TENTUKANLAH SEKARANG
“Tetapi jika kamu anggap tidak baik untuk beribadah kepada TUHAN, pilihlah pada hari ini kepada siapa kamu akan beribadah; allah yang kepadanya nenek moyangmu beribadah di seberang sungai Efrat, atau allah orang Amori yang negerinya kamu diami ini. Tetapi aku dan seisi rumahku, kami akan beribadah kepada TUHAN!” (Yosua 24:15)
17 Agustus 1945 adalah hari yang bersejarah bagi Indonesia: Hari Proklamasi Kemerdekaan Indonesia. Tahun ini Indonesia memasuki usia yang ke-70 tahun, itu semua karena kasih TUHAN atas bangsa kita. Amin. Melihat catatan sejarah, ternyata tidak semua orang Indonesia pada waktu itu setuju dengan kemerdekaan. Beberapa memandang bahwa ide kemerdekaan kita adalah sebuah kebodohan. Ada juga orang-orang yang ingin mendirikan negara sendiri di dalam negara ini, bahkan ada yang terang-terangan ingin tetap berada di bawah pemerintahan negara lain. Pada akhirnya setiap orang memang perlu menentukan pada posisi mana dia berada. Setiap kita punya pendapat dan pilihan tentang hal tersebut.
Secara kehidupan rohani, terlebih kehidupan sebagai anak-anak TUHAN, ada 3 (tiga) keputusan, pendapat atau pilihan penting yang perlu ditentukan oleh masing-masing orang, yaitu tentang:
1. Kepada Siapa Kita Akan Beribadah
Siapapun jika ditanya siapa nama allah-nya, akan menjawab sesuai dengan iman atau agama yang ia anut. Ketika seorang Kristen ditanya kepada siapa ia beribadah, jawabannya pasti “TUHAN” atau “Yesus Kristus.” Tetapi antara perkataan dan kenyataan harus diuji. Bagi yang benar-benar sungguh hatinya melekat kepada TUHAN, maka itu akan nyata dalam tindak laku dan perbuatannya sehari-hari. Sayangnya tidak sedikit yang menyebut TUHAN sebagai allahnya, namun sehari-harinya mementingkan perkara-perkara dunia dan keuangan semata. TUHAN Yesus sendiri mengingatkan akan hal ini: “Tak seorang pun dapat mengabdi kepada dua tuan. Karena jika demikian, ia akan membenci yang seorang dan mengasihi yang lain atau ia akan setia kepada yang seorang dan tidak mengindahkan yang lain. Kamu tidak dapat mengabdi kepada Allah dan kepada Mamon.” (Matius 6:24)
Kesetiaan kita kepada TUHAN akan diuji melalui bagaimana kita meresponi masalah yang muncul di hadapan kita. Ketika masalah atau tantangan terjadi, apakah kita:
• Tetap setia kepada TUHAN sekalipun bisa saja Dia-lah yang menggunakan masalah
tersebut sebagai bagian dari proses pendewasaan kita? atau
• Mengambil jalan keluar singkat yang kita tahu bertentangan dengan Firman atau
kehendak-Nya?
Mengikuti petunjuk Firman TUHAN juga adalah pengertian lain dari Ibadah. Proses dari TUHAN mungkin sepertinya tidak cepat, tetapi percayalah hasilnya jauh lebih baik dibanding mengambil jalan singkat untuk keluar dari masalah dengan menggunakan cara-cara yang bukan dari TUHAN. Hati-hati, bisa sangat mudah seseorang melakukan apa yang “biasa” baginya tetapi sebenarnya melawan rencana Allah. Bangsa Israel memperoleh kasih karunia Allah yang luar biasa saat dibebaskan dari perbudakan. Namun setiap kali menghadapi masalah dalam perjalanan menuju Kanaan, selalu saja mereka berkeluh kesah dan ingin kembali ke Mesir.
Bayangkan: lebih memilih kehidupan perbudakan yang sudah mereka “biasa” akan hal itu daripada kehidupan kemerdekaan yang memang harus dikerjakan. Itulah sebabnya Allah tidak mengizinkan generasi pertama yang keluar dari Mesir ini yang masuk Tanah Perjanjian; karena hati dan bibir mereka tidak sejalan. Jika Saudara berkata dengan mulut dan meng-amin-kan dalam hati bahwa hanya kepada TUHAN Yesus Kristus-lah Saudara akan beribadah, maka lakukanlah apa yang menjadi perintah dan kehendak-Nya di dalam hidupmu.
2. Seberapa Dalam Kita Percaya Kepada Allah
Pidato perpisahan Yosua adalah sesuatu yang penting. Bangsa Israel mengetahui bahwa mereka berasal dari suatu garis keturunan dari nenek moyang yang awalnya tidak menyembah TUHAN. Abraham berasal dari Ur-Kasdim (Kejadian 11:30, Yosua 24:2-3) yaitu daerah di seberang sungai Efrat, yaitu tempat suatu masyarakat yang menyembah berhala.
Abraham percaya kepada TUHAN sekalipun tidak ada alasan tertulis atau bukti mengenai TUHAN pada zaman itu; itulah sebabnya Abraham dikatakan sebagai bapa orang percaya. Beberapa ratus tahun kemudian, bangsa Israel yang keluar dari perbudakan Mesir pun melakukan penyembahan berhala di Sinai. Mereka membuat patung anak lembu dari emas dan menyembahnya (Keluaran 32). Di sana Israel melakukan dosa; membuat berhala, dan menyatakan bahwa anak lembu emas itu adalah TUHAN yang telah membebaskan mereka.
