World-Oriented or God-Oriented Culture
Kebiasaan dan perilaku yang terpola, dapat membentuk
sebuah kebudayaan dalam suatu komunitas. Perkembangan
kebudayaan ini pun tidak lepas dari tuntutan zaman, baik
dari segi kebutuhan yang semakin beragam, maupun
perkembangan teknologi, yang memungkinkan masyarakat
dapat mengakses, serta menyebarkan informasi dalam waktu
yang instan. Tuntutan zaman inilah yang juga berdampak
pada bagaimana masyarakat mengarahkan orientasinya dalam
berperilaku atau berbudaya.
Dunia (“world”) saat ini memiliki standar-standar khusus,
yang digunakan untuk melakukan justifikasi, bahwa
seseorang dapat diterima atau tidak, dalam komunitas
mereka. Sebagai contoh, salah satu kebudayaan baru yang
muncul di kalangan anak muda adalah maraknya standar
“good looking” yang saat ini sering disematkan sebagai
salah satu syarat dalam circle pertemanan hingga
lowongan pekerjaan. Lantas bagaimanakah kita sebagai
orang percaya dan Insan Pentakosta merespons tantangan
zaman tersebut.
Bagaimana sebaiknya kita mengorientasikan perilaku dan
budaya kita ke depan? Melalui artikel ini, kita akan
membahas bagaimana kebenaran Firman Tuhan menuntun kita
untuk memiliki kebudayaan yang “God-oriented” dan
relevan untuk diterapkan pada era saat ini.
1. Merespons Budaya FOMO (Fear Of Missing Out)
Perkembangan teknologi yang membuat pertukaran informasi
terjadi begitu cepat, memungkinkan terjadinya banjir
informasi pada masyarakat.
Kedua contoh ini, membuktikan bahwa FOMO merupakan
budaya yang “world-oriented”, yaitu budaya yang dituntut
oleh zaman ini, untuk dapat memenuhi kebutuhan ego
manusia, agar dianggap up-to-date atau tidak ketinggalan
zaman.
Manusia mengejar pengakuan ngetrend dari komunitasnya,
untuk memenuhi kepuasan diri akan rasa takut tertinggal
dari orang lain. Tentu, hal ini tidak sesuai firman
Tuhan, sebab dapat mengarahkan kita kepada rasa dengki
dan memicu sikap sombong.
Rasul Yakobus mengingatkan bahwa iri hati dan
mementingkan diri sendiri dapat menjadi awal mula
kekacauan dalam komunitas, dan memicu perbuatan jahat
manusia. (Yakobus 3:16) Firman Tuhan mengajarkan untuk
kita dapat mencukupkan dengan apa yang ada pada kita. (Ibrani
13:5)
Sebuah budaya yang God-oriented akan membuat kita cukup
walau kita tidak mengikuti apa yang sedang dikerjakan
orang lain karena tren. Sebaliknya, budaya ini akan
mendorong rasa syukur atas apa yang Tuhan sudah berikan
dan kerjakan.
Selain itu, sikap yang mudah sharing info pun, dapat
ditangkal dengan budaya menguji segala sesuatu sesuai 1
Tesalonika 5:21. Budaya yang dituntun firman ini,
memungkinkan kita sebagai orang percaya, tidak menjadi
bagian dari penyebar hoaks, dengan merelakan dicap kudet,
daripada cepat menyebar berita bohong karena enggan
menguji informasi yang diterima, demi dianggap paling
up-to-date.
2. Budaya Cinta Uang
Uang adalah salah satu kebutuhan umat manusia, termasuk
orang percaya. Namun, jika tidak waspada, manusia akan
jatuh kepada cinta uang. Manusia saat ini mudah mengukur
kesuksesan orang lain dengan standar seberapa banyak
harta yang dimiliki. Pertemanan didasarkan pada seberapa
besar “cuan” atau benefit yang akan didapat jika
berelasi dengan seseorang. Hubungan antar manusia
menjadi sekedar transaksional dan tidak didasarkan
kepada ketulusan.
Sebenarnya, hal ini sudah diperingatkan oleh Rasul
Paulus dalam 1 Timotius 3:1-2, bahwa di akhir zaman,
manusia akan menjadi hamba uang, sehingga dunia
menjadikan uang sebagai ukuran dalam budayanya.
Akibatnya, kecintaan akan uang menjadi akar dari segala
kejahatan. (1 Timotius 6:10) Manusia rela menjegal rekan
kerja demi uang, keluarga tidak rukun karena perebutan
harta warisan, hingga terjerat pinjol (pinjaman online)
atau tertipu investasi bodong, bahkan sampai melakukan
judi online demi mendapatkan uang yang banyak.
Yesus pun mengajak kita untuk berjaga-jaga dan waspada
akan ketamakan, sebab hidup manusia tidak dapat
bergantung kepada hartanya, sekalipun harta itu
berlimpah jumlahnya. (Lukas 12:15)
Sebaliknya, orientasi kita terhadap uang, harus
didasarkan pemahaman bahwa kita adalah pengelola uang
tersebut. Tuhanlah pemilik harta yang dititipkan kepada
kita. Sehingga, alih-alih kita bergantung kepada uang,
hingga terlalu mencintainya, kita sebagai orang percaya,
hendaknya terus bergantung kepada Allah yang adalah
sumber berkat.
Salah satu penawar atau pencegah sikap cinta uang adalah
karakter yang rela memberi. Kita perlu menyadari bahwa
segala berkat yang Tuhan titipkan, terdiri dari roti
untuk dimakan, dan benih untuk ditabur kembali (2
Korintus 9:10), sehingga tidak untuk dihabiskan semua.
Gaya hidup yang God-oriented akan menyadari bahwa
berbagi dan memberi adalah suatu budaya Kerajaan Allah,
yang tidak akan membuat orang percaya kekurangan. Justru,
sikap murah hati akan menunjukkan bahwa orang percaya
terpanggil untuk bangkit dan menjadi terang serta
saluran berkat bagi dunia. Dengan jalan itu, dunia akan
mengenal Kristus yang mengasihi mereka, melalui
kemurahan hati anak-anak Tuhan.
3. Budaya Kompromi Akan Dosa Seksual
Era saat ini juga dimarakkan dengan anggapan bahwa
kebenaran dapat berlaku relatif, atau tidak mutlak,
sehingga standar kebenaran antara satu dengan yang lain
bisa berbeda. Budaya ini berpotensi untuk menimbulkan
sikap berkompromi untuk melakukan perbuatan dosa. Dunia
memiliki pasar yang membutuhkan paradigma yang abu-abu
untuk dapat dijadikan landasan “kebenaran” dalam
memuaskan keinginan daging.
Sebagai contoh, standar good looking untuk standar
pertemanan, yang jika melampaui batas dapat menjadi
dasar untuk membenarkan diskriminasi.
Fenomena friend with benefit (FWB), yaitu hubungan
pertemanan yang diwarnai dengan aktivitas hubungan intim,
layaknya suami-istri, yang banyak terjadi pada generasi
muda saat ini. Fakta tersebut jelas menggerogoti nilai
kebenaran dan kekudusan dalam berelasi. Terdapat
beberapa podcast anak muda, yang dengan santainya
membahas tentang aktivitas FWB mereka, tanpa adanya rasa
takut atau sungkan, bahwa video itu akan disaksikan
orang tua atau guru mereka.
Firman Tuhan dalam 1 Petrus 1:15-16 jelas mengatakan
bahwa kita perlu menjaga kekudusan sebab Allah kita
kudus adanya. Budaya yang God-oriented, khususnya pada
kalangan Generasi Yeremia, akan terus menjunjung prinsip
kekudusan, sekalipun harus melawan arus di dalam
pergaulan. Anak-anak muda yang memiliki orientasi untuk
menyenangkan hati Tuhan, tidak akan kompromi kepada dosa.
Budaya inilah yang akan membentuk Generasi Yeremia
menjadi teladan bagi generasi muda yang lain, dan
akhirnya bergerak untuk memenangkan jiwa yang terhilang
dalam budaya yang world-oriented.
Melalui pemaparan di atas, maka kita mengerti bahwa
sebagai Insan Pentakosta, kita diajak untuk memiliki
budaya yang God-oriented, yaitu menjadi orang percaya
yang memiliki rasa cukup di dalam Tuhan, tidak cinta
uang dan bergantung penuh kepada Allah, serta setia
menjaga kekudusan dengan tidak kompromi terhadap dosa.
Budaya seperti ini, akan melawan arus dunia yang
world-oriented, yang mungkin akan terasa sulit bagi kita.
Namun, kesetiaan kita untuk menyangkal diri dan memikul
salib dalam mengiring Yesus, akan menjadikan kita
saksi-saksi Kristus yang kuat dan militan. Mari terus
bangkit dan menjadi teranglah, agar Nama Tuhan
dimuliakan di dalam kita. Tuhan Yesus memberkati,
maranatha. (TY).