TIDAK SEMUA HAL BISA DILAKUKAN OLEH UANG
“Ia melakukan apa yang jahat di mata Tuhan, sesuai
dengan perbuatan keji bangsa-bangsa yang telah di halau
TUHAN dari depan orang Israel. Ia mendirikan kembali
bukit-bukit pengorbanan yang telah dimusnahkan oleh
Hizkia, ayahnya; ia membangun mezbah-mezbah untuk Baal,
membuat patung Asyera seperti yang dilakukan Ahab, raja
Israel,
dan sujud menyembah kepada segenap tentara langit dan
beribadah kepadanya.”
(1 Raja-Raja 21:2-3)
Uang adalah komponen dalam sejarah umat manusia yang
usianya hampir setua dengan sejarah umat manusia.
Dimulai dari uang, logam mulia, emas dan perak, kemudian
beralih kepada uang kertas, dan sekarang uang elektronik.
Uang seringkali menjadi penggerak aktivitas manusia;
yang baik maupun yang jahat. Hampir semua unsur
kehidupan manusia berkaitan dengan uang. Uang bisa
menjadi perpanjangan kemampuan untuk mengerjakan sesuatu.
Uang menjadi sangat berpengaruh di tempat di mana
bertemunya pembeli dan penjual, persediaan dan kebutuhan,
pembuat dan pengguna. Tempat ini kita sebut sebagai ‘pasar’.
Yang menjadi pertanyaan adalah; apakah semua hal di
dalam hidup dapat diperjualbelikan di ‘pasar’? Mereka
yang menganut faham kapitalisme bebas berkata bahwa
selama tidak ada unsur pemaksaan, maka hampir semua hal
bisa diperjualbelikan. Kapitalisme memang telah terbukti
selama lebih kurang 200 tahun terakhir ini menjadi
mekanisme yang paling efektif di dalam menyediakan
barang dan jasa secara paling efisien dan dapat
dinikmati oleh sebagian besar anggota masyarakat dengan
harga yang terendah.
Namun, di dalam Alkitab kita dapat melihat ada beberapa
batasan di dalam ruang lingkup ‘pasar’. Suatu hari raja
Ahab ingin memperluas istananya dan ia menawar tanah
milik Nabot yang kebetulan terletak tepat di sebelah
istananya. Dengan menggunakan standar yang berlaku pada
zaman ini kelihatannya tidak ada yang salah dengan
tawaran raja Ahab tersebut. Namun Nabot menjawab dengan
mengutip suatu prinsip yang ada dalam hukum Taurat:
• “Sebab milik pusaka orang Israel tidak boleh beralih
dari suku ke suku, tetapi orang Israel haruslah
masing-masing memegang milik pusaka nenek moyangnya.” (Bilangan
36: 7)
• “Sebab milik pusaka itu tidak boleh beralih dari suku
ke suku, tetapi suku-suku orang Israel haruslah
masing-masing memegang milik pusakanya sendiri.” (Bilangan
36:9)
Di dalam kedua ayat tersebut tersirat sebuah prinsip
bahwa milik pusaka sebuah kaum di Israel tidak boleh
dipindahkan menjadi milik suku yang lain.
Demikian juga prinsip tentang tahun Yobel yang tertulis
di dalam Imamat 25:10,13:
“Kamu harus menguduskan tahun yang kelima puluh, dan
memaklumkan kebebasan di negeri itu bagi segenap
penduduknya. Itu harus menjadi tahun Yobel bagimu, dan
kamu harus masing-masing pulang ke tanah miliknya dan
kepada kaumnya. Dalam tahun Yobel itu kamu harus
masing-masing pulang ke tanah miliknya.”
Maknanya adalah setiap orang Israel harus dapat kembali
ke tanah pusaka milik leluhurnya pada setiap tahun Yobel.
Tanah milik pusaka leluhur adalah gambaran bahwa setiap
orang Israel memiliki kesempatan untuk hidup berhasil.
Kelihatannya Tuhan tidak ingin tanah sebagai faktor
produksi (kapital) terkonsentrasi hanya kepada satu
golongan (bangsawan), sementara golongan lain makin lama
makin tersingkir dan menjadi kaum pariah. Hal ini
terjadi dalam sejarah manusia; baik di Asia, Afrika,
terutama di Eropa pada abad pertengahan (feodalisme).
Tuhan tidak ingin di dalam masyarakat Israel terjadi
ketidakadilan secara sistemik, di mana yang kaya menjadi
semakin kaya dan yang miskin menjadi semakin tertekan.
Sebagai orang Kristen kita harus memiliki pandangan
ekonomi yang Alkitabiah. Tuhan menginginkan kita rajin
bekerja dan efisien di dalam menghasilkan barang dan
jasa. Namun Tuhan juga ingin kita tahu bahwa uang
bukanlah tujuan terutama pengejaran hidup kita dan ada
banyak hal yang tidak masuk di dalam domain ‘pasar’ yang
artinya hal-hal tersebut tidak bisa diperjualbelikan.
1. Uang Tidak Bisa Menggantikan Visi
Alasan mengapa Tuhan melarang orang Israel membeli tanah
sesamanya secara permanen adalah karena Tuhan tidak
menginginkan ada sebagian dari umat-Nya yang kehilangan
visi untuk masa depan mereka. Selama masih ada tanah
nenek moyang untuk mereka kembali dan membangun, masih
tersisa harapan bagi kaum tersebut untuk masa depan
mereka.
Memiliki warisan tanah nenek moyanglah yang memisahkan
orang Israel dengan ‘orang asing’ di tanah Israel. Orang
asing tidak memiliki ‘hak’ atas tanah Israel dan hidup
di bawah belas kasihan orang Israel asli. Bangsa Israel
diperintahkan untuk menunjukkan belas kasihan dan
kebaikan kepada orang asing justru karena hal ini.
Di dalam zaman modern hal ini dapat disamakan dengan
mereka yang tidak memiliki akses kepada pendidikan,
kesehatan, kesempatan ekonomi untuk bisa hidup merdeka
dan mandiri. Nabot bisa saja pada waktu itu membutuhkan
uang tunai atau mungkin ia tergiur melihat tawaran raja
Ahab. Raja Ahab bahkan menawarkan ‘tukar guling’ (ruislag)
dengan tanah yang lebih baik, tetapi Nabot memiliki visi
jangka panjang yang membuat ia melihat potensi pada
tanah yang letaknya di sebelah istana raja Ahab.
Nabot menolak menjual tanah warisan nenek moyangnya
kepada Ahab berapa pun harga yang ditawarkan. Pada titik
ini prinsip ‘pasar’ sudah berlaku. Belum terjadi
kecocokan antara persediaan dan penawaran. Seorang yang
bijak akan mengerti hal ini dan mengetahui bahwa apa
yang diinginkan itu sudah berada di luar jurisdiksi ‘pasar’.
2. Uang Tidak Bisa Mengubah Kenyataan
Salah satu hal yang dapat dibeli dengan uang adalah
pengetahuan dan pengalaman. Dengan kedua hal ini
diharapkan kita dapat melakukan riset dan membuat kita
menjadi lebih bijak. Tetapi kita tidak bisa menggunakan
uang untuk memaksa orang lain berkata gelap adalah
terang dan hitam adalah putih. Inilah yang dilakukan
oleh ratu Izebel. Dia memaksa dua orang bersaksi dusta
dan memfitnah Nabot di pengadilan.
Inilah yang dinasihatkan oleh Yesus dan rasul Paulus,
uang seringkali mendistorsi kenyataan sehingga kita
tidak dapat lagi membedakan mana yang nyata dan mana
yang palsu, mana yang benar dan mana yang salah.
Seringkalli kita berpikir hanya karena kita memiliki
uang, kita bisa mengubah kenyataan dan memanfaatkannya
untuk kepentingan kita. Jika kita melakukan hal itu maka
kita sudah melanggar perintah Tuhan mengenai bersaksi
dusta dan secara tidak langsung kita sedang melakukan
penyembahan berhala karena kita percaya kepada kekuatan
uang untuk membengkokkan kenyataan, padahal Tuhan pun
tidak pernah melakukan hal itu. Tuhan Yesus berkata
hendaklah kamu berkata ‘ya’ di atas ‘ya’ dan ‘tidak’ di
atas ‘tidak’. Apapun yang melebihi hal itu berasal dari
si jahat.
Pada akhirnya yang menjadi korban terakhir jika kita
terbiasa melakukan hal ini adalah kita sendiri. Kita
akhirnya kehilangan kemampuan membedakan mana yang nyata
dan mana yang tidak.
3. Uang Bisa Mempermudah Proses, Tetapi Tidak Bisa
Mengubah Hasil Proses
Di dalam ‘pasar’ yang diperdagangkan adalah barang dan
jasa. Jasa seringkali berfungsi sebagai ‘agen’ yang
menolong kita di dalam suatu proses yang mungkin kita
tidak terlalu ahli di dalamnya; misalnya agen perjalanan,
agen asuransi, lembaga bantuan hukum dan lain sebagainya.
Tetapi agen tidak bisa menggantikan kita menerima
konsekuensi hasil pilihan-pilihan kita. Kita tetap
bertanggung jawab kepada hasil akhir yang diakibatkan
oleh pilihan-pilihan kita.
Di dalam cerita ini kita melihat bahwa Izebel menjadi
agen yang melakukan keinginan Ahab dan kedua orang
dursila yang bersaksi palsu melawan Nabot di pengadilan
menjadi agen yang melakukan keinginan Izebel dengan
asumsi bahwa mereka dibayar untuk melakukan hal itu.
Di akhir cerita itu firman Tuhan datang kepada nabi
Elisa untuk menyampaikan nubuatan hukuman firman Tuhan
kepada Ahab, dan juga Izebel. (1 Raja-raja 21:21-26)
Sesungguhnya:
“Pada hari kemurkaan harta tidak berguna,
tetapi kebenaran melepaskan orang dari maut.”
(Amsal 11:4)
Kita tidak bisa bersembunyi menggunakan uang dan
menganggap bahwa kita bisa lolos dari konsekuensi
keputusan dan perbuatan kita yang jahat.
Dari dulu telah dikatakan orang bahwa uang adalah hamba
yang baik, tetapi tuan yang sangat jahat. Sangat penting
bagi kita orang percaya untuk mengerti batas-batas hal
apa sajakah yang bisa diperjualbelikan untuk membuat
usaha kita menjadi lebih efektif dan hal-hal apa saja
yang tidak bisa diperjualbelikan karena hal-hal itu
sudah menjadi domain dari Tuhan sendiri.
Intisari dari pada kisah ini adalah:
• Visi/masa depan tidak bisa diperjualbelikan
• Martabat tidak bisa diperjualbelikan
• Cinta kasih tidak bisa diperjualbelikan
• Integritas tidak bisa diperjualbelikan
• Konsekuensi tidak bisa diperjualbelikan
Tidak ada jumlah seberapa pun yang membuat kita mau
mengambil tanggung jawab atas perbuatan salah yang
dilakukan orang lain, apalagi jika itu menyangkut masa
depan yang kekal.
Jika kita mengingat hal-hal di atas maka kita dengan
anugerah Tuhan bisa menguasai uang dengan baik. Amin.
(AL)