TERTANAM DI GEREJA LOKAL
Di era pandemi COVID-19 ini di mana kita harus beribadah
secara virtual, semua gereja di seluruh dunia
berlomba-lomba dalam hal menyajikan konten yang terbaik,
display yang estetik, musik yang menarik, dan kemampuan
editing yang kekinian. Dalam sebuah survei yang
dilakukan oleh Barna Research pada bulan Juli 2020
mengenai kehadiran jemaat lintas generasi dalam ibadah
virtual di masa pandemi, 40 persen dari generasi baby
boomer tetap berada di gereja mereka yang semula, 31
persen dari generasi X, dan hanya 30 persen dari
generasi milenial yang tertanam di gereja .
Bagi generasi muda, 'tertanam di gereja' mungkin bukan
sebuah hal yang mudah; sebaliknya berpindah-pindah atau
bahkan tidak bergereja sama sekali bukan sesuatu yang
sulit untuk dilakukan. Tiga alasan terbesar mengapa anak
muda tidak tertanam dan meninggalkan gereja menurut
penelitian yang dilakukan oleh LifeWay Research adalah:
1. Karena mereka melanjutkan ke jenjang akademis yang
lebih tinggi
2. Karena anggota gereja cenderung menghakimi anak muda
dan dinilai munafik
3. Karena generasi muda tidak merasa terhubung dengan
gereja
Lebih dari ketiga alasan di atas, sebenarnya orang bisa
saja memakai alasan apapun, menyalahkan orang lain dan
menyalahkan situasi, untuk berpindah-pindah bahkan
meninggalkan gereja. Terlebih di era gereja virtual ini
di mana semua orang dapat dengan mudah ‘berjemaat’ di
gereja manapun di seluruh dunia. Faktanya, seorang
Kristen tidak dapat bertumbuh jika tidak tertanam di
sebuah gereja lokal.
Kita mungkin pernah mendengar bahwa tertanam di gereja
lokal diibaratkan seperti menanam benih. Sebuah benih
yang ditanam di dalam tanah tentu saja tidak dapat
menghasilkan buah secara instan keesokan harinya.
Dibutuhkan waktu untuk benih tersebut berakar, bertunas,
menumbuhkan batang dan dedaunan, lalu barulah benih
tersebut dapat menghasilkan buah.
Proses pertumbuhan yang paling krusial dari sebuah benih
terjadi di dalam tanah, yaitu dalam proses penumbuhan
akar. Karena akar adalah bagian yang menentukan seberapa
kuat tanaman tersebut nantinya ketika sudah bertumbuh,
dan seberapa banyak nutrisi dari tanah yang dapat
diserap oleh akar untuk dihantarkan ke bagian-bagian
lain dalam tanaman.
Markus 4:26-29 memuat sebuah perumpamaan singkat tentang
kerajaan Allah, yang digambarkan dengan proses bercocok
tanam. Ayat 27 berkata,
“lalu pada malam hari ia tidur dan pada siang hari ia
bangun, dan benih itu mengeluarkan tunas dan tunas itu
makin tinggi, bagaimana terjadinya tidak diketahui orang
itu.”
Setiap proses untuk bertumbuh yang dialami sebuah benih
terjadi di dalam tanah, di tempat gelap di mana tidak
ada seorangpun yang bisa melihat dan mengetahuinya.
Demikian pula dengan setiap kita sebagai benih; ketika
kita berkomitmen untuk tertanam di gereja lokal, kita
akan mengalami berbagai proses yang mungkin membuat kita
tidak nyaman, dan setiap proses yang kita alami tersebut
tidak dapat dilihat oleh orang lain.
Sayangnya, banyak orang yang menyerah ketika melewati
proses krusial ini. Banyak yang tergoda untuk melihat
rumput tetangga yang selalu akan terlihat lebih hijau
dibandingkan rumput di pekarangan rumah sendiri. Ingat,
yang terlihat oleh mata kita hanyalah hasil akhirnya
yang sudah tampak baik. Sementara yang tidak kita lihat
adalah proses yang juga dialami oleh rumput tetangga
ketika baru ditanam dan masih di dalam tanah.
Padahal, benih yang terus menerus dipindah media
tanamnya akan membutuhkan waktu lagi untuk beradaptasi
dengan tanah yang baru. Proses itu menghambat
pertumbuhan, dan tak jarang benih yang terus menerus
dipindahkan akan mati dan tidak dapat berbuah lagi.
Yohanes 15:2 menuliskan,
“Setiap ranting pada-Ku yang tidak berbuah, dipotong-Nya
dan setiap ranting yang berbuah, dibersihkan-Nya, supaya
ia lebih banyak berbuah.”
Tuhan menginginkan pertumbuhan dari sebuah benih, dan
agar kelak benih tersebut dapat menghasilkan buah yang
lebat. Tentu saja hal ini tidak dapat terjadi jika benih
tersebut kerap dipindah-pindahkan. Jika kita tidak
tertanam di gereja lokal, maka kita tidak dapat
mengalami pertumbuhan yang sempurna, bahkan tanpa kita
sadari kita bisa mengalami kematian rohani. Kita tidak
dapat menikmati buah yang seharusnya dapat kita hasilkan
apabila kita tertanam di gereja lokal.
Lalu, hal-hal apa yang dapat terus mendorong kita untuk
tetap tertanam di gereja lokal?
1. Mengubah Perspektif Kita
Sekali lagi, ketika sebuah benih ditanam ia akan
diletakkan di dalam tanah yang gelap dan tak terlihat.
Tempat di bawah tanah dan tak terlihat ini juga bisa
menjadi situasi yang sama yang dipakai untuk menguburkan
jasad orang yang sudah meninggal. Namun letak
perbedaannya adalah, benih yang ditanam masih memiliki
kehidupan dan dapat mengalami pertumbuhan, sementara
jasad yang dikubur sudah tidak dapat hidup kembali.
Itu sebabnya sebagai sebuah benih, kita harus mengubah
perspektif kita bahwa ketika kita sedang berada di dalam
tanah: kesepian, tidak dilihat orang, sulit bergerak,
gelap dan seakan-akan tidak ada jalan keluar; kita bukan
sedang dikubur, melainkan kita sedang ditanam!
Jika kita berpikir bahwa kita sudah dikubur, maka tidak
akan ada lagi pertumbuhan yang dapat kita alami. Namun
ketika kita mengubah perspektif kita bahwa keadaan yang
saat ini kita alami di dalam tanah adalah karena kita
sedang ditanam dan mengalami proses di dalam tanah, maka
kita akan terus bertumbuh hingga waktunya benih tersebut
akan tampak di atas tanah dan menghasilkan buah. Kita
sedang ditanam, dan bukan dikubur!
2. Jalani Proses
Proses adalah bagian terpenting dari perjalanan hidup
setiap manusia, di mana manusia dibentuk lewat hal-hal
yang sulit agar menjadi semakin baik dan semakin kuat di
kemudian hari.
Alkitab berulang kali menggambarkan hidup manusia
bagaikan tanah liat di tangan tukang periuk (Yeremia
18:1-6, Roma 9:20-21). Sebelum menjadi bejana, maka
tanah liat harus mengalami proses diremukkan, ditekan,
diputar berulang kali di meja kerja sang tukang periuk,
bahkan dimasukkan dalam tungku untuk dibakar sebelum
bejana tersebut jadi sempurna.
Tidak ada seorang pun yang luput dari proses. Proses
pecahnya benih untuk bertunas dan mengeluarkan akar juga
hal yang harus dilewati setiap benih agar bisa bertumbuh.
Ingat, proses inilah yang akan menentukan seberapa kuat
akar yang akan kita hasilkan untuk menyokong seluruh
pertumbuhan kita nantinya. Oleh sebab itu, mengalami
berbagai proses di gereja lokal adalah hal yang wajar,
agar kita sebagai benih dapat memiliki akar yang kuat.
Dalam proses itulah Tuhan sedang membentuk karakter kita
agar semakin serupa dengan Kristus.
Sebelum akhirnya naik ke kayu salib, Yesus juga
mengalami berbagai proses yang menyakitkan ketika Ia
harus dipukul, dicambuk, dimahkotai duri, diludahi dan
dicemooh orang, bahkan sama seperti benih yang ada di
dalam tanah, Ia tidak dipandang orang. Namun proses yang
dilewati Yesus inilah yang membuat karya keselamatan-Nya
menjadi sempurna di atas kayu salib. Apapun yang kita
alami ketika kita tertanam di gereja lokal, mari tetap
jalani proses tersebut agar karakter kita semakin
dibentuk serupa dengan Kristus.
3. Berhenti Membanding-bandingkan
Kita tahu cerita tentang Lea yang selalu merasa tidak
dicintai oleh suaminya Yakub, karena Yakub lebih cinta
kepada Rahel, istri keduanya. Pada saat itu Lea
melahirkan tiga anak laki-laki bagi Yakub sementara
Rahel mandul (Kejadian 29:31-34). Lea yang terus-menerus
membandingkan cinta dari Yakub kepada Rahel merasa sedih,
tertekan, kesepian, sampai ia mencurahkan perasaannya
itu lewat arti nama yang diberikan kepada ketiga anaknya.
Ketika Lea terus membanding-bandingkan, ia tidak dapat
melihat berkat yang telah diberikan Allah justru
kepadanya, yaitu ketika ia dapat melahirkan keturunan
bagi Yakub sementara Rahel belum juga mengandung.
Sama seperti kisah Lea, ketika kita sibuk
membanding-bandingkan, kita tidak bisa melihat berkat
yang telah Allah sediakan di tengah situasi kita saat
ini. Dalam konteks ini, ketika kita terus
membanding-bandingkan gereja lokal kita, pemimpin kita,
rekan sepelayanan kita dengan gereja orang lain, kita
tidak dapat melihat berkat dan tujuan yang telah Allah
tetapkan ketika Ia menempatkan kita di gereja lokal kita
saat ini.
Katakan gereja lokal kita adalah sebuah rumah; tidak ada
rumah yang sempurna. Namun setiap rumah yang Tuhan
tempatkan bagi kita adalah tempat yang terbaik yang
dipilih Tuhan untuk pertumbuhan kita. Tidak ada orang
tua yang sempurna. Namun setiap orang tua yang Tuhan
berikan pasti memiliki tujuan, mimpi, dan visi Ilahi
bagi setiap kita.
Sebuah kutipan dari Pastor Steven Furtick,
“The reason why we struggle with insecurity is because
we compare our behind the scenes with everyone else’s
highlight reel.”
Alasan mengapa kita terus merasa tidak aman adalah
karena kita membandingkan apa yang terjadi di belakang
layar kita dengan kesuksesan orang lain.
Keputusan yang paling tepat bagi sebuah benih adalah
untuk tetap tertanam di mana ia ditanamkan. Sebagai
benih yang ditanam di gereja lokal, mari kita ubah
perspektif kita bahwa kita sedang ditanam dan bukan
dikubur, jalani proses kita dengan ucapan syukur, dan
berhenti membanding-bandingkan. Maka pada waktu-Nya kita
akan bertumbuh dan berbuah lebat, sehingga buah tersebut
dapat kita nikmati dan juga dinikmati oleh orang lain. (GYA)