Nya-lah
yang menjadi sukacita kita di tengah pandemi ini.
Selamat Hari Natal. (CS)
________________________