Ini adalah penggambaran akan TUHAN secara tidak benar dan ini yang membuat TUHAN murka. Itulah sebabnya Yosua bertanya kepada generasi Israel yang telah ia pimpin masuk Tanah Perjanjian, mau menyembah TUHAN atau yang mana? Pertanyaan ini bukan hanya merujuk kepada TUHAN versus ilah lain, tetapi juga pertanyaan apakah Israel mau menyembah TUHAN yang benar atau “TUHAN” yang mereka gambarkan sendiri seperti yang dilakukan pendahulu mereka di Sinai?
Penyesatan dalam dunia Kekristenan atau Gereja bukanlah menyodorkan ilah lain sebagai subyek ibadah anak-anak TUHAN, tetapi penyesatan adalah menyodorkan TUHAN secara tidak benar --tidak sesuai dengan apa yang Ia nyatakan sendiri mengenai diri-Nya-- maupun pengajaran yang tidak lengkap/tidak sesuai dengan Firman-Nya. Penyesatan bisa secara moril, bisa juga secara teologis.
Kitab Yudas (Jude) memperingatkan dengan keras akan hal ini: “Saudara-saudaraku yang kekasih, sementara aku bersungguh-sungguh berusaha menulis kepada kamu tentang keselamatan kita bersama, aku merasa terdorong untuk menulis ini kepada kamu dan menasihati kamu, supaya kamu tetap berjuang untuk mempertahankan iman yang telah disampaikan kepada orang-orang kudus. Sebab ternyata ada orang tertentu yang telah masuk menyelusup di tengah-tengah kamu, yaitu orang-orang yang telah lama ditentukan untuk dihukum. Mereka adalah orang-orang yang fasik, yang menyalahgunakan kasih karunia Allah kita untuk melampiaskan hawa nafsu mereka, dan yang menyangkal satu-satunya Penguasa dan TUHAN kita, Yesus Kristus.” (Yudas 3-4)
Penyesatan pun bisa diartikan sebagai menyajikan sebagian kebenaran Firman TUHAN namun meng-klaim-nya sebagai keseluruhan kebenaran. Inilah juga yang sebenarnya yang dilakukan oleh para pengajar-pengajar modern “kasih karunia” yang umum dikenal dengan “hyper-grace” yaitu mengajarkan hanya kasih karunia Allah, tetapi menolak pengajaran-pengajaran penting lainnya seperti pertobatan, pendewasaan, pengakuan dosa dan lain sebagainya (catatan: mereka meng-klaim tidak meninggalkan azas-azas kehidupan kekristenan tersebut, namun faktanya malah justru memberikan definisi yang sangat berbeda akan hal-hal tersebut).
Ingatlah, ketika seseorang menyatakan atau mengajarkan sesuatu mengenai TUHAN, maka itu harus diuji apakah sesuai dengan Firman TUHAN atau tidak. TUHAN tidak mungkin menyatakan diri-Nya bertentangan dengan apa yang telah Ia nyatakan dalam Kebenaran Firman-Nya. Percayalah atas semua yang Allah nyatakan, ajarkan dan perintahkan.
3. Berkomitmen Meneruskan Iman Kita Kepada Generasi Berikutnya
Kasih TUHAN dinyatakan, kemerdekaan diberikan, bukti-bukti penyertaan-Nya tidak dapat dipungkiri. Israel mengetahui hal ini dengan baik. Pidato perpisahan Yosua, selain mendorong bangsa Israel untuk menentukan posisi iman mereka, juga menantang mereka untuk meneruskan apa yang telah mereka terima dari TUHAN kepada generasi berikutnya. Bukan hanya berkat-berkat TUHAN, tetapi juga iman mereka.
Yosua dan keluarganya berketetapan untuk tetap beribadah kepada TUHAN. Israel pun merespon dengan jawaban yang hampir sama, tetapi sayangnya kitab Hakim-hakim mencatat bahwa selepas generasi Yosua maka generasi berikutnya tidaklah hidup dalam iman dan ketaatan sebagaimana generasi sebelumnya. Ini berarti generasi sebelumnya gagal untuk meneruskan apa yang mereka percayai dan imani kepada generasi penerus mereka.
Jika kita telah menetapkan bahwa kita akan beribadah kepada TUHAN Yesus, kita telah berketetapan untuk percaya kepada perintah dan Firman-Nya seluruhnya, maka adalah juga menjadi kewajiban kita untuk mengajarkan dan meneruskan hal-hal ini kepada generasi berikutnya; anak-anak kita dan cucu-cucu kita. Ini bahkan adalah perintah TUHAN sendiri (Ulangan 6:1-7, 2 Timotius 2:2, 3:10-17).
Israel di bebaskan dari perbudakan oleh kasih TUHAN.
Indonesia merdeka dari penjajahan, itu pun kita imani
sebagai kasih dari TUHAN. Hidup kita pun di merdekakan
oleh karena kasih anugrah-Nya. Kini kita perlu meresponi
dengan menentukan apakah kita mau beribadah kepada TUHAN
Yesus saja, apakah kita mau mempercayai dan melakukan
apa yang Ia perintahkan dan firmankan, dan apakah kita
mau meneruskan apa yang sudah kita terima dari-Nya
kepada generasi berikutnya? Biarlah keputusan yang kita
ambil adalah sama yang seperti Yosua ambil: “.. aku
dan seisi rumahku, kami akan beribadah kepada TUHAN.”
(CS